Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Demokrasi, Jalan Pilihan Politik Bangsa
Oleh : Opini
Jum'at | 28-08-2015 | 10:41 WIB

Oleh: Fajri Permana*

PILKADA serentak merupakan tonggak demokrasi dan sejarah baru demokrasi di Indonesia. Sebagai pilihan jalan politik bangsa, demokrasi sudah seharusnya ditempatkan pada posisi mulia. Ia mesti dijalankan dengan serius sehingga dapat membuahkan hasil bagi rakyat, bangsa, dan negara.

Betul bahwa demokrasi menjamin kebebasan, tetapi bukan berarti dengan demokrasi bisa seenak hati. Pilkada serentak yang untuk pertama kalinya digelar di negeri ini berangkat dari gagasan menghemat anggaran daerah dan mampu meminimalisasi konflik atau sengketa pasca Pilkada. Untuk penyelenggara agar profesional jangan memihak, pemilih jangan adanya fanatisme pemilih, bukan bagi siapa-siapa namun nntuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, peran partai politik dalam sangat penting. Parpol semestinya menghadirkan calon kepala daerah agar Pilkada langsung di satu daerah bukan calon tunggal. Kegagalan menyodorkan calonnya dalam Pilkada ialah kegagalan parpol melakukan kaderisasi kepemimpinan.

Namun, kita menolak jika demi menghasilkan Pilkada yang diikuti lebih dari satu pasangan, parpol menyodorkan calon boneka. Apa yang dilakukan para aktor politik itu bentuk penistaan terhadap demokrasi. Mereka menganggap demokrasi sebagai barang mainan yang dapat dipermainkan seenak hati dan sekaligus membuat proses Pilkada serentak ternoda. Kian jelas betapa pragmatisme membius para pelaku demokrasi sehingga mereka tidak risih mempermainkan demokrasi.

Karena itu, harus ada sanksi tegas, misalnya bagi parpol yang telah mencalonkan seseorang, tetapi tidak hadir dalam pendaftaran sang calon. Partai yang tidak mengusung calon semestinya juga diganjar hukuman politik, umpamanya dilarang mencalonkan pada Pilkada berikutnya. Calon kepala daerah yang seenaknya memainkan demokrasi, jangan diberi peluang maju lagi. Dengan alasan apa pun, demokrasi tidak boleh diperlakukan sesuka hati. Tiada satu pun alasan untuk menyebut Pilkada serentak sebagai perhelatan biasa. Tak ada secuil pun dalih untuk mengganggu pelaksanaan hajatan besar dalam demokrasi itu. Sebagai agenda kebangsaan, Pilkada serentak harus berlangsung sesuai dengan jadwal kendati banyak kendala dan rintangan terjal. Kita perlu mengingatkan itu karena belakangan suara-suara untuk menunda pelaksanaan Pilkada serentak semakin kencang terdengar.

Mengantisipasi Calon Tunggal
Demokrasi mensyaratkan tersedianya lebih dari satu pilihan. Dalam konteks pemilihan kepala daerah secara langsung yang merupakan bentuk demokrasi langsung, rakyat semestinya memiliki lebih dari satu pasangan calon untuk dipilih. Tanpa pilihan, demokrasi yang kita terapkan bukanlah demokrasi ideal. Namun, kondisi demokrasi ideal itu tidak selamanya bisa kita capai. Pilkada langsung yang hanya diikuti satu pasangan calon kepala daerah ialah salah satu kondisi yang berpotensi melahirkan demokrasi yang tidak ideal. Tampilnya cuma satu pasangan calon kepala daerah itulah yang dikhawatirkan bakal terjadi pada Pilkada langsung Desember 2015.

Karena itu, kita harus mengantisipasinya agar kita bisa melaksanakan demokrasi sesuai dengan prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Sementara itu, KPU di sejumlah daerah telah membuka pendaftaran pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan dalam Pilkada yang bakal digelar serentak Desember 2015 sedangkan masa pendaftaran pasangan yang diusung partai politik dilakukan 26-28 Juli.

Di sejumlah daerah lain, hingga masa pendaftaran jalur perseorangan ditutup, dilaporkan hanya menerima pendaftaran satu pasangan calon. Hal yang sama dikhawatirkan juga terjadi dari calon kepala daerah yang diusung partai politik. KPU harus memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah agar pilkada tidak hanya diikuti satu pasangan.

Jika kelak setelah diberi kesempatan tidak ada pasangan lain yang mendaftar sehingga hanya ada satu pasangan, KPU akan mengundur Pilkada langsung di wilayah tersebut hingga 2017. Kita mengapresiasi langkah KPU. Benar jika Pilkada hanya diikuti satu pasangan, itu sama artinya tidak ada pemilihan.  Dengan hanya satu calon pasangan, semestinya pendaftar tersebutlah yang akan menjadi kepala daerah. Itu sama artinya tidak ada pemilihan dan tidak ada kompetisi. Rakyat tidak punya pilihan lain selain calon tunggal tersebut.

Padahal, untuk memilih kepala daerah terbaik, pemilih harus memiliki lebih dari satu pilihan dalam suasana kompetisi yang sehat, jujur, adil, dan demokratis. Tepat jika KPU mengantisipasi berlangsungnya Pilkada hanya dengan satu pasangan calon. Akan tetapi, di sisi lain, mengundur jadwal Pilkada hingga dua tahun mendatang juga bukannya tanpa risiko. Negara pasti akan menunjuk pelaksana tugas bupati atau wali kota. Namun, tanpa kepala daerah definitif, pembangunan di daerah dapat terhambat, bahkan mandek karena pelaksana tugas tak bisa mengambil keputusan strategis. Karena itu, kondisi dan prakondisi semacam itu, sekali lagi, harus bersama-sama mengantisipasi. Faktor penyebab yang tampil cuma satu pasangan ialah ketakutan bakal calon lain terhadap calon tertentu.

Wacana Penerbitan Perppu
Pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember dibayang-bayangi ketidakserentakan. Pemerintah berencana menerbitkan Perppu untuk mengatasi hal itu. Presiden mempunyai kewenangan menerbitkan jika memang ada ”kegentingan memaksa”. Itulah syarat dalam konstitusi jika Perppu akan dikeluarkan. Perppu membutuhkan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya.

Jika DPR menerima, Perppu akan menjadi undang-undang. Sebaliknya, jika DPR menolak, Perppu itu kehilangan kekuatan mengikatnya. Kompleksitas dan implikasi persoalan ini harus betul-betul dipertimbangkan. Dari 269 pilkada, masih ada 12 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon dan satu daerah belum memiliki pasangan calon, sedangkan 83 daerah memiliki dua pasangan calon. Menurut UU Pemilihan Kepala Daerah, pilkada akan berlangsung jika diikuti minimal dua pasangan calon.

KPU telah memperpanjang batas waktu pendaftaran bakal calon kepala daerah. Jika sampai batas akhir pendaftaran tidak ada yang mendaftarkan diri, maka menurut Peraturan KPU Nomor 2/2015, Pilkada di daerah itu akan ditunda hingga tahun 2017. Ketegasan KPU daerah dalam menetapkan pasangan calon juga penting untuk menghindari munculnya pasangan calon yang terjerumus masalah persyaratan pencalonan pada saat kampanye ataupun setelah pemilihan kepala daerah selesai.

Untuk itu, KPU daerah jangan meloloskan pasangan calon bermasalah serta jangan menggagalkan (pasangan calon) yang seharusnya memang lolos. KPU daerah harus siap sejak dini menghadapi kemungkinan adanya daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon, terutama di daerah dengan petahana yang memiliki pengaruh cukup kuat. Berharap KPU daerah tidak lantas meloloskan calon yang tidak layak hanya demi memastikan Pilkada tetap berlangsung serentak dengan daerah lainnya.

Ancaman Penundaan Pilkada
Kekhawatiran bahwa sejumlah daerah hanya akan memiliki pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember mendatang akhirnya menjadi kenyataan. Hingga masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah tahap kedua yang berakhir kemarin, masih ada lima daerah yang hanya memiliki calon tunggal dalam pilkada serentak.

Kelima daerah itu ialah Kota Mataram, Provinsi NTB, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, Kabupaten Tasikmalaya, Jabar, Kota Samarinda, Kalimantan Timur; dan Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Harus tegas dikatakan bahwa fenomena calon tunggal sesungguhnya tidak sehat dalam demokrasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memang tidak memberikan solusi jika terdapat calon tunggal.

Undang-undang hanya menyebutkan masa pendaftaran dibuka kembali jika terdapat calon tunggal. Sama sekali tidak ada solusi jika masih terdapat calon tunggal setelah masa pendaftaran dibuka kembali. Namun, peraturan Komisi Pemilihan Umum dengan tegas menyatakan akan menunda Pilkada di daerah yang hanya memiliki calon tunggal pada 2017. 

Kita melihat senyatanya persoalan calon tunggal ini tidak serta-merta dapat diselesaikan dengan hanya menunda Pilkada. Kepentingan rakyat terkait dengan pembangunan di wilayah tersebut tentu dikorbankan karena daerah itu harus menunggu dua tahun untuk memiliki kepala daerah yang definitif. Fakta-fakta itulah yang semestinya menjadi pelajaran bagi para pembuat undang-undang di parlemen. Bahwa produk mereka, yakni UU Pilkada, tidak komprehensif, tidak tuntas, dan tidak antisipatif dalam mengatasi segala situasi yang berkembang dalam masyarakat. Untuk mengatasi ketidaksempurnaan UU Pilkada tersebut, berkembang opsi agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang alias perppu. Dalam konteks itu, jika dikeluarkan dan disetujui parlemen, perppu akan mengizinkan berlangsungnya pilkada bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal.

Kelompok yang Muncul Dalam Pilkada
Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) yang untuk pertama kalinya akan digelar secara serentak mulai akhir 2015 merupakan pertaruhan teramat penting bagi bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Pilkada serentak merupakan awal dari pelaksanaan agenda besar dalam penataan demokrasi elektoral. Yang menjadi embrio dari enam gelombang Pilkada mendatang sebagai perwujudan kedaulatan rakyat di daerah. Pilkada serentak terlalu mahal harganya untuk ditunda hanya karena ambisi politik sebagian politikus. Oleh karena itu, kita mendukung sepenuhnya KPU untuk tidak surut ke belakang dan menyerah pada tekanan.

Kita harus bersatu dan serentak memastikan Pilkada serentak yang sudah mulai berproses tetap bergulir sesuai agenda semula, tanpa hadangan politis apapun. Pilkada serentak adalah hajatan bangsa untuk kemaslahatan bangsa yang tidak boleh digagalkan apa pun dan siapa pun.

Menjelang Pilkada, biasanya masyarakat terbagi menjadi 3 kelompok, pertama adalah kelompok yang hanya mementingkan materi, karena menganggap hidupnya tidak akan berubah hanya dengan memilih pemimpin, akibatnya mereka hanya memilih berdasarkan siapa yang memberi uang paling banyak. Kedua adalah kelompok yang mementingkan karir atau jabatan, sehingga hanya akan memilih pemimpin yang sanggup memberikan jabatan atau mampu meningkatkan karirnya. Ketiga adalah kelompok yang memilih dengan hati, yakni mencari pemimpin yang benar-benar akan mensejahterakan masyarakatnya. Pihaknya berharap semua yang ada di sini mau menjadi kelompok yang ketiga. 

*) Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan