Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Supaya Indonesia Tidak Runtuh
Oleh : Opini
Kamis | 03-09-2015 | 18:00 WIB

Oleh : M. Amien Rais

HAKEKATNYA ada dua bangunan yang paling penting bagi setiap negara, yaitu bangunan ekonomi dan bangunan politik.

Bila kedua bangunan itu kuat dan tangguh, negara menjadi kuat dan kenyal menghadapi setiap tantangan yang ingin menghancurkan negara, baik dari kekuatan internal maupun eksternal. 

Namun bila bangunan ekonomi goyah dan akhirnya hancur, negara bisa mengalami dua kemungkinan:

Pertama, bila bangunan politik ikut retak dan tidak solid, negara bisa ikut runtuh bahkan lenyap dan hilang dari peta dunia.

Kedua, bila bangunan politik cukup padu dan tangguh, kehancuran ekonomi tidak perlu merobohkan negara, karena kesatu-padu politik nasional dari bangsa dan negara akan mampu memikul bersama dampak sosial-politik keruntuhan ekonomi tersebut.

Kita tidak boleh dihinggapi penyakit self-complacency , alias berpuas diri, berleha-leha seolah kita tidak mengalami situasi kritis, terutama masalah ekonomi yang sekarang semakin terpuruk. Kita tidak boleh bersikap seperti burung unta yang melihat bahaya, dengan menyurukkan dalam-dalam kepalanya ke dalam pasir, sambil berharap bahaya akan hilang sendiri bersama dengan perjalanan waktu.

Sebagian menteri dan pemimpin nasional kita rasanya sudah kehilangan kewaskitaan ketika menganggap ekonomi kita masih OK, fundamental ekonomi cukup kuat, cadangan dollar Indonesia masih cukup untuk meladeni perang mata uang (currency war). 

Dengan menggenjot pajak dan mencairkan sisa APBN yang masih 72% pada kwartal terakhir 2015, ekonomi kita akan meroket mulai September dan benar-benar kita rasakan meroket pada Desember nanti. Semoga demikian, namun marilah kita belajar dari keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia.

Uni Soviet (lengkapnya USSR) yang pernah dijuluki sebagai negara adi daya, adi kuasa, super power bersama Amerika Serikat, didirikan pada 1922. US meliputi 11 republik Soviet, yaitu Ukraina, Federasi Russia, Belarusia, Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kirghgistan, Moldova, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan.

Enam puluh sembilan tahun kemudian pada 1991, USSR bubar, sekali dan untuk selamanya. Dunia tidak percaya Uni Soviet akhirnya bubar. Dinas Intelejen Soviet (KGB), termasuk terbaik di dunia, PKUS (Partai Komunis Uni Soviet) partai yang paling rapih, monolitik dan sangat hierarkis dan sistematik. 

Tentara merah Rusia, tentara yang begitu legendaris dan kontrol media massa bersifat absolut, namun sekali lagi, Uni Soviet akhirnya bubar. Sudah terkubur di rawa-rawa sejarah. Pembaharuan Uni Soviet oleh Mikhail Gorbachev dengan 3 simbol perubahan, yaitu glasnost (keterbukaan), perestroika (restrukturisasi ekonomi) dan demokratizatsiya (demokratisasi politik) tidak dapat menolong Soviet dari kehancurannya.

Idem ditto, Yugoslavia. Negara ini didirikan pada 1945 dengan dukungan 6 republik, yaitu Bosnia-Hercegoviena, Croatia, Macedonia, Montenegro, Serbia, dan Slovania. Di Eropa Timur, Yugoslavia merupakan negara yang paling kuat dan paling maju, dibandingkan dengan Hongaria, Albania, Bulgaria, Cekoslovakia dan lain-lain. Namun pada 1991-1992 Yugoslavia mengalami proses disintegrasi, semua republik pendukungnya sudah lepas dan Yugoslavia tinggal kenangan masa lalu. Negara yang pernah tenar dibawah Joseph Tito ini sudah terbenam dalam rawa-rawa sejarah juga.

Mengapa Uni Soviet dan Yugoslavia hancur dan bubar? Ada 5 sebab utama:

Pertama, menjelang kebangkrutan dua negara itu, masing-masing ekonominya mengalami kegagalan. Rakyat di kedua negara itu merasa hanya jadi alas kaki para pemimpinnya, yang rata-rata hanya pandai menebar janji muluk dengan slogan-slogan menarik. Rakyat perlu roti dan keju, bukan janji kosong dan harapan palsu.

Kedua, para pemimpin terlibat konflik untuk perkara-perkara yang semuanya bersifat pragmatis, bahkan menjurus ke kepentingan hedonistik. Penguasa di kedua negara itu secara sadar berusaha memecah-belah lawan-lawan politiknya, karena meyakini dengan politik pecah belah itu pemerintah menjadi kuat.

Ketiga, rata-rata pemimpin nasional di kedua negara itu tidak kompeten dan dihinggapi gejala puas diri dan percaya diri yang berlebihan. Bila ketidak-kompetenan, rasa puas diri dan percaya diri berlebihan bergabung dalam diri pemimpin, maka harapan perubahan dan perbaikan menjadi makin jauh dari kenyataan.

Keempat, pertikaian antar-etnik sangat marak di tahun-tahun menjelang bubarnya Soviet dan Yugoslavia. Seluruh republik Soviet non-Rusia meminta lepas dari Moskow dan seluruh republik di Yugoslavia kecuali Serbia menuntut merdeka dari Beograd.

Kelima, ada kekuatan global yang ingin melihat kehancuran dua negara tersebut, terutama kehancuran Soviet. Waktu itu secara resmi Ronald Reagan ingin menghancurkan Uni Soviet sebagai evil empire atau imperialisme jahat.

Bung Karno pernah mengajarkan pada bangsa Indonesia, bahwa "a nation divided against itself cannot stand". Satu bangsa yang pecah ke dalam tidak dapat tegak berdiri. Singkat kata, USSR dan Yugoslavia yang nampak perkasa itu akhirnya ambruk karena mereka pecah ke dalam.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu mengambil pelajaran dari bangsa lain. Bila kita jujur, NKRI mengalami semacam kerapuhan politik. Negara kepualauan yang begitu besar dengan keragaman agama, ras, dan etnik serta tradisi yang berlainan memerlukan usaha tanpa henti agar bhineka tunggal ika itu benar-benar menjadi realitas kehidupan bangsa. Disamping itu terlihat bangsa Indonesia sekarang tidak peka lagi dengan langkah-langkah kekuatan eksternal yang berusaha melemahkan Indonesia.

Ada kesan kuat bahwa pemerintah sekarang ini membungkuk di hadapan kekuatan asing. Sebentar lagi jutaan pekerja asing akan membanjiri Indonesia, sementara sekarang ini perbankan, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan berbagai sektor ekonomi modern sudah didominasi oleh kekuatan asing.

Bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan menjadi penonton yang lapar ketika kekuatan-kekuatan ekonomi asing menggasak kedaulatan politik dan ekonomi kita secara habis-habisan. Mudah-mudahan saya keliru, tetapi proses asingisasi di berbagai semua sektor ekonomi modern sudah menjadi rahasia umum. Salah satu contoh telak adalah 78% tanah di DKI dimiliki oleh kelompok tertentu yang punya jalinan kuat dengan kekuatan asing.

Memang benar, pemerintah sekarang mewarisi kondisi ekonomi yang tidak ideal dari pemerintah masa lalu. Tetapi sayang, bukannya melakukan koreksi yang sangat diperlukan, pemerintah sekarang malah memperparah keadaan, dengan jalan mempermudah masuknya sebuah kekuatan global yang teramat jelas ingin mendiktekan dan menguasai ekonomi nasional. Sebaiknya kita meningkatkan kewaspadaan nasional kita. Bila bangunan ekonomi kita terus didera dengan anjloknya rupiah; PHK yang makin luas; dan akhirnya sampai pada tahapan krisis yang dapat memicu gejolak sosial yang bersifat masif ditambah dengan semakin menguatnya aspirasi separatisme yang latent di sebagian tubuh bangsa Indonesia, maka kebutuhan kita untuk menghindari perpecahan politik menjadi mutlak. Mutlak. Seandainya ekonomi kita terus bergerak downward spiral dan ikut berlomba jatuh ke jurang (race to the bottom), keperluan kita sebagai bangsa untuk bersatu-padu dan melupakan hal-hal yang sifatnya sepele dan remeh-temeh tentu tidak dapat ditunda.

Untuk itulah saya mengusulkan sebuah langkah politik yang kiranya dapat memperkuat eksistensi kita sebagai bangsa, tatkala rakyat makin resah dan tidak sabar menderita kesulitan ekonomi yang makin mencekik. Saya usulkan agar seluruh kekuatan politik, dalam menghadapi krisis ekonomi, melakukan sharing of power dan sharing of responsibility. Biasanya orang cenderung hanya ingin berbagi kekuasaan, tetapi tidak bersedia berbagi tanggung jawab.

Sudah tinggal saatnya Pak Jokowi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan panglima tertinggi mengundang seluruh kekuatan bangsa mencari solusi bersama. Lebih penting dari itu adalah komitmen bersama bahwa NKRI tidak boleh lemah, apalagi ambruk gara-gara kehancuran ekonomi nasional. Lakukanlah pertemuan bersama antara: 1) seluruh ketua lembaga tinggi negara; 2) pimpinan TNI dan Polri; 3) ketua-ketua umum partai politik; 4) unsur-unsur yang mewakili agama-agama di Indoneisa, semisal MUI, Muhammadiyah, NU dari kalangan Islam, PGI (umat kristen), Konferensi Wali Gereja Indonesia (umat Katolik), perwakilan umat Budha, Hindu dan Konghucu; 5) berbagai tokoh bangsa; 6) wakil-wakil kampus trekemuka; 7) wakil-wakil pengusaha; 8) beberapa pemred terkemuka, 9) wakil-wakil NGO/LSM terkemuka; dan lain-lain.

Elemen-elemen wakil bangsa itu perlu memiliki kesamaan pandangan tentang krisis yang sedang kita hadapi. Mungkin diperlukan beberapa hari untuk mengambil sikap yang sama dan komitmen bersama menghadapi tantangan apapun yang akan datang baik dari dalam maupun luar negeri. Pertemuan kebangsaan itu dipimpin langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden.

Kita sedang menghadapi perubahan-perubahan yang cepat di panggung internasional. Lihatlah Iraq sudah hancur. Suriah sedang menuju kehancuran. Afghanistan sudah lebih dahulu hancur. Libia kini tidak lagi punya masa depan. Yaman sudah hancur, Sudan sudah pecah jadi dua dan keduanya sama-sama tidak berhasil; Mesir bermasa depan makin gelap, dan seterusnya.
    
Kita dikejutkan dengan perpecahan masyarakat Melayu di Malaysia. Tokoh-tokoh melayu sebesar Mahatir Muhammad, Anwar Ibrahim dan Nadjib bertarung habis-habisan, sementara Ustadz Hadi Awang dengan PAS nya menjadi kelompok lain yang berbeda haluan. Tidak tertutup kemungkinan ada kekuatan lain yang akan memegang kendali politik dan ekonomi di Malaysia nanti, bila kekuatan politik Melayu sudah hancur.

Nah, pertemuan Ketum PAN dan Jokowi harus diletakkan dalam perspektif ini. Kalau pertemuan itu hanya langkah awal dari apa yang saya harapkan, yaitu memadu kekuatan politik bangsa untuk menghadapi krisis ekonomi yang sedang kita hadapi, tentu harus kita syukuri. Tetapi kalau hanya berhenti sekedar membujuk PAN masuk ke pemerintahan dengan perhitungan remeh-temeh agar jumlah kursi pemerintah di parlemen menjadi lebih besar dari oposisi dan PAN dikasih imbalan dua atau tiga kursi kabinet maka hakekatnya sedang ada usaha pecah belah kekuatan politik yang mengindikasikan panggung politik lebih runyam dan gaduh.

Bila Golkar berhasil dipecah, PPP berhasil diadu domba maka rangkulan pemerintah pada PAN bisa menjadi rangkulan maut. Sejak dahulu Ketum PAN sudah menegaskan bahwa berjuang di luar pemerintahan sebagai kekuatan oposisi yang rasional,etis dan bertanggung jawab juga cukup mulia, semulia mereka yang berada dalam pemerintahan.

Kita masih menunggu perkembangan dalam beberapa hari ini, apakah langkah awal itu akan bermuara pada koalisi nasioal yang benar-benar bekerja untuk kepentingan bangsa ataukah hanya manuver politik yang tidak terlalu bermakna. Reshuffle jilid satu tidak berdampak apa apa. Jangan-jangan reshuffle kedua, kalau hanya tambal sulam, dan tidak diletakkan dalam perspektif jangka panjang, bisa berakibat lebih buruk lagi. Karena itu resep saya cuma satu: semua elemen bangsa duduk bersama, dalam suasana saling percaya, dengan satu tujuan: andaikata downward spiral ekonomi Indonesia terpaksa harus terjadi, bangunan politik nasional (persatuan dan kesatuan bangsa) tidak pernah boleh goyah. Kalau yang memimpin pertemuan kebangsaan itu langsung oleh Presiden dan wakil presiden sendiri, tentu tidak ada yang perlu kita curigai.

Penulis adalah Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN)