Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menakar Pilkada Serentak 2015
Oleh : Opini
Selasa | 25-08-2015 | 11:22 WIB

Oleh: Ariawan D. Prasta*

TAHUN 2015 ini Indonesia kembali akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Pilkada bahwa pilkada kali ini akan diadakan secara resentak di seluruh Indonesia. Pilkada serentak tersebut akan dilaksanakan di 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten.

Terkait dengan hal tersebut dan sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa pendaftaran pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota telah dilaksanakan pada tanggal 26 hingga 28 Juli 2015 lalu. Namun karena masih ada 13 daerah yang pasangan calon mendaftar kurang dari dua pasangan calon, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perpanjangan masa pendaftaran yang dilaksanakan tanggal 1 hinga 3 Agustus 2015.

Sampai dengan akhir masa perpanjangan pada pukul 16.00 WIB, dari 13 daerah yang membuka pendaftaran kembali tersebut, terdapat lima daerah yang telah menerima pendaftaran pasangan calon masing-masing satu pasangan calon, yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Asahan, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Minahasa Selatan, serta sebanyak tiga pasangan calon yaitu di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Dengan demikian terdapat tujuh daerah yang pasangan calonnya masih kurang dari dua pasangan calon.

Sementara dalam Peraturan KPU nomor 12 tahun 2015 ditegaskan bahwa jika daerah hanya memiliki calon tunggal hingga batas watu yang sudah ditentukan, Pilkada pada daerah tersebut ditunda hingga pelaksanaan Pilkada serentak berikutnya yaitu tahun 2017.

Mengacu hal tersebut Ketua KPU RI, Husni Kamil Manik menjelaskan bahwa KPU RI telah memberikan arahan bagi tujuh kabupaten/kota yang pendaftarnya kurang dari dua pasangan calon tersebut untuk melakukan rapat pleno, membuat berita acara, dan menerbitkan Keputusan KPU Kabupaten/Kota tentang penundaan tahapan pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2015, merujuk pada Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang pencalonan.

Sementara itu, Komisioner KPU Ida Budhiati juga menjelaskan bahwa bagi tujuh daerah tersebut akan dilakukan penundaan tahapan pilkada ke pilkada serentak berikutnya. Tujuh KPU Kabupaten/Kota tersebut diharapkan segera menyusun berita acara yang menjelaskan bahwa mereka telah melakukan penutupan perpanjangan masa pendaftaran. Selain itu, mereka juga harus menggelar rapat pleno dengan menetapkan penundaan penyelenggaraan tahapan pilkada, kecuali tiga kegiatan, yaitu evaluasi, penyusunan laporan, dan penyelesaian sengketa.

Melihat fenomena tentang minimnya calon kepala daerah yang mengikuti pilkada serentak tersebut menunjukkan bahwa adanya pergeseran cara pandang masyarakat dalam memahami nilai-nilai demokrasi. Terdapat dua hipotesa yang dapat di ambil berdasarkan fenomena tersebut, yaitu :

1. Semakin pintarnya masyarakat dalam berdemokrasi, sehingga semakin hati-hati dalam menentukan pilihan politik
2. Tingginya tingkat apatisme masyarakat atas banyaknya janji politik kepala daerah yang tidak terealisasi
3. Ketidakpercayaan diri calon kepala daerah tertentu untuk berkompetisi dalam pilkada

Namun demikian, terlepas dari hipotesa di atas dalam merespons minimnya jumlah kandidat calon kepala daerah di beberapa daerah. Munculnya kandidat tunggal menjadi bukti kegagalan demokrasi liberal di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Pilkada dan Peraturan KPU No 12 Tahun 2015 tidak mampu berhasil menjadikan Pancasila sebagai acuan dasar dalam membentuk kerangka demokrasi di Indonesia yang sehat dan profesional.

Peraturan KPU telah menegaskan bahwa jika daerah hanya memiliki calon tunggal hingga batas watu yang sudah ditentukan, Pilkada pada daerah tersebut ditunda hingga pelaksanaan Pilkada serentak berikutnya yaitu tahun 2017. Peraturan KPU tersebut memposisikan calon kepala daerah yang mengikuti pilkada 2015 seolah-olah seperti baju baru yang dipajang dan dijual di pasaran, masyarakat sebagai objek sekaligus subjek pilkada harus memilih dari sekian banyak merk baju yang terpampang di depannya. Ketika hanya ada ada brand tunggal yang siap di jual, pasar di tutup dan akan dibuka kembali ketika semua brand telah siap di pasarkan.

Hal ini tentu sangat menyedihkan karena pada akhirnya hak-hak masyarakat untuk terus membangun peradaban menjadi terhambat karena harus memuaskan hasrat liberalisme kelompok kepentingan tertentu. Artinya bahwa paham demokrasi liberal yang saat ini di anut oleh Indonesia telah gagal menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Padahal jika acuan pemerintah dalam membentuk suatu peraturan atau kebijakan adalah Pancasila, dalam hal ini Demokrasi Pancasila, maka munculnya kandidat tunggal yang mengikuti pilkada bukanlah hambatan utama dalam membangun bangsa.

Hal ini disebabkan karena Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang merupakan perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang mengandung semangat ketuhanan yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan keadilan sosial bagi bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi pancasila juga diartikan sebagai demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

Menurut Prof. Dardji Darmodiharjo, Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD 1954. Adapun prinsip-prinsipnya menyangkut :

1. Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
3. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggungjawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan orang lain.
4. Mewujudkan rasa keadilan sosial.
5. Pengambilan keputusan dengan musyawarah.
6. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan.
7. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.

Berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi pancasila di atas, maka munculnya kandidat tunggal dalam pilkada serentak di 2015 ini tentu bukanlah alasan utama untuk menyelewengkan hak-hak konstitusional masyarakat Indonesia, sebagai menjaga persautaun dan kesatuan serta melanjutkan pembangunan daerah. Untuk itu, kiranya pemerintah perlu menkaji ulang tentang berbagai peraturan perundang-undangan di negeri ini agar tetap berada dijalurnya yaitu Pancasila dan UUD 1945. 

*) Penulis adalah Pemerhati masalah Politik, aktif pada Kajian Kebangsaan untuk Nusantara Bersatu.