Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terkait Kebijakan dan Kesalahan Administrasi, Pejabat Negara tidak akan Dipidana
Oleh : Redaksi
Selasa | 25-08-2015 | 08:35 WIB
ilustrasi_korupsi_anggaran_-_lup.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan agar penegak hukum tidak memidanakan sebuah kebijakan dan kesalahan administratif dalam pelaksanaan kegiatan di daerah. Harapan itu disampaikan mengingat rendahnya penyerapan belanja modal pemerintah.

Sekretaris Kabinet (Seskab), Pramono Anung, mengatakan, permintaan Presiden tersebut guna mengambil langkah-langkah terkait dengan terus melonjaknya nilai tukar rupiah yang kemarin sudah mencapai angka Rp14.000 per dolar AS.

"Tujuannya agar serapan anggaran itu bisa menjadi tinggi, karena serapan anggaran kita masih rendah yaitu sampai saat ini untuk belanja modal baru 20 persen. Walaupun secara keseluruhan sudah di atas 50 persen, belanja modal masih sangat kecil," terang Pramono.

Karena itulah, kata Pramono, perlu didorong karena mereka para kepala daerah tidak berani karea masih adanya anggapan bahwa takut dilakukan kriminalisasi dalam persoalan hukum. "Harus ada payungnya," ujar Pramono seperti dinukil dari laman Seskab.

Pramono menjelaskan, secara prinsip Presiden meminta agar yang terkait dengan kebijakan dan kesalahan adminiatratif jangan dipidanakan. "Jadi, kalau kesalahan pada administratif, ada UU Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur itu. Maka UU itu yang digunakan. Jadi secara perdata," terang Pramono.

Menurutnya, salah satu faktor yang menyababkan rendahnya penyerapan anggaran karena berdasarkan masukan dari berbagai daerah, kepala daerah takut dalam menggunakan anggaran. "Jadi, lebih baik anggaran disimpan dalam bank daerah. Bahkan terjadi peningkatan dari sebelumnya di bulan April baru Rp253 triliun, kemarin sudah menjadi Rp273 triliun, ada 20 triliun naik," jelas Pramono.

Artinya, imbuh dua, daerah uang negara dan uang BUMN itu ada tetapi tidak berani digunakan karena ada ketakutan terseret ke persoalan hukum.

Presiden Jokowi sendiri sepanjang Senin (24/8/2015) kemarin mengumpulkan para gubernur, kepala kejaksaan tinggi, kepala kepolisian daerah, para pengusaha, dan sejumlah menteri dalam rangkaian pertemuan dan rapat di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat.

Sementara itu, Kepala Kepolisian RI, Jenderal Badrodin Haiti, menjamin tidak akan memidanakan kepala daerah yang tersangkut persoalan administrasi dalam penggunaan anggaran negara. Menurutnya, dalam penanganan kasus korupsi tentu harus bisa dibedakan mana yang kebijakan mana yang kriminal.

"Kalau itu hanya pelanggaran administrasi, ya diselesaikan dengan UU Administrasi," kata Badrodin Haiti kepada wartawan.

Demikian juga yang terkait dengan masalah perdata. Menurut Badrodin, tentu polisi itu atau penyidik itu mencari mind area-nya atau niat jahatnya. "Kalau sudah niat jahat, pasti diproses secara hukum. Kalau itu tidak ada bisa masuk ke masalah perdata atau administrasi," tegasnya.

Badrodin menyampaikan, kejaksaan sudah membentuk tim yang akan memberikan asistensi apakah akan juga ada hal-hal yang kira-kira melanggar hukum atau adakah kerawanan sehingga TP4 Kejaksaan mengawal proses pembangunan itu. "Sedangkan kalau dari Polri tentu kita juga bisa diajak konsultasi. Kalau misalnya ada satu kebijakan yang diambil dan melanggar ketentuan peraturan menteri, Keppres, tentu harus didalami apakah kebijakan tersebut akan berimplikasi kepada potensi kerugian negara atau pelanggaran rutinnya," jelasnya.

Terkait masalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badrodin mengatakan tetap ada prosedurnya. Misalnya jika ada penemuan penyimpangan anggaran, diberikan waktu 60 hari untuk ditindaklanjuti atau dicek masing-masing apakah ini kondisinya darurat atau tidak.

"Kalau pemeriksaan BPK itu ada LHP. Itu ada temuan yang tidak sesuai undang-undang, tidak jelas pertanggungjawabannya. Itu diberikan waktu 60 hari untuk klarifikasi. Setelah waktu 60 hari, polisi dan Kejaksaan bisa masuk akalau ada bukti tindak pidana. Namun, sebelum 60 hari, polisi dan kejaksaan diminta untuk jangan masuk terlebih dahulu," terang Badrodin.

Kalau terkait lelang, pihak yang kalah melakukan sanggahan namun tidak puas sering kali hal ini dilaporkan kepada polisi. Hal itu bukan tidak ditanggapi terlebih dahulu. "Namun, hal itu harus diselesaikan secara administrasi," katanya.

Jaksa Agung, HM Prasetya, juga memberi jaminan serupa. Dia meminta para pejabat negara tidak takut jika memang tidak bersalah. "Orang takut itu kalau memang bersalah," kata Prasetya seraya mengakui, jika dalam situasi seperti ini perlu dibuat kebijakan dan diskresi.

Ia menyebutkan, kebijakan tentunya harus dilihat, tidak serta merta bisa mengeluarkan kebijakan. "Kalau kebijakan tentunya akan menyimpang dari aturan, namanya kebijakan kan begitu. Tapi jika tujuannya untuk kebaikan, misalnya mensejahterakan masyarakat, tentu itu harus kita lihat sebagai sesuatu yang justru harus didukung, bukan dipidanakan. Itu dibicarakan tadi semuanya," kata Prasetya.

Demikian pun ketika masih dalam tahap pelelangan, kejaksaan tidak harus melakukan penyelidikan apalagi penyidikan, kecuali kalau dalam tahapan ituvditemukan ada suap menyuap, dan sebagainya. "Jadi, proyeknya selesai berjalan dulu, kemudian baru ada audit dari BPK, dan sebagainya. Kalaupun misalnya ada kekurangan masih ada lagi tenggang waktu 60 hari untuk diperbaiki," jelasnya.

Ia menambahkan, kejaksaan akan membuat suatu tim pengawal dan pengaman pemerintahan dan pembangunan, itu lebih ke pencegahan arahnya. "Kita dampingi mereka pada saat melakukan pelelangan, dan pengerjaan. Nanti kejaksaan akan membuat semacam program seperti itu, kejaksaan memberikan instruksi ke bawah, nanti kita siapkan regulasinya dalam bentuk peraturan Jaksa Agung," terang Prasetya. (*)

Editor: Roelan