Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perbandingan Pemahaman Ideologi Antara Indonesia dan Jerman
Oleh : Opini
Sabtu | 03-10-2015 | 10:37 WIB

Oleh: Amril Jambak*

UNDANG-UNDANG Dasar RFJ yang bersifat sementara (Ubergangszeit) yang di buat pada tanggal 23 Mei 1949 yang diputuskan Dewan Menteri Wilayah Barat yang dikepalai Konrad Adenauer, menjadi dasar dan landasan terwujudnya satu peraturan kebebasan demokrasi untuk rakyatnya.

kemerdekaan RFJ. Setelah Jerman bersatu kembali pada tahun 1990, tuntutan ini terpenuhi oleh karena itu selain? Preambul? juga pasal (artikel) penutup UUD diperbaharui.

Pada tahun 1999 orang Jerman telah mempunyai pengalaman setengah abad dengan Undang-Undang Dasar mereka yaitu Grundgesetz. Pada jubileum ke-40 dari Republik Federal Jerman pada tahun 1989, Grundgesetz telah dinyatakan sebagai undang-undang dasar yang terbaik dan paling liberal yang pernah terdapat di bumi Jerman.

Penerimaan rakyat terhadapnya melebihi sikap terhadap konstitusi Jerman yang manapun sebelumnya. Dengan Grundgesetz telah diciptakan sebuah negara, yang sejauh ini belum pernah dilanda krisis konstitusional yang serius.

Grundgesetz terbukti merupakan landasan yang kokoh bagi kehidupan suatu masyarakat negara demokratis yang stabil. Kehendak penyataun kembali yang terkandung di dalmnya terlaksana pada tahun 1990.

Berdasarkan Perjanjian Unifikasi yang mengatur bergabungnya RDJ dengan Republik Federal Jerman, mukadimah dan pasal penutuf Grundgesetz mengalami penyusunan baru, dan kini menyatakan bahwa dengan bergabungnya RDJ maka rakyat Jerman sudah kembali memperoleh kesatuannya. Sejah tanggal 3 Oktober 1990 Grundgesetz berlaku untuk seluruh Jerman.

Isi Grundgesetz sendiri banyak mencerminkan pengalaman para penyusunya pada masa pemerintahan totaliter di bawah rezim diktatorial Nazi. Terlihat dalam banyak pokok pikiran UUD ini upaya untuk menghindari kesalahan masa lalu yang ikut menyebabkan keruntuhan Republik Weimar yang demokratis.

Para penyusun Geundgesetz pada tahun 1948 mencakup para Perdana Menteri negara bagian di ketiga zone Barat serta anggota Majelis Parlementer yang diutus oleh setiap parlemen negara bagian. Majelis yang dipimpin oleh Konrad Adenauer ini memutuskan Grundgestz yang diikrarkan pada tanggal 23 Mei 1949.

 Ada lima prinsip yang menjadi acuan ketatanegaraan dalam Grundgesetz; Jerman adalah negara republik dan demokrasi, negara federal, negara hukum dan negara sosial. Ke luar hal ini tampak dalam kenyataan, bahwa Presiden Federal (Bundesprasident) adalah kepala negara yang ditentukan melalui pemilihan. Dasar bentuk negara demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar menyebutkan, bahwa seluruh kekuasaan negara berasal dari rakyat.

Dalam hal ini Grundgesetz menganut sistem demokrasi tak langsung, yaitu demokrasi melalui perwakilan. Artinya : kekuasaan negara harus diakui dan disetujuai rakyat, tetapi penyelenggaraannya tidak langsung oleh keputusan-keputusan rakyat, selain dalam pemilihan umum.

Penyelenggaraan ini diserahkan kepada badan-badan tersendiri? Di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Rakyat sendiri menjalankan kekuasaan negara terutama dalam pemilihan parlemen yang diselenggarakan secara berkala. Berbeda dengan konstitusi berbagai negara bagian, Grundgesetz menentukan bentuk-bentuk demokrasi langsung seperti referendum dan plebisit hanya sebagai perkecualian. Penyelenggaraan plebisit hanya diharuskan dalam hal perubahan pembagian wilayah federal.

Grundgesetz memilik konsep demokrasi yang berani melawan? Sikap ini berasal dari pengalaman pada saat Republik Weimar, yang diruntuhkan oleh partai-partai radikal dan memusuhi konstitusi. Dasar pemikiran demokrasi berlawanan adalah bahwa kebebasan semua kekuatan dalam percaturan politik menemui batasnya, bila ada usaha meniadakan demokrasi itu sendiri melalui prosedur demokrastis. Itulah alasan mengapa Grundgesetz memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusional Federal untuk melarang partai politik yang bertujuan menghambat atau meniadakan tata negara demokratis.

Ditetapkan bentuk negara federal dalam UUD berarti bahwa tidak hanya federasi, tetapi juga ke-16 negara bagian mempunyai status setara negara. Untuk bidang-bidang tertentu, negara-negara bagian tersebut memiliki kedaulatan atas wilayahnya, yang diwujudkan melalui legislasi, penegakan hukum dan yurisdiksi sendiri.

Setelah ditetapkannya pebagian tugas dan kewenangan antara federasi dan negara bagian, titik berat kegiatan legislatif ternyata memang terletak pada negara pusat atau federasi. Bukanlah pada negara bagian seperti yang diinginkan oleh konstitusi. Negara bagian terutama bertugas menyelenggarakan administrasi negara, artinya melaksanakan undang-undang. Pembagian tugas ini adalah unsur penting dalam sistem pembagian kewenangan dan keseimbangan keuasaan yang digariskan oleh Grundgesetz.

Inti dari prinsip negara hukum yang tertuang dalam Grundgesetz adalah pembagian kekuasaan. Fungsi-fungsi kekuasaan negara dipercayakan kepada badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif yang masing-masing bediri sendiri. Arti penting pembagian kewenangan dini terletak pada pembentukan kekuasaan negara melalui pengawasan dan pembatasan timbal balik yang membuahkan perlindungan bagi kebebasan seitap warga. Elemen penting yang kedua dalam prinsip negara hukum adalah berlakunya hukum secara mutlak pada semua perbuatan negara.

Prinsip pemerintahan atas dasar hukum ini berarti, bahwa badan eksekutif alias pemerintah tidak boleh melanggar hukum yang berlaku, terutama konstitusi dan undang-undang (keutamaan undang-undang); selanjutnya untuk segala bentuk interfensi ke dalam ruang hukum dan ruang kemerdekaan individu dibutuhkan suatu dasar hukum formal (persyaratan adanya undang-undang). Semua tindakan alat negara dapat diperiksa kesesuaian hukumnya oleh hakim yang independen, bila ada pengaduan hak yang tersangkut.

Prinsip negara sosial adalah pemikiran baru yang melengkapi gagasan tradisional tentang negara hukum. Negara diwajibkan melindungi kelompok-kelompok masyarkat yang lemah dan senantiasa mengusahkan keadilan sosial. Banyak sekali undang-undang dan keputusan pengadilan yang telah menghidupi prinsip ini.

Negara sosial diwujudkan dalam asuransi wajib kesejahteraan sosial yang meliputi tunjangan purnakarya (pensiun), tunjangan bagi orang cacat, biaya perawatan dan pemulihan kesehatan serta tunjangan bagi penganggur. Negara juga, untuk menyebut beberapa contoh lagi, memberi bantuan sosial kepada yang membutuhkan, tunjangan tempat tinggal dan tunjangan anak, serta menjaga keadilan sosial melalui perundangan yang menyangkut lindungan pekerjaan dan waktu kerja.

Indonesia, bagaimana potretnya?
Kondisi kekinian Indonesia di tengah makin kuatnya potensi radikalisme “kiri” dan “kanan”. Di satu sisi, ideologi atau ajaran komunis masih diperjuangkan oleh sejumlah simpatisan di berbagai level masyarakat. Ragam pemikiran komunisme terus muncul dalam berbagai bentuk, seperti berkembangnya gerakan radikal di kalangan mahasiswa, partai politik yang berhaluan marxis, gerakan feminis radikal, penerbitan buku-buku marxisme, maraknya penggunaan simbol ‘palu arit”, dan munculnya upaya rekonstruksi sejarah yang bertujuan untuk merehabilitasi nama baik PKI.

Selaras dengan itu, kelompok neo-komunis diduga melakukan penyusupan ke lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang muara akhirnya adalah pencabutan Tap MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966.

Reformasi, sebagai media yang memberi ruang lebar dan luas bagi suara dan ekspresi kebebasan juga dimanfaatkan oleh kelompok itu untuk penyebarluasan paham komunis dan marxisme kepada generasi muda. Sisi itu, bila dilihat berdasarkan memori historis bangsa ini, adalah potensi bangkitnya radikalisme “kiri” yang militasinya pada masa lalu begitu mengerikan.

Di sisi lain, ideologi Pancasila juga dihadapkan kepada ancaman konvensional lainnya, yaitu radikalisme “kanan”. Bentuk radikalisme “kanan” ini tidak lepas dari pengaruh eksternal konflik Timur Tengah yang mengundang solidaritas jihad berdasarkan keyakinan keagamaan, yang akhir-akhir ini mencuat dalam fenomena Al Qaeda dan ISIS.

Banyak warga negara Indonesia (WNI) tertarik dan bahkan telah turut bergabung ke dalam gerakan Mujahidin Islam itu untuk melanjutkan jihad di Suriah, Irak, Palestina, dan negeri-negeri Islam tertindas lainnya. Dukungan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam tertentu pun disinyalir turut memberi dampak bagi semakin kuatnya simpati warga masyarakat Indonesia kepada gerakan jihadis global itu.

Dalam pengertian umum antara komunisme dan radikalisme itu banyak persamaannya. Perbedaan diantara mereka yaitu komunisme sering dikonotasikan dengan paham anti Tuhan (atheisme), sedangkan radikalisme adalah sebaliknya, sering kali dikonotasikan dengan paham dan gerakan didasari keyakinan keagamaan dan ketauhidan yang berlebihan.

Meskipun sejatinya radikalisme itu sendiri secara konseptual tidak dapat diartikan mutlak sebatas kaitannya dengan motif agama, namun dalam hal ini ingin kami tegaskan bahwa antara komunisme dan radikalisme itu pada dasarnya sama saja, mengandung sejumlah ciri-ciri yang sama atau beririsan: eksklusif, intoleran, fanatik, revolusioner dan bercara kekerasan.

Eksklusif yakni kecenderungan membedakan diri dan memisahkan diri dari orang lain atau kebiasaan umum. Intoleran menunjuk pada sikap tidak menghargai keyakinan atau pendapat orang lain, sehingga merasa paham keyakinan atau pendapatnya sajalah yang paling benar. Fanatik, berlebihan mengagungkan diri atau kelompoknya, dan berlebihan membela keyakinan atau pendapatnya, sedangkan yang lain adalah salah.

Revolusioner, cenderung ingin cepat dan bahkan karenanya memaksakan pencapaian tujuan. Akumulasinya, cara-cara kekerasan pun biasa dan siap mereka lakukan untuk mewujudkan tujuan politik dan ideologisnya. Mereka tidak peduli dengan esistensi orang lain, dan karenanya pula gerakan perjuangan komunisme maupun radikalisme teramat dekat dan seringkali bisa sama dan sebangun dengan terorisme.

Ada beberapa faktor atau akar penyebab merebaknya paham komunisme dan radikalisme agama yaitu arogansi dan hegemoni Barat dalam hubungan antar negara di dunia. Propaganda Barat malah cenderung membesar-besarkan radikalisme Islam. Media Baratlah yang melabelkan radikalisme Islam itu, sementara mereka mengecilkan fenomena radikalisme lainnya seperti Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, kelompok bersenjata Irlandia (IRA), sekte kebatinan di Jepang, dan militan Yahudi sayap kanan. Bahkan media Barat cenderung tutup mata atas berbagai aksi radikal Israel terhadap bangsa Palestina. Berkenaan dengan ini akar perebak komunisme dan radikalisme Islam bisa bersumber pada akar budaya yang berbeda dengan Barat, dan sekaligus perwujudan sikap perlawanan yang anti Barat.

Dari berbagai hasil penelitian dan pandangan para ahli dapat dirangkum juga akar penyebab rebaknya komunisme maupun radikalisme di Indonesia, meliputi: (a) diskriminasi atau ketidakadilan politik, termasuk tekanan politik oleh penguasa, (b) ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, dan (c) kesenjangan sosial ekonomi dan masalah kemiskinan. Secara spesifik dalam hal radikalisme agama, akar penyebanya bisa ditambahkan dengan adanya faktor emosi keagamaan, meliputi pemahaman keyakinan agama yang terlalu berlebihan, yang menimbulkan sentimen keagamaan, solidaritas keagamaan, dan penggunaan simbol-simbol agama dalam memperjuangkan ideologi dan tujuan politik. Sedangkan komunisme dari sudut yang berbeda, yakni berangkai juga dengan materialisme.

Sesungguhnya, perangkat hukum untuk mencegah radikalisme (untuk menjerat mereka yang menyebarkan kebencian, menganjurkan kekerasan, serta perbuatan makar) telah ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang (UU) anti-Terorisme, dan UU ITE. Walaupun demikian, ketakutan terhadap gerakan radikal “kanan” itu telah melahirkan berbagai ide antisipatif berlapis, seperti adanya dorongan untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).

Hal itu menggambarkan betapa bangsa ini terancam tercabik-cabik apabila tidak diikat oleh suatu ideologi kebangsaan yang mumpuni, yaitu ideologi yang memiliki kekuatan sentrifugal untuk mengikat solidaritas ke dalam dan sekaligus menjadi kekuatan untuk menghadapi berbagai pengaruh eksternal yang merugikan.

Dalam fenomena seperti itu, kita diingatkan kepada kearifan Nusantara yang mampu mempersatukan komunitas besar yang bhineka (multikultur) menjadi sebuah bangsa dan negara merdeka yang “tunggal ika”.

Betapa tidak, kearifan Nusantara itu mempersatukan kekuatan dan solidaritas komunitas multukultur sangat besar dengan tingkat peradaban yang jauh kalah dibanding Belanda dan Jepang, tetapi mampu membebaskan diri dari cengkeraman penjajah itu secara patriotis dan mandiri. Kearifan nusantara itulah yang kemudian disimbolisasikan sebagai Pancasila.

Selama 70 tahun Indonesia merdeka hingga saat ini Pancasila itu mengalami berbagai ujian dan cobaan yang sangat berat. Tidak saja oleh PKI (1948 dan 1965) akan tetapi juga oleh kecenderungan penggunaan Pancasila untuk kepentingan kekuasaan sehingga belum berhasil menjadikannya sebagai ideologi dalam arti yang sesungguhnya.

Masa Orde Lama, sebagaimana ditulis oleh HAMKA dalam Tafsir Al Azhar, “...Untuk membela Pancasila, mereka injak-injaklah si Pancasila itu. Untuk menjunjung tinggi Pancasila, si Pancasila dikuburkan...”.

Pada masa Orde Baru, Pancasila juga tidak lepas dari ujian yang berat, yang penafsiran atasnya adalah hak dan kewenangan mutlak “sepihak” penguasa, sementara tafsir lain “diharamkan”.

Hal itu yang dapat diduga menjadi faktor yang menjadikan Pancasila menjadi “momok” dalam Orde Reformasi sehingga semua yang berkaitan dengan Pancasila berupaya “dikubur” habis-habis. Lembaga BP7 dan Penataran P4 dihapuskan, asas tunggal Pancasila digugat, dan eforia kebebasan dan pembebasan begitu diagungkan.

Hari ini, generasi penerus bangsa tergiring menjadi generasi yang a-historis dan NKRI terancam menjadi “tercabik-cabik” bila kehilangan ruh sentrifugal yang mampu menjadi perekat solidaritas kebangsaan dalam menjalani masa depannya dalam kecamuk globalitas.

Menurut, Prof. DR. Puti Raudhah Thalib, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Baat dalam diskusi publik bertema “Aktualisasi Ideologi Pancasila : Memperkuat Realisasi Ideologi Pancasila di Tengah Menguatnya Paham Radikalisme dan Komunisme” yang diselenggarakan atas kerjasama Forum Pemerhati Sosial Kemasyarakatan dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat mengatakan, sekarang ini sudah banyak kalangan yang tidak tahu atau tidak hafal dengan sila-sila Pancasila. Teks Pancasila jarang dibaca apalagi diimplementasikan.

Menurutnya, sekarang ini banyak isu-isu terkait komunis di Indonesia antara lain G 30S/PKI adalah pelanggaran HAM besar, adanya upaya rekonsiliasi pelaku dengan korban, tuntutan mencabut Tap MPRS Nomor : XXV/1965, melokalisir masalah G 30S/PKI adalah masalah internal TNI AD, munculnya buku-buku komunis dan peredaran simbol-simbol “Palu Arit”.

“Kondisi saat ini juga ditandai sejumlah indikasi yang kurang menghargai ideologi negara antara lain banyak yang tidak tahu Pancasila, tidak menghargai lambang-lambang negara, tidak bangga terhadap bahasa Indonesia, tidak menghargai pahlawan, tidak santun dalam menggunakan bahasa sapaan seperti SBY, Jokowi dll serta ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Krisis ekonomi yang ditandai dengan pelemahan nilai tukar rupiah juga menyebabkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dapat menjadi ladang subur tumbuhnya komunis dan radikalisme,” ujarnya

Oleh sebab itu, reaktualisasi eksistensi Pancasila sebagai jati diri dan ideologi bangsa dan NKRI adalah niscaya dan mendesak. Ideologi tersebut menjadi ruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, standar ide atau gagasan dan perilaku, serta terefleksi di dalam seluruh karsacipta anak bangsa. Ini akan menjadi penyaring spontan dan tolok ukur yang akurat dalam menyikapi berbagai pengaruh ideologi yang datang dari luar.

Pancasila merupakan ideologi bangsa dan negara Republik Indonesia, jangan sampai 10 atau 20 tahun mendatang, ideologi ini luntur dikarenakan kurang pekanya semua elemen masyarakat, terutama pemerintah.

Pada akhirnya, lain lubuk lain ikannya, lain bangsa lain pula cara melakukan doktrin terhadap ideologi bangsanya sendiri. Jika itu baik, rasanya tidaklah menyalahi jikalau kita belajar mengaplikasikan pemahaman ideologi bangsa lain ke dalam tatanan bangsa sendiri, dan sesuai dengan adat, serta tata krama yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ***

*) Penulis adalah peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) Jakarta, Koordinator Forum Pemerhati Sosial Kemasyarakatan dan founder Forum Diskusi Publik.