Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Demokrasi Bukan untuk Menghina
Oleh : Opini
Sabtu | 26-09-2015 | 11:11 WIB

Oleh: Fajri Permana*

INDONESIA kini sudah memasuki era demokrasi yang masyarakatnya bebas menyampaikan pendapat. Namun, proses hukum harus tetap ditegakkan apabila masyarakat menyampaikan kritiknya dengan cara yang tidak pantas. Hakikat demokrasi di era reformasi memang mengkritik, tetapi tidak harus menghina.

Langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal mengenai larangan penghinaan terhadap presiden, diperlukan guna mencegah presiden sebagai kepala negara dipermalukan karena keterlaluan jika menghina presiden, menghinanya berlebihan.

Kultur masyarakat Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain yang lebih maju. Di banyak negara, pasal mengenai larangan penghinaan presiden ini memang tidak diperlukan karena masyarakat sudah cerdas dalam menyampaikan kritik. Namun, di Indonesia, masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan kritik dan penghinaan.

Semua pihak harus mendukung rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden yang lebih demokratis. Namun, pasal dalam UU tersebut harus membedakan antara menghina dengan mengkritik karena mengkritik berbeda dengan menghina. Mengkritik itu masih menggunakan pikiran yang tenang namun, kalau sudah menghina berarti dengan emosional. Terkait hal tersebut, pasal penghinaan presiden pernah diusulkan pada pemerintahan SBY.

Namun saat itu, Mahkamah Konstitusi mencabut pemberlakuannya karena tidak sesuai dengan peradaban demokrasi. Saat ini, pasal penghinaan presiden tersebut diusulkan kembali oleh Presiden Joko Widodo, namun pasal tersebut dirubah harus lebih demokratis agar tidak penyalanggunaan dari presiden.

Diperlukan pasal dalam KUHP guna memproteksi masyarakat yang bersikap menghina sehingga tidak terjerat dalam kepentingan politik. Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yaitu dalam Pasal 263 dan Pasal 264. Dalam draf RUU KUHP, Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Sementara itu, dalam Pasal 263 ayat (2), "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri." Aturan lebih detail tercantum dalam Pasal 264. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Runtuhnya Tata Krama
Kita tentu masih ingat, diawal memerintah Presiden Jokowi pernah "dihina" oleh seorang pedagang, menyebarluaskan gambar olahan yang kurang patut di Facebook. Begitu juga dengan mantan Presiden SBY juga merasa pernah “dihina” oleh para demonstran yang mengarak hewan kerbau sebagai simbol bebalnya pemerintah.

Saat ini kebebasan dimaknai banyak orang sebagai sebuah masyarakat tanpa tata krama, dimana diri pribadi dengan segala kehendaknya dapat serta merta diperbolehkan mengabaikan hak orang lain. Sebenarnya, ada beberapa penyebab mengapa seseorang melakukan hal-hal yang kurang patut dalam takaran umum. Pertama, tidak tahu, ukuran patut atau tidak patut sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu lewat cara pengandaian.

Apabila berada dalam posisi yang dimaksud kita tidak suka, sakit hati, marah, atau tersakiti maka tindakan itu berarti tidak patut. Namun, apabila kita justru menjadi suka, tersanjung, atau terhormat karena hal yang dimaksud, pertanda sebuah kepatutan. Manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai makhluk kolektif dengan budaya masyarakat. Jika masih tidak tahu, cobalah bertanya kepada pihak lain. Apakah tindakan kita bisa diterima oleh orang lain. 

Kedua, ikut-ikutan, manusia memiliki insting untuk meniru perilaku pihak lain, baik disadari maupun tidak didasari. Jika orang lain boleh, mengapa saya tidak dan orang lain sudah melakukannya berulang kali dan tidak mendapatkan sanksi dari masyarakat atau pihak yang berwewenang.

Ketiga, keisengan, seringkali didasari oleh keinginan coba-coba karena ingin mengetahui dampak berikutnya. Keempat, mengetahui dan sengaja, dampak sebuah perbuatan tetapi sengaja memanfaatkan sekaligus memancing di air keruh. Artinya, dia justru memanfaatkan ketidaktahuan khalayak untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu. Penyebab pertama dan kedua biasanya karena faktor pendidikan yang relatif rendah. Adapun penyebab ketiga dan keempat biasanya dilakukan justru oleh mereka yang berpendidikan tinggi.

Teladan Memaafkan
Para pemimpin telah menunjukkan sebuah tata krama, bagaimana memaafkan. Dimana, generasi yang lebih senior menghormati generasi dibawahnya dengan tindakan memaafkan. Begitu juga pemimpin harus menghormati masyarakat dengan teladan memaafkan. 

Menghormati dan memaafkan, dua tata krama penting yang mulai luntur dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia. Tersenyum, menyapa, memberi salam, menjabat tangan, bertutur kata sopan dan tepat adalah beberapa contoh cara menghormati.

Selain itu, yang terpenting adalah pemahaman bahwa media sosial bukanlah tempat untuk menghina, mencemooh, mencari musuh, menyebarkan kebencian, mengadu domba, atau memecah belah. Justru media sosial atau media apa pun adalah sarana untuk menjalin tali persahabatan dan kekerabatan.

Media sosial adalah sarana untuk saling menghormati dan memaafkan antar generasi serta antara pemimpin dan masyarakatnya untuk memperkokoh Indonesia. Kita semua perlu memahami secara jernih, mengkritik berbeda dengan menghina, menista, mencaci, memfitnah atau sejenisnya.

Namun, mengkritik memang harus dijamin di alam yang demokratis, sebagai prasyarat kebebasan berpendapat. Sementara itu, mendengarkan kritik adalah bagian dari tugas wajib bagi setiap pengemban amanat negara. Maka, kritikan tidak boleh dikriminalkan.

Pemerintah tidak melarang masyarakat berdemokrasi dengan melakukan aksi unjuk rasa mengkritik dan menuntut aspirasi, namun hal itu harus dilakukan dengan tertib, tidak anarkis, dan santun. Hindarilah menghina tanpa dasar kepada sosok pribadinya disamakan dengan binatang atau lainya yang berbau SARA. 

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Bangsa