Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pulau Penyengat Indera Sakti, Warisan Dunia
Oleh : Opini
Senin | 03-08-2015 | 09:29 WIB

Oleh: Dr H Abdul Malik SPd MPd

GEMA perjuangan untuk menjulangkan Pulau Penyengat Indera Sakti menjadi warisan dunia (world heritage) mulai digaungkan pada Puncak Peringatan Hari Pers Nasional 2015 yang dipusatkan di Provinsi Kepulauan Riau beberapa bulan yang lalu. Bersempena perhelatan akbar insan pers sepersada nusantara itu ditorehkan dua hal mustahak yang peristiwanya berlangsung di Pulau Penyengat Indera Sakti pada 6 Februari 2015.

Pada hari yang baik itu, Jumat, dideklarasikan, pertama, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kepulauan Riau, dan kedua, Pulau Penyengat Indera Sakti akan diusulkan sekaligus diperjuangkan menjadi Pulau Warisan Dunia. Implementasi dari Deklarasi Penyengat itu memerlukan kesungguhan, tanggung jawab, dan keikhlasan semua pihak. Pasalnya, jika gagal, sejarah akan mencatatnya sebagai kegagalan yang memalukan, yang akan menampar durja kita semua sebagai generasi kecundang.

Mengapakah Pulau Penyengat Indera Sakti dipandang penting bangat di antara sekian banyak pulau yang bertebaran di Negeri Segantang Lada ini? Itulah pertanyaan yang akan dijawab oleh tulisan ini. Untuk itu, tinjauannya dilakukan beradasarkan kearifan lokal.

Kearifan lokal (local wisdom, local genius) merupakan hasil pemikiran dan gagasan orang atau orang-orang tempatan. Ianya bukanlah sebarang pemikiran dan atau gagasan, melainkan yang dianggap bijaksana, arif, benar, dan baik sehingga diakui dan diikuti oleh masyarakat di kawasan itu. Pada gilirannya, hasil pemikiran dan gagasan itu dijadikan pedoman nilai oleh, kalau tak seluruhnya, sekurang-kurangnya sebagian besar masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Suatu kearifan lokal dapat meningkat statusnya jika diterapkan oleh kelompok manusia dalam ukuran bangsa, yang awalnya barangkali hanyalah sebatas pegangan hidup manusia dari sekumpulan kecil orang saja. Dalam konteks itu, kearifan lokal telah menjelma menjadi jati diri tamadun sebuah bangsa itu.

Indonesia berasal dari masyarakat yang beragam karena terhimpun dari negara-negara (kerajaan tradisional) dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda, yang kemudian bertekad bulat untuk menyatukan diri dalam satu negara-bangsa, Indonesia. Oleh sebab itu, menghormati pluralisme, kebhinnekaan, adalah contoh kearifan lokal yang bergerak naik dan maju menjadi jati diri (karakter) budaya bangsa kita. Sebagai konsekuensinya, siapa pun yang tak menerima perbedaan di negeri ini akan dipandang aneh, tak bermartabat, kampungan, dan pelbagai cap negatif lainnya.

Satu di antara kekuatan kearifan lokal itu adalah kemampuannya untuk bertahan lama. Nilai-nilainya tak akan tergerus oleh apa dan siapa pun sehingga terus dipedomani oleh suatu masyarakat atau bangsa generasi demi generasi. Bersamaan dengan itu pula, ia juga berkemampuan untuk menapis nilai-nilai budaya asing yang masuk sehingga yang diserap hanyalah saripati terbaik dari budaya asing itu.

Alhasil, akan terjadilah persebatian nilai-nilai budaya lokal dan budaya asing, yang tak hanya memperbaharui dan menambah, tetapi juga memperbaiki nilai-nilai budaya yang dianggap usang. Karena proses itu, kearifan lokal bernilai semesta (universal). Bukankah manusia, bahkan makhluk, sejagat tak pernah menolak kebenaran dan kebajikan? Di dalam kearifan lokal itu terdapat nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang didambakan setiap manusia di mana pun mereka berada.

Berhubung dengan itulah, kearifan lokal dapat disandingkan dengan al-'addah al-ma'rifah', yang dilawankan dengan al-'addah al-jahiliyyah. Artinya, kearifan adat yang dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari oleh pengetahuan, diakui akal, dibenarkan oleh hati, dan dianggap baik oleh ketentuan agama. Dengan demikian, bagi umat beragama jelaslah faktor utama yang memungkinkan kearifan lokal itu mampu bertahan. Dalam hal ini, inayah Tuhan yang menyertainya karena sesuai dengan ketentuan Ilahi, yang jelas bertolak belakang dengan al-addah al-jahiliyyah, yang memungkiri keberadaan Tuhan.

Pulau Penyengat Indera Sakti memiliki warisan yang bernilai kearifan lokal, khasnya kearifan lokal Melayu, yang sudah pasti adanya. Pasal, dalam rentang waktu yang cukup lama, pulau kecil di depan Tanjungpinang itu menjadi salah satu pusat Kesultanan Melayu Riau-Lingga bersama-sama dengan Daik, Lingga, dan sebelumnya Hulu Riau, Sungai Carang, di Pulau Bintan.

Karena pernah berstatus sebagai salah satu pusat kesultanan besar itulah, ada juga orang-orang yang skeptis berujar begini. "Statusnya pada masa lampaulah yang mengangkat marwah Pulau Penyengat Indera Sakti menjadi penting dan diperhitungkan di Kepulauan Riau ini. Jika tidak, Penyengat bukanlah apa-apa karena hanya sebuah pulau yang teramat kecil." Soalnya, benarkah anggapan itu?

Dengan tak mengabaikan upaya manusia, harkat Pulau Penyengat menjadi benar-benar Indera Sakti dan mulia itu memang telah disuratkan oleh (takdir) Allah. Siapakah yang menggerakkan hati Sultan Mahmud Riayat Syah untuk menjadikan pulau comel itu sebagai maskawin (mahar) bagi istrinya tercinta Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah? Dengan kuasa siapakah, kemudian, Sultan bersama Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar lalu memindahkan pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda ke pulau itu? Dan, siapakah yang pernah mengira bahwa dari pulau kecil lagi molek itu sinar gemala mestika tamadun Melayu bergema ke seluruh penjuru dunia, melampaui capaian pusat Kesultanan Melayu mana pun dalam sejarah perjalanan bangsa Melayu pada masa itu, khasnya dalam perkembangan dan kemajuan tradisi intelektual (literasi)?

Pulau kecil itu membuktikan dirinya sanggup mempertahankan dan mengembangkan ciri khas tamadun Melayu yakni kreativitas intelektual yang sungguh memukau dan berdelau. Memang, manusia berencana, bertungkus lumus, berhempas pulas, bermandi peluh, dan berupaya sekuat dapat untuk mewujudkan kesemuanya itu, terutama para pemimpin, cendekiawan, dan rakyat sekaliannya yang memahami dan menghayati tanggung jawab kulturalnya.

Di atas kesemuanya itu, Allah telah menganugerahkan tuah dan marwah kepada Pulau Penyengat Indera Sakti melebihi ribuan pulau lain di dalam kawasan Kesultanan Riau-Lingga, yang sekarang dikenal sebagai Kepulauan Riau. Bukankah ada tak kurang dari 2.408 pulau di daerah ini? Akan tetapi, hanya Pulau Penyengat Indera Sakti yang memperoleh anugerah istimewa itu pada masa lalu.

Dalam era sekarang begitu pulalah yang terjadi dengan Kota Tanjungpinang. Bukankah ketika Provinsi Kepulauan Riau terbentuk ada sebagian orang menghendaki Kota Batam menjadi ibu kotanya? Kehendak itu didasari oleh kenyataan terkini bahwa Batam lebih maju dibandingkan dengan Tanjungpinang. Jelas sekali logikanya, memang.

Akan tetapi, setelah upaya manusia, Tuhan menghendaki Tanjungpinang yang menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Maka, jadilah ia!

Kelompok Senggarang dan Dompak pula bertarung sengit untuk menjadi pemenang penentuan pusat ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Perdebatan heboh di media massa dengan hujahnya masing-masing kala itu, tak kalah dengan berita pertarungan sengit di antara para kandidat dalam pemilihan umum serentak kepala daerah yang sedang berlangsung setakat ini. Takdir Tuhan ternyata Dompak-lah yang terpilih. Energi yang dipinjamkan oleh Allah kepada manusia memang patut digunakan sesuai dengan kapasitasnya, tetapi pada akhirnya Tuhan jualah yang menjadi penentunya. Selanjutnya, kita tinggal menyaksikan bagaimanakah sinar tamadun yang akan dipancarluaskan oleh Tanjungpinang dan Dompak ke depan ini: mampukah ianya menyaingi kecemerlangan Penyengat Indera Sakti pada masa lalu?

Kita fokuskan kepada kearifan lokal warisan Pulau Penyengat Indera Sakti. Apa sajakah kearifan lokal yang mesti dirawat, dibina, dan dikembangkan ke depan ini? Tentu saja sangat banyak ragamnya. Di dalamnya terhimpun warisan budaya benda dan takbenda. Di antara yang paling mustahak adalah yang berikut ini.

Hanya ada dua tempat di kawasan ini yang diakui oleh seluruh masyarakat nusantara dan para pakar linguistik yang pemakaian bahasa Melayu-nya sangat terpelihara, santun, indah, dan baik. Itulah sebabnya, bahasa Melayu di kawasan ini mampu meraih status bahasa Melayu Tinggi, yang dirujuk oleh masyarakat nusantara dan bangsa asing ketika mereka berkomunikasi di antara mereka pada masa lalu.

Puncaknya, bahasa itu diangkat menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Kedua tempat itu ialah Daik, Kabupaten Lingga, dan Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang. Masyarakat kedua tempat itu masa kini diharapkan mampu mempertahankan status kearifan lokal itu sehingga kalau orang dari belahan dunia mana pun akan merujuk bahasa Melayu nan elok lagi indah; mereka harus datang ke Penyengat dan Daik.

Mempertahankan gengsi pemakaian bahasa Melayu Tinggi itu sangat penting artinya. Pasalnya, status itu diperoleh dari hasil kerja keras para pemimpin dan intelektual, yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat kala itu. Tentulah tak mudah untuk mewujudkan sebuah bahasa yang maju menyamai bahasa-bahasa maju di Eropa seperti bahasa Perancis dan Italia. Capaian itu pernah diraih oleh bahasa Melayu pada masa Kesultanan Riau-Lingga.

Lagi pula, status tinggi itu diperoleh berkat keyakinan Bapak Bahasa dan Pahlawan Nasional, Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Engku Haji Tua, putra jati Pulau Penyengat Indera Sakti, bahwa memelihara dan memajukan bahasa merupakan salah satu bentuk pengabdian yang tulus manusia kepada Sang Khalik. Nilai filosofisnya sangat tinggi dan kebenarannya tak terbantahkan oleh siapa pun dan sampai kapan pun.

Selain bahasa, kreativitas intelektual seyogianya merecup kembali di Tanah Bertuah Pulau Penyengat Indera Sakti. Tapaknya telah tersedia, baka (asal-usul)-nya telah bertapak pula, tinggal mengasahnya kembali supaya kembali berkinyau dan berdelau. Tak boleh ada anggapan bahwa dahulu Pulau Penyengat Indera Sakti mampu menjadi sentra keunggulan dan kemajuan peradaban karena merupakan pusat pentadbiran negara, sedangkan sekarang hanya tinggal berstatus sebuah kelurahan saja. Bukan status administrasi pemerintahan itu yang menentukan, tetapi keyakinan kita sebagai manusia. Putra-putra terbaik Pulau Penyengat harus mengambil tanggung jawab itu kembali dengan perasaan bangga dan senantiasa mengharapkan hidayah dan inayah Allah. Dengan begitu, kita benar-benar menyadari keberadaan dan marwah kita dengan rasa bangga dan penuh kesyukuran kepada Allah.

Itulah ajaran kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek-moyang kita. Ajaran itu secara tersurat dan atau tersirat telah diturunkan kepada generasi demi generasi sejak kita baru dilahirkan lagi. Dari generasi Pulau Penyengat Indera Sakti masa kini suatu hari nanti, dan tak perlu berlama-lama, diharapkan akan muncul orang-orang yang diperhitungkan dalam perkembangan sains modern, humaniora, karya kreatif, dan atau agama Islam (ulama), yang memang bidang inilah yang mencuatkan nama Pulau Penyengat Indera Sakti pada masa lalu sehingga sampai kini tak terlupakan. 

Pulau Penyengat memiliki khazanah tradisi, adat-istiadat, dan adab Melayu-Islam yang amat kaya. Tempat-tempat lain di kawasan ini tentulah juga memiliki khazanah itu, tetapi seperti halnya Daik, Lingga, sebagai pusat Kesultanan Melayu, Pulau Penyengat memiliki nilai lebih dalam hal ini.

Komitmen masyarakat Pulau Penyengat Indera Sakti masa kini untuk merawat, membina, mengembangkan, dan menerapkan tradisi, adat-istiadat, dan adab Melayu-Islam yang ranggi itu akan sangat menentukan keberadaan nilai-nilai tamadun yang terala itu.

Ketika orang dari segala penjuru dunia berkunjung ke Penyengat Indera Sakti, mereka akan merasakan ada nuansa tamadun yang berbeda lagi nyaman karena begitu kentalnya tradisi Melayu-Islam di Pulau Penyengat Indera Sakti. Dalam hal ini, masyarakat Penyengat masa kini memang harus memikul tanggung jawab kultural itu sebagai konsekuensi masyarakat yang bermastautin di pusat Kesultanan Melayu yang besar itu. Sebagai perbandingan, tanggung jawab kultural yang sama juga dijalankan oleh masyarakat Negeri Melaka dan Johor di Malaysia. Bedanya, karena kawasan Pulau Penyengat kecil, kesannya akan lebih dirasakan oleh sesiapa saja yang berkunjung ke Pulau Mahar itu.

Ini juga tak kalah mustahaknya. Pulau Penyengat mesti digalakkan untuk menjadi pusat pembinaan dan pengembangan seni-budaya Melayu. Segala genre seni-budaya tradisi, khasnya, harus mendapat tempat kembali di kalangan generasi muda Pulau Penyengat Indera Sakti. Beberapa cabang seni memang telah menggejala tumbuh kembali di Penyengat seperti teater Boria, Wayang Bangsawan, seni musik dan vokal, dan permainan rakyat, bahkan telah menarik perhatian golongan kanak-kanak. Itu gejala yang positif.

Kita berharap, Pemerintah Kota Tanjungpinang dan atau Provinsi Kepulauan Riau memprakarsai berdirinya Rumah Budaya di Pulau Penyengat Indera Sakti. Di Rumah Budaya itulah segala kreativitas seni-budaya dan tradisi intelektual harus direcupkan kembali, dengan memanfaatkan para pembina lokal dan secara berkala mendatangkan para pakar dan profesional yang berkompeten dalam bidangnya.

Pulau Penyengat Indera Sakti merupakan destinasi pelancongan sejarah, budaya, dan spiritual terpenting di Kepulauan Riau. Selain memerlukan Taman Budaya, secara fisik pulau ini semestinya menjadi taman nyata bagi Kota Tanjungpinang dan Kepulauan Riau, bahkan Indonesia. Begitu memasuki Penyengat, pengunjung akan berasa benar-benar masuk ke sebuah taman yang indah-indah. Hutan dan pepohonannya terawat dan tertata rapi lagi bersih nan indah menawan.

Akan sangat eloklah jika taman itu memang betul-betul berwujud taman yang banyak diceritakan di dalam karya sastra klasik Melayu dengan kondisi jalan-jalannya yang nyaman untuk dilalui oleh sesiapa saja. Jika itu terwujud, siapa pun yang datang pasti akan terpesona sehingga mereka akan berusaha untuk berkunjung kembali. Dari kesemuanya itulah, Pulau Penyengat Indera Sakti akan dipandang patut menyandang gengsi Pulau Warisan Dunia. Kini, semua tanggung jawab itu terpulang kepada kita. (*)

*) Penulis adalah Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, dan ketua tim pengusul Pulau Penyengat sebagai warisan dunia.