Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Blok Masela, Siapa Membela Siapa
Oleh : Opini
Kamis | 01-10-2015 | 16:25 WIB

Oleh : Engkus Munarman)*

TERKAIT  blok  gas lapangan abadi Masela, pemerintah disodorkan dua dua pilihan. Pertama, membangun kilang terapung gas alam cair (Floating LNG Plant). Yang kedua, membangun kilang gas alam cair di darat (On shore LNG Plant) dan mengalirkannya dengan menggunakan pipa sepanjang 600 km ke Pulau Aru.


Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli memilih yang kedua. Alasannya, investasi  yang dibutuhkan ‘hanya’ sekitar US$14 ,6 miliar. Sedangkan bila yang dibangun Floating LNG Plant, maka butuh duit sebanyak US$19,3 miliar.

Tapi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, lebih suka yang kedua. Begitu juga dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu (SKK) Migas. Mereka berdua pihak satu suara, FLNG Plant!

Menurut Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, angka yang disodorkan Rizal Ramli terbalik. Itulah sebabnya SKK Migas memberi rekomendasi agar pemerintah membangun FLNG karena lebih murah ketimbang On shore LNG Plant. Bagaimana dengan Sudirman? Dia lebih suka memenuhi rekomendasi dari SKK Migas.

Cadangan raksasa
Sebelum berbicara terlalu jauh tentang kedua pilihan tersebut, ada baiknya bila kita kenali lebih dekat apa, sih, Blok Masela itu? Blok Masela adalah salah satu blok yang memiliki cadangan gas terbesar di Indonesia. Cadangannya mencapai 10,73 Trillion Cubic Feet (TCF). Begitu besarnya jumlah cadangan tersebut, hingga Blok Masela juga biasa disebut Lapangan Abadi. Saat ini proyek pengolahan gas Blok Masela di bawah kendali Inpex Masela Ltd (65%) dan Shell Upstream Overseas Services Ltd (35%).

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Masela ditandatangani pada 16 November 1998 dan direncanakan berakhir pada tahun 2028. Kontrak ini mencantumkan persetujuan Plan of Development (POD) I pada Desember 2010. Pengelolaan blok Masela 10 tahun pertama adalah masa eksplorasi. Sedangkan 20 tahun sisanya adalah masa produksi. Pada kontrak tersebut, disebutkan 15% hasil gross penjualan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.

Sebetulnya ada  yang menarik di luar obrolan tentang mana yang lebih murah biayanya dari kedua pilihan tersebut. Yang saya maksud adalah, usulan Rizal Ramli itu sendiri.

"Kami sendiri lebih senang bikin pipa ke Aru karena kita akan bangun wilayah Indonesia Timur. Tapi tentu akan di-review kembali, kasih kesempatan ESDM dan SKK Migas mempelajarinya secara menyeluruh," ujar Rizal Ramli kepada wartawan usai rapat memimpin Rakor yang membahas Blok Masela, di kantornya, Gedung BPPT, Thamrin, Jakarta, Senin (21/9/2015).

Yang menarik, Menko Maritim yang terkenal denga jurus Rajawali Ngepret-nya ini menyodorkan sejumlah dampak positif ikutannya (multiplier effect) dari pembangunan kilang di darat dan pipanisasi gas alam cair dari Masela ke Pulau  Aru.

Merah putih vs asing?
Menurut dia, dengan adanya unit pengolahan gas di Pulau Aru, tentu terbuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Pabrik baja di dalam negeri juga kecipratan rezeki karena mendapat banyak order dari proyek pembangunan pipa ke Pulau Aru. Pasalnya, bukan mustahil pipanisasi itu kelak memang membutuhkan spesifikasi pipa yang dihasilkan produsen di dalam negeri. PT Krakatau Steel (Persero), misalnya.

Seorang teman yang paham seluk-beluk industri gas mengatakan, dalam eksploitasi dan pemanfaatan gas, aspek desain memegang peran vital. Dari sisi kontribusi biaya, desain memang cuma 2%. Tapi dari desain inilah, sekitar 90% pembiayaan akan ditentukan akan dialokasikan ke mana dan untuk apa saja.

Misalnya, soal desain pipanisasi itu tadi. Dari desain ini ditentukan spesifikasi pipa seperti apa, produsen mana yang bisa memenuhinya, dan lainnya. Nah, kalau si pendisain itu punya merah putih mengalir di darahnya, bukan mustahil dia bakal menyetel agar proyek pembangunan akan menyerap kandungan lokal sebanyak mungkin.

Oya, asal tahu saja, kalau pemerintah jadi membangun kilang terapung, maka nyaris bisa dipastikan kelak akan menggunakan teknologi  Shell. Dari sini saja kita bisa menebak, ke mana arah Menteri ESDM dan orang-orang di  SKK Migas, mengapa mereka ngotot meminta FLNG Plant.  Kepentingan siapakah yang mereka usung dengan sikap degil tersebut?

Berbeda halnya jika pilihan dijatuhkan untuk membangun kilang di darat dan disambung dengan pipanisasi  sepanjang 600 km dari Masela ke Aru.  Kondisi ini dapat meningkatkan pengembangan wilayah sekitarnya menjadi kawasan downstream industry. Industri pupuk, petrokimia, gas untuk bahan bakar dan produk substitusi lainnya  adalah beberapa di antaranya yang bakal lahir.

Dampak ikutan lainnya, Aru akan hidup dan ramai oleh kapal-kapal dan penerbangan dari berbagai wilayah yang akan ramai pulang-pergi ke sana. Tak pelak lagi, Aru pun membutuhkan lapangan terbang baru. Pada gilirannya Aru benar-benar menjadi kota sibuk yang memberikan manfaat ekonomi bagi penduduknya.

Pada akhirnya, Pulau Aru akan menjadi semacam Balikpapan Baru atau Bontang. Dengan gampang kita bisa langsung menciptakan lapangan kerja yang sangat berarti bagi rakyat di kawasan itu. Ini adalah salah satu contoh dari multiplier effect yang bisa langsung dirasakan. Sekadar  mengingatkan saja, di Bontang terdapat kilang LNG Bontang. Sedangkan di Balikpapan ada Blok Mahakam dan kilang minyak. Bahkan bukan mustahil, dalam 10 tahun  Aru bakal menyalip Bontang dan Balikpapan.

Semua benefit tersebut mustahil terwujud bila yang dipilih adalah pembangunan fasilitas LNG terapung. Seperti  disebutkan di depan, teknologi kilang apung ini dikuasi atau dimiliki Shell. Kandungan lokalnya tidak banyak, paling banter hanya 10%. Angka ini sudah meliputi bahan baku, teknologi, juga sumber daya manusia (SDM). Lagi pula,  LNG terapung yang diinginkan SKK Migas belum teruji. Teknologi ini baru akan beroperasi untuk pertama kali di blok Prelude, Australia, nanti, pada 2017.

Masih ada keuntungan lain. Jika dalam perjalanannya  kelak ditemukan cadangan-cadangan gas baru antara Masela dan Aru, pemerintah tidak perlu menggelontoran duit besar lagi untuk memanfaatkannya. Kelak tinggal menyambungkan pada jaringan pipa yang sudah ada.

Di atas semua itu, dengan pembangunan kilang darat dan pipanisasi, berarti negara benar-benar berusaha memakmurkan rakyat Indonesia, khususnya yang ada di kawasan Indonesia Timur. Alur seperti ini sekaligus klop dengan konsep Tol Laut-nya Presiden Jokowi.

Dengan guyuran benefit yang seabreg-abreg seperti ini, masih terus menolak pembangunan kilang darat untuk Blok Masela? Kalau begitu, izinkan saya bertanya; untuk kepentingan siapakah gerangan tuan-tuan ngotot memilih kilang apung? Hayo, jujur saja, deh...!

Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL)