Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar dari Kasus Donald Trump dan Perang Dingin KIH vs KMP
Oleh : Opini
Jum'at | 02-10-2015 | 10:12 WIB
trum-novanto_merdeka.jpg Honda-Batam
(Sumber foto: Merdeka.com)

Oleh: Ikhsan Atmaja*

KEHADIRAN Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dalam acara konferensi pers salah satu Bakal Calon Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga kini masih menuai pro dan kontra. Ada kalangan yang menganggap bahwa kehadiran pimpinan DPR RI tersebut tidak seharusnya untuk ditanggapi secara berlebihan.

Akan tetapi, tidak sedikit pula yang mengecam kehadiran kedua pucuk pimpinan tertinggi DPR RI tersebut. Merendahkan martabat bangsa, tidak sesuai dengan etika yang berlaku, merupakan segelintir dari berbagai alasan yang sering digunakan oleh publik untuk mengecam sekaligus menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh Setya Novanto dan Fadli Zon pada 3 September lalu tersebut.

Tidak hanya publik umum saja yang mengecam peristiwa tersebut. Sejumlah anggota DPR RI juga bersikap resisten. Bahkan, resistensi yang muncul dari anggota DPR RI tidak hanya sebatas kecaman terbuka di berbagai media massa. Pada Senin (7/9) kemarin, sejumlah anggota DPR RI yang resisten telah melaporkan Setya Novanto dan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Anggota DPR RI yang melapor tersebut, antara lain Rieke Diah Pitaloka (PDIP), Budiman Sudjatmiko (PDIP), Adian Napitupulu (PDIP), Maman Imanulhaq (PKB), dan Akbar Faizal (Nasdem). Para anggota dewan tersebut menilai bahwa apa yang telah dilakukan oleh kedua pucuk pimpinan tertinggi DPR RI tersebut telah menyalahi kode etik yang berlaku.

Bukannya akan berujung pada suatu resolusi, langkah sejumlah anggota DPR RI untuk melaporkan Ketua dan Wakil Ketua mereka tersebut ke MKD tampaknya akan melahirkan sejumlah polemik baru. Benar saja, tidak selang beberapa lama, laporan terhadap Setya Novanto dan Fadli Zon ditanggapi secara “miring” oleh sejumlah kalangan, khususnya anggota DPR RI yang berasal dari fraksi partai yang tergabung ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP). 

Tanggapan “miring” tersebut menyatakan bahwa laporan terhadap Setya Novanto dan Fadli Zon merupakan suatu rangkaian konspirasi yang dilakukan oleh pihak tertentu, dengan tujuan menjatuhkan Setya Novanto dan Fadli Zon dari pucuk pimpinan DPR. Tentu saja, tanggapan “miring” ini bermaksud menyerang balik fraksi PDIP, fraksi yang selama ini disebut-sebut sebagai fraksi yang “sakit hati” karena tidak bisa mendapatkan posisi pucuk pimpinan DPR walaupun meraih suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2014 lalu. Tanggapan “miring” ini tentu saja sangat masuk akal, apalagi dengan melihat fakta bahwa tokoh-tokoh yang mempelopori laporan terhadap Setya Novanto dan Fadli Zon adalah anggota fraksi PDIP dan partai-partai yang juga tergabung ke dalam KIH.

Dengan melihat kecenderungan tersebut, tampaknya polemik hadirnya pimpinan DPR RI dalam konferensi pers Donald Trump dapat meluas menjadi “perang dingin” antara KMP dan KIH, yang apabila memang terjadi demikian, bukanlah yang kali pertama. Tentu masih segar dalam ingatan publik, bagaimana tajamnya perbedaan kepentingan antara KMP dan KIH, yang menyebabkan kedua kubu tersebut berselisih ketika ingin mengesahkan UU MPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Perselisihan tersebut memberikan pengaruh negatif yang sangat besar terhadap kondisi perpolitikan nasional, terutama di kalangan elit. Dualisme kepemimpinan DPR, tidak terbentuknya alat kelengkapan DPR, merupakan sampel dari banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya perselisihan antara KMP dan KIH yang terjadi pada 2014 silam itu. Dampak negatif yang ditimbulkan tentu saja akan makin besar andai saja waktu itu pemerintahan Presiden Jokowi tidak berinisiatif untuk mendamaikan kedua kubu.

Saat ini, bibit-bibit perselisihan antara KMP dan KIH mulai muncul, apalagi dengan melihat tren yang saat ini terjadi di Senayan. Bibit-bibit perselisihan tersebut bukannya tidak mungkin akan tumbuh menjadi lebih besar, terutama apabila ada oknum-oknum tertentu yang sengaja ingin mengadu domba antara KIH dan KMP dengan cara mempolitisasi isu pelaporan terhadap Setya Novanto dan Fadli Zon ke MKD.

Oleh karena itu, MKD harus menunjukkan perannya yang bersifat independen dan berintegritas tinggi, serta tidak bisa diintervensi oleh kepentingan politik apapun. Selain itu, MKD juga perlu untuk menjaga agar laporan terhadap Setya Novanto dan Fadli Zon tidak melebar ke mana-mana, hanya fokus kepada persoalan etika. Dengan demikian, potensi munculnya kegaduhan politik yang dapat berimbas negatif pada perekonomian nasional dapat “diredam”, atau bahkan “dimatikan”.

*) Penulis adalah pemerhati sosial politik, bermukim di Bogor