Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Modal Politik dan Pendapatan
Oleh : Opini
Rabu | 19-08-2015 | 11:55 WIB

Oleh: Amril Jambak*

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) yang digelar sekali lima tahun di Tanah Air merupakan simbol demokrasi rakyat dalam memilih pemimpinnya. Tentunya dalam kondisi saat ini banyak pihak yang terlibat di dalam proses tersebut, di antaranya partai politik (Parpol), pasangan calon kepala daerah, tim sukses, dan masyarakat pemilih.

Hiruk pikuk pilkada serentak yang digelar Desember 2015 kini sudah memasuki proses verifikasi pasangan calon kepala daerah, dan pada 24 Agustus 2015 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon kepala daerah yang berhak berlaga.

Untuk mencalonkan diri dalam pesta demokrasi di daerah (Pilkada, red) tentunya penuh lika-liku yang harus dilalui oleh peserta pilkada. Dukungan parpol sangat diperlukan guna menuju singgasana kursi kepala daerah. Paling tidak dukungan dari masyarakat (KTP, red) untuk maju dari calon independen.

Bisik-bisik tetangga (lirik lagu Elvi Sukaesih), untuk memperoleh dukungan baik dari parpol ataupun dukungan KTP bagi calon independen, diperlukan biaya. Bahkan dari informasi yang penulis rangkum, untuk bertarung di pilkada, kontestan harus menyiapkan dana puluhan miliaran untuk tingkat walikota dan bupati. Lain hitungannya dengan gubernur, tentunya angka yang dibutuhkan lebih besar dari walikota dan bupati. Fantastis!

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui Komisioner Bawaslu, Nasrullah, mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan praktik mahar politik dari sejumlah partai terhadap bakal calon (balon) kepala daerah yang akan ikut serta dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak.

Ia menuturkan, meskipun telah ada larangan tetapi praktik mahar politik tetap terjadi. Beberapa bakal calon yang tidak sanggup membayar mahar politik, kata dia, terpaksa mengurungkan niatnya untuk maju dalam Pilkada.

"Beberapa bakal calon kepala daerah mengaku gagal untuk mendapat rekomendasi dari pimpinan partai politik lantaran tidak sanggup memenuhi mahar politik yang disyaratkan dengan nilai disebutkan mencapai miliaran rupiah," ujar Nasrullah di Gedung Bawaslu, MH Thamrin, Sarinah, Jakarta, Senin (3/8/2015), seperti dirilis dari okezone.com.

Oleh karena itu, pihaknya akan meminta kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri rekening 827 calon kepala dareh yang akan berkompetisi di Pilkada 2015.

"Sebab, jajaran pengawas pemilu memiliki berbagai keterbatasan dalam mengawasi perihal praktik mahar politik di Pilkada itu," katanya. 

Selain menelusuri calon kepala daerah, PPATK juga diminta menelusuri rekening dari keluarga para calon kepala daerah, pengurus, partai, fungsionari partai, dan badan pemenangan pilkada di partai. 

Terkait mahar politik, Bawaslu akan memanggil sejumlah bakal calon kepala daerah yang mengaku mengetahui atau pernah dimintakan mahar politik dalam pencalonan kepala daerah pilkada serentak pada tahun ini.

Berkaca dari pernyataan Komisioner Bawaslu Nasrullah, tentulah semuanya paham. Sudah menjadi rahasia umum. Meski rincian pastinya belum diketahui bahwa pengeluaran kontestan pilkada tentulah besar.

Lalu pertanyaannya? Berapa sih pendapatan yang diperoleh kepala daerah, baik gubernur, wali kota, dan bupati.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) di tahun 2013 pernah mengeluarkan data kepala daerah dengan jumlah penghasilan tertinggi bagi gubernur, wali kota, dan bupati di sejumlah daerah. 

Dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (1/12/2013), Knowledge Manager Fitra, Hadi Prayitno, menjelaskan, skema penghasilan kepala daerah terdiri dari beberapa komponen. Penyusun penghasilan kepala daerah mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan operasional, serta insentif pajak dan retribusi. 

Gaji pokok untuk gubernur adalah Rp 3 juta dan wakil gubernur Rp 2,4 juta. Sedangkan wali kota atau bupati mendapatkan gaji pokok Rp 2,1 juta. Adapun gaji pokok wakil wali kota atau bupati Rp 1,8 juta. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 PP Nomor 59 Tahun 2000. 

Untuk tunjangan jabatan, seorang gubernur mendapat Rp 5,4 juta dan wakil gubernur mendapat Rp 4,3 juta. Sedangkan untuk wali kota atau bupati mendapat Rp 3,7 juta, dan wakil-wakilnya mendapat Rp 3,2 juta. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2011. 

"(Adapun) besarnya biaya tunjangan operasional gubernur dan wakil gubernur, serta wali kota dan bupati ditetapkan berdasarkan klasifikasi pendapatan asli daerah (PAD). Dan besar insentif setiap bulan dikelompokkan berdasarkan realisasi penerimaan pajak dan retribusi tahun anggaran sebelumnya," kata Hadi. 

Data menyebutkan, Gubernur dan Wakil Gubernur dengan penghasilan tertinggi di Tanah Air sebesar Rp1,759 miliar, dan Wakil Gubernur Rp1,740 miliar, dipegang oleh DKI Jakarta. Untuk Wali kota dan Wakil Wali kota, Surabaya menempatkan urutan teratas dengan penghasilan bagi Wali kota Rp207 juta, dan Wakil Wali kota Rp200 juta. Sedangkan Bupati dan Wakil Bupati dengan penghasilan tertinggi yakni Kabupaten Badung, yakni Bupati Rp164 juta, dan Wakil Bupati Rp157 juta.

Artinya, jika dihitung selama kurun waktu lima tahun menjabat, Gubernur memperoleh pendapatan sebesar Rp1,04 triliun, bupati total Rp12,4 miliar, dan bupati selama lima tahun menjabat berpendapatan Rp9,84 miliar.

Terindikasi Korupsi
Selama kurun waktu 2004-2014, sebanyak 325 kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) terjerat kasus hukum. Mereka berurusan dengan aparat penegak hukum (KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) dengan status sebagai saksi, tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.

Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Dalam Negeri, dari 325 kepala daerah tersebut 91% terlibat kasus korupsi. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan tersendiri, apalagi jika dihitung dengan kasus korupsi yang melibatkan aparatur di bawah kendali kepala daerah.

Fenomena kepala daerah tersangkut kasus hukum dalam hal ini korupsi tidak hanya terkait dengan keinginan memperkaya diri sendiri atau kelompok. Namun, juga cenderung disebabkan sistem dan aturan yang mengatur tentang pemerintahan daerah.

Catatan akhir penulis, modal yang dikeluarkan dalam pilkada tidak sebanding dengan pendapatan (penghasilan, red). Lalu apa yang mesti dilakukan agar modal pilkada seringan-ringannya agar calon kepala daerah lolos dari korupsi??

Kita hanya berharap, hasil pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan selanjutnya, korupsi tidak lagi terjadi, sehingga semuanya aman dan terkendali serta program pemerintah untuk masyarakat bisa berjalan dengan baik. Mudah-mudahan. 

*) Penulis adalah peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)