Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memperkuat Kewenangan Wakil Presiden
Oleh : Opini
Senin | 07-09-2015 | 12:15 WIB
Jk_HPN.jpg Honda-Batam
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat menghadiri perhelatan Hari Pers Nasional di Batam 2015.

Oleh: Fajri Permana*

TIMBUL  perseteruan antara Menko Maritim dan Sumber Daya yang baru dilantik, Rizal Ramli (RR) dengan Wakil Presiden, Jususf Kalla terkait suitan RR. Pertama meminta Menteri  ESDM serta Dewan Egergi Nasional untuk mengevaluasi rencana pemerintah  merealisasikan proyek lisrik 35.000 MW sampai tahun 2019.

Menurutnya  proyek itu terbilang tidak masuk akal, jangan memberikan target terlalu tinggi tapi dicapainya susah. Ke dua meminta PT Garuda Indonesia Tbk untuk menghentikan pembelian 30 unit pesawat Airbus A350 dengan pinjaman 44,5 miliar dollar AS dari China Aviation Bank,  karena pesawat jenis itu hanya cocok untuk penerbangan jarak jauh antara Jakarta-Amerika dan Jakarta-Eropa.

Suitan Menko Kemamaritiman itu langsung mendapat berbagai tanggapan, Menteri ESDM, Sudirman Said mengaku tetap optimistis merealisasian proyek 35 ribu megawatt  bakal tercapai. Sedangkan Pelaksana Harian VP Corporate Communications Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan mengatakan pembelian Airbus A350 belum dilakukan Garuda, karena saat Paris Airshow 2015 baru melakukan penandatanganan surat niat atau ketertarikan. Setiap pembelian pesawat baru pasti ada pertimbangannya terlebih dahulu, apakah untuk menambah penerbangan atau mengganti armada yang sudah tua. Tanggapan juga datang dari Wapres JK, yang berbuntut pada tantangan RR untuk berdebat secara terbuka dengan Wapres. Tantang RR yang hanya seorang Menko terhadap JK yang adalah Wakil Presiden RI, kemudian mendapat berbagai tanggapan, umumnya menyalahkan RR karena kedudukannya masih berada dibawah Wapres.

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani menyatakan secara struktur kan setelah presiden, ada wakil presiden, lalu menko. Jadi, harusnya memang arahnya dari atas ke bawah. Puan nampaknya ingin mengingatkan RR agar bertindak dan berbicara sesuai dengan posisinya saat ini, sebagai bawahan Presiden dan Wakil Presiden. Organisasi pemerintahan itu  ada struktur hirarkinya, bawahan harus menjalankan keputusan apapun yang diambil oleh pimpinannya, demi tercapainya tujuan organisasi.

Perseteruan itu bisa dilihat publik sebagai bentuk perpecahan yang terjadi di internal pemerintah. Kegaduhan itu bisa ditafsirkan ada perpecahan. Perselisihan antara Menko RR dengan Wapres JK, kemudian berujung pada permintaan sejumlah pihak agar segera dilakukan amandemen UUD 1945 untuk memperkokoh sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia.

Ketua DPD RI Irman Gusman, mendorong dilakukan amandemen UUD 1945 dengan sejumlah agenda besar untuk memantapkan landasan konstitusional RI.  Salah satunya dengan memperkokoh peran Wapres. Sementara itu Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan sebelumnya  membenarkan ada persiapan melakukan amandemen UUD 1945. Perlu menempatkan posisi Wapres pada tugas dan fungsi yang jelas agar tidak ada lagi istilah matahari kembar di Istana Negara. Rencana amandemen UUD 1945 untuk memperkuat posisi Wapres sangat diperlukan, Wapres itu beda kelas dengan Menko karena dipilih langsung oleh rakyat satu paket dengan Presiden, sedangkan seorang Menko bisa diberhentikan oleh Presiden kapan saja.

Indonesia sudah mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, namun dari empat kali perubahan yang dilakukan, tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan secara tegas fungsi dan peran Wapres dalam roda pemerintahan. Peran Wapres hanya disebutkan dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Pasal 4 ayat 2; Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Penyebutan Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden seakan-akan menegaskan bahwa Wapres statusnya setara dengan tugas menteri yang juga disebutkan sebagai pembantu Presiden. Dalam Pasal 17 ayat 1 UUD 1945;  Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

Padahal dalam tradisi pemerintahan jelas disebutkan bahwa kalau Presiden berhalangan tetap atau sedang tidak berada di tempat, Wapreslah yang mengisi kekosongan tersebut. Selama ini peran Wapres hanya berdasarkan konvensi, dalam praktiknya pembagian tugas di antara mereka diserahkan kepada kebijakan politik Presiden. Di era Orde Baru, Soeharto memegang perang sentral dan posisi Wapres hanya sebagai pemotong pita. Di era SBY, ada kesepakatan tidak tertulis yaitu SBY memegang bidang politik, hukum dan hankam, sedangkan wakilnya diserahi tugas urusan moneter. Di era Presiden Jokowi, posisi Wapres menjadi polemik karena tiba-tiba Menko Maritim Rizal Ramli berani melawan Wapres Jusuf Kalla dengan menantang debat terbuka. 

Masukan untuk melakukan Amandemen UUD 1945 kelima nanti, diharapkan tidak hanya untuk membahas persoalan kedudukan Wakil Presiden semata. Memang tugas Wapres harus  disebutkan dengan tegas dalam UUD 1945, mengingat tugas menteri sudah diamanatkan oleh UUD 1945 untuk diatur lebih lanjut dengan UU. Selain itu juga harus disebutkan bahwa penetapan menteri sebagai pembantu presiden sekaligus juga sebagai pembantu Wakil Presiden. Pokoknya harus ada ketentuan bahwa jabatan menteri berada dibawah Presiden dan Wakil Presiden. Masih banyak  persoalan bangsa yang belum terselesaikan terutama masih adanya keinginan dan harapan dari berbagai pihak agar UUD 1945 dikembalikan pada naskah aslinya.

Selain itu perlu juga evaluasi pengadaan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ke dalam UUD 1945, agar Indonesia memiliki satu visi dan misi dari desa hingga tingkat pusat. Di atas semuanya, roh Pancasila tidak boleh hilang dalam perubahan undang-undang dasar, implementasi Pancasila harus tetap masuk dalam pembentukan UU, termasuk dalam perubahan UUD 1945. 

*) Penulis adalah pemerhati masalah politik Nasional