Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Pencopotan Kabareskrim
Oleh : Opini
Rabu | 09-09-2015 | 09:28 WIB
komjen_budi_waseso.jpg Honda-Batam
Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso.

Oleh: Andre Penas*

PENCOPOTAN Kabareskrim, Komjen Budi Waseso yang lebih dikenal dengan Buwas dan bertukar posisi dengan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Anang Iskandar sempat menimbulkan kegaduhan. Bahkan, ada yang mengatakan, sempat mengganggu stabilitas ekonomi. Meski Buwas sendiri sudah membantah semua yang dilakukannya sama sekali tidak  menimbulkan kegaduhan dan mengganggu stabilitas ekonomi maupun politik. Kegaduhan politik pertama muncul ketika Buwas dan jajarannya menetapkan dua Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto serta mantan Wamenkumham, Deny Indrayana sebagai tersangka.

Kasus terakhir yang berujung pada pencopotan Buwas, adalah penggledehan Kantor Pelindo II. Kasus terakhir  memang menarik untuk diperbicangkan di berbagai media sosial akibat  tindakan Dirut. Pelindo II, Richard Joost Lino yang langsung menelepon Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil saat Bareskrim Polri menggeledah kantor PT Pelindo II, bahkan Lino sempat mengeraskan volume telepon genggamnya dan memperdengarkan kepada wartawan saat menghubungi Sofyan Djalil. Dalam pembicaraannya dengan Kepala Bappenas, Lino dengan nada emosional  memprotes penggeledahan yang dilakukan Bareskrim di kantornya dan mengancam akan mundur dari jabatannya sebagai Dirut Pelindo II. Bahkan dalam percakapan itu, Lino meminta Sofyan Djalil menyampaikan pesan tersebut kepada Presiden Jokowi.

Padahal penggeledahan itu merupakan hal biasa saja mengingat nama Direktur Operasi dan Teknik PT. Pelindo II, Ferialdy Nurlam sudah dicantumkan dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) yang dikirimkan Bareskrim ke Kejaksaan Agung  tanggal 27 Agustus 2015 atau sehari sebelum dilakukan penggeledahan. Penyidik mengenakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ferialdy diduga menandatangani dokumen kontrak pengadaan dimana perencanaan proyek tersebut dinilai  tidak sesuai kebutuhan dan diduga terdapat penggelembungan harga di dalamnya. Penyidik menemukan fakta bahwa harga perkiraan sementara (HPS) tidak sesuai dengan spesifikasi barang pada tahun tersebut  2013, bahkan harga mobile crane kala itu ditemukan lebih tinggi dibanding harga saat ini.

Lino mungkin   saja tidak terlibat dala kasus dugaan korupsi tersebut, tetapi merasa  tersinggung dengan penegakan hukum yang dianggapnya  kurang memiliki  tata krama. Lino mungkin  saja khawatir penggledahan ini akan membuat  citranya tercoreng sehingga bisa mengganggu kepercayaan investor. Tetapi sampai mengancam akan mengundurkan diri kepada seorang pejabat tingggi negara apalagi memintanya untuk menyampaikan hal itu kepada Presiden, publik menduga pasti ada udang di balik batu. Ada sesuatu yang harus ditutup-tutupi, apalagi ditindaklanjuti dengan pencopotan Buwas dari Kabareskrim. Lagi pula aparat kepolisian dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri melakukan penggledahan untuk mencari barang bukti pendukung seperti dokumen terkait kasus dugaan koruopsi dalam pengadaan 10 mobile crane di sejumlah pelabuhan di Indonesia.

Menjadi pertanyaan besar bagi publik adalah kenapa pejabat lainnya ikut-ikutan menelpon Kapolri mempermasalahkan penggledahan tersebut, bahkan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla sampai harus ikut menelepon Kapolri me,permasalahkan hal yang sama dari Korea Selatan.  Sepertinya semua pejabat termasuk Wakil Presiden sangat ketakutan  kalau R.J.Lino sampai tersentuh masalah hukum. Konon dari hasil penggeledahan itu, Bareskrim menemukan bukti kuat keterlibatan Dirut PT. Pelindo II dalam kasus tersebut.

Dengan demikian upaya Buwas melakukan  pemberantasan korupsi terkendala orang dalam pemerintahan sendiri. Publik menilai seharusnya Wakil Presiden RI, JK  serta pejabat kementerian di bawahnya mendukung pengungkapan kasus korupsi di PT. Pelindo II bukan malah mencopot Kabareskrim. Terkait hal ini publik menilai jelas sekali kalau Wapres turut mengintervensi Polri dalam pencopotan Buwas. Intervensi itu kentara sekali ketika Menko Polhukam yang juga merangkap sebagai Ketua Kompolnas secara terang-terangan mengeluarkan statemen yang terasa amat ganjil dengan mengatakan terjadi kegaduhan ekonomi pasca penggeledehan kantor Dirut PT. Pelindo II. 

Menjadi pertanyaan besar publik saat adalah kenapa Wapres Jusuf Kalla, Menko Polhukam Luhut Panjaitan dan pejabat tinggi lainnya berusaha melindungi kasus korupsi pelabuhan di bawah Pelindo II hingga harus dibayar dengan mencopot Buwas dari jabatannya atasnama terjadinya kegaduhan ekonomi. Suka tidak suka masyarakat sudah terlanjur simpati terhadap Kabareskrim Komjen Budi Waseso melihat sepak terjangnya dalam melakukan penegakan hukum. Sejumlah prestasi besar yang sudah dilakukan oleh Buwas di antaranya membongkar kasus dugaan korupsi kondensat, dugaan korupsi cetak sawah, penimbunan sapi dan garam serta melakukan penggeledahan kantor Pelindo II. Tampaknya para pejabat  mencoba memanfaatkan gaya kepemimpinan Pak Buwas yang suka bikin heboh terkait berbagai kasus besar yang ditanganinya, sekedar untuk melindungi koruspsi. 

Wakil Presiden Jusuf Kalla nampaknya mencoba memanfaatkan prrnyataan Presiden Joko Widodo, saat menjadi inspektur upacara perayaan ulang tahun Kejaksaan Agung. Saat itu Presiden meminta kepada para jaksa agar tidak asal menangkap pejabat hanya karena kebijakannya. Jusuf Kalla juga memastikan pemerintah sudah membuat aturan yang melarang aparat penegak hukum mengkriminalkan pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan, itu merupakan turunan dari Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. Kebijakan tidak boleh diadili, apabila  suatu kebijakan belum apa-apa sudah dianggap salah, nanti tidak  ada pejabat yang berani mengambil kebijakan sehingga mengganggu ekonomi.

Akan tetapi yang dilakukan Bareskrim tehadap Pejabat di PT. Pelindo II bukanlah mempermasalahkan kebijakan yang diambil terkait pembelian 10 buah mobile crane, tetapi dugaan korupsi terkait pengglembungan harga pembelian. Apalagi ditemukan bukti kuat harga pembelian yang ditetapkan tahun 2013 lebih mahal dari harga tahun 2015. Karena itu sebenarnya Wapres serta konco-konconya mencoba  melepaskan tanggung jawab pencopotan Komjen Buwas kepada Presiden Jokowi. Seakan-akan pejabat penegak hukum yang dicopot dari jabatannya sesuai dengan arahan Presiden.

Kini yang ditunggu masyarakat adalah, sepak terjang Kabareskrim yang baru Komjen Anang Iskandar tetap akan menindaklanjuti semua kasus yang sudah ditangani Komjen Buwas, terutama menuntaskan kasus korupsi di PT. Pelindo II. Apalagi sudah ada titik terang terjadi mark up dalam pembelian 10 buah mobile crane tersebut, dan menjurus pada Dirut PT. Pelindo II, Richard Joost Lino. Apabila kasus tersebut sampai mandeg maka dugaan publik ada kong-kalokong antara pejabat tinggi negara termasuk Wapres dengan Lino sangatlah benar. Komjen Anang perlu diingatkan untuk  membuktikan bahwa tuduhan publik kalau dia hanyalah Kabareskrim titipan mafia tidak benar. Segeralah usut dan tetapkan Lino sebagai tersangka, karena itu sama sekali bukan berarti aparat  kepolisian melanggar arahan Presiden. Masyarakat menunggu bukti bukan  janji. Jangan merusak kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tetap konsisten memberantas korupsi.

Marilah kita renungkan kata-kata Komjen Buwas, ketika hukum ditegakkan, banyak yang terusik. Karena kelompoknya terganggu, apalagi mereka yang berada pada zona nyaman dan mendapatkan sesuatu. 

*) Penulis adalah pemerhati masalah politik dan hukum