Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menanti Gebrakan Kepala BIN
Oleh : Opini
Selasa | 28-07-2015 | 09:40 WIB

Oleh: Amril Jambak*

SERIBU orang anggota intelijen baru harus direkrut dalam satu tahun. Itu merupakan tugas ekstra berat yang harus dilaksanakan Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso, pada Rabu (8/7/2015) dilantik menjadi Kepala Badan Intelijen Negara menggantikan Marciano Norman.

Pekerjaan rumah untuk Sutiyoso itu jauh dari ringan karena intelijen mestinya bukan orang-orang sembarangan. Mereka pilihan. Yang terbaik di antara yang paling baik. Dengan segala kemampuannya, mereka harus menjamin keamanan negara dengan memasok informasi akurat.

Sutiyoso menyatakan BIN sesungguhnya membutuhkan 5.000 lebih personel. Nyatanya mereka hanya punya 1.975 orang, setengahnya pun tak sampai dari sumber daya manusia yang diperlukan.

Seribu orang harus didapat waktu satu tahun karena Badan Intelijen Negara, bukan Nasional (seperti undangan yang disebarkan Setneg), memerlukan pasukan untuk menghadapi gelaran akbar politik Tanah Air dari Sabang sampai Merauke, yakni pemilihan kepala daerah serentak yang gelombang pertamanya dimulai akhir tahun ini.

Kekuatan BIN saat ini, ujar Sutiyoso, tak sebanding dengan kebutuhan negara untuk mengamankan pilkada serentak di 269 daerah akhir 2015. Anggota BIN tak merata ada di semua daerah.

Benar atau tidaknya, menurut Sutiyoso, satu anggota BIN menjaga tiga kabupaten. Bila ada kekacauan 10 persen saja, maka akan segera menjadi sangat kacau. Idealnya, kata Wakil Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu, satu kabupaten dijaga lima sampai enam agen intelijen.

Di samping mesti menambah kuantitas personel dalam waktu singkat, kualitas juga diminta Jokowi diperhatikan oleh Sutiyoso, apakah para agen intelijen itu sudah sesuai dengan pembidangan masing-masing atau tidak. Sejumlah anggota BIN akan disekolahkan lagi hingga level pascasarjana.

Kuantitas dan kualitas personel, struktur organisasi, hingga fasilitas BIN terutama alat teknologi informasi dan komunikasi, seluruhnya harus dibenahi dan dilengkapi Sutiyoso agar tak ketinggalan zaman.

“Kalau tidak punya alat yang super canggih, kita (Indonesia, red) akan jebol terus, disadap, seperti pengalaman yang lalu saat komunikasi presiden dan pejabat tinggi negara ini disadap. Padahal mestinya kita bisa proteksi komunikasi pejabat tinggi kita,” kata dia.

Penyadapan yang dimaksud Sutiyoso itu adalah kasus yang menyeruak pada November 2013. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan kemarahannya dengan penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Australia (Defence Signals Directorate --kini berubah menjadi Australian Signals Directorate)

Ketika itu seorang mantan perwira DSD seperti dilansir International Business Times Australia mengatakan Jakarta menjadi pusat aksi spionase Australia di Asia karena dua faktor, yakni pertumbuhan jaringan telepon seluler yang pesat di Indonesia dan elite politik Jakarta sangat cerewet. Para elite politik ini, menurut sang perwira, akan tetap mengoceh andai tahu disadap oleh agen intelijen Indonesia sendiri.

Tapi bagi penulis, ada satu keraguan ketika masalah ini diungkapkan Sutiyoso. Sebagai ketua partai politik, yaki Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yang notabene turut mendukung Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden (Pilpres) lalu, jadi suatu keraguan jikanya seribu agen tersebut murni bekerja sebagai anggota intelijen baru. 

Sebagai ketua parpol, tentunya Sutiyoso bisa ‘menggunakan’ tangan-tangan intelijen untuk mengembangkan parpol yang dipimpinnya hingga ke pelosok negeri ini. Artinya, jika ini dilakukan, perjalanan politik mantan Gubernur DKI Jakarta bakal panjang, tidak berhenti di jabatan Kepala BIN semata.

Mungkin ini pikiran penulis saja. Kita ketahui, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan Kepala BIN yang baru, seperti memahami tugas dan fungsi lembaga yang dipimpinnya.

Bahkan, dalam suatu kesempatan, Sutiyoso pernah menyampaikan sejumlah ancaman semakin kompleks dan bersifat asimetris karena sejalan dengan dinamisnya perubahan secara global dan regional Indonesia.

Dalam uji kelayakan dan kepatutan yang tengah dihadapinya, Sutiyoso mengatakan sumber ancaman pun kini semakin beragam, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih.

Dalam pemaparannya, ada enam bidang ancaman yang sudah menarik perhatiannya. Ancaman pertama adalah di bidang ideologi. Menurutnya, penyebaran ideologi-ideologi radikal dan ekstrem seperti ISIS dapat menghilangkan eksistensi Pancasila di Indonesia.

Oleh karena itu, Sutiyoso pun menilai teknologi dapat menjadi ancaman kedua bagi intelijen. Salah satunya adalah pengamanan terhadap informasi yang didapat dari dunia maya. Hal itu pun berkaitan dengan rawannya informasi akan separatisme, ekstremisme, terorisme dan anarkisme yang bisa dengan mudah di dapat melalui dunia maya.

Ancaman ketiga adalah di bidang politik. Pemilihan kepala daerah yang rencananya akan dilakukan secara serentak di 269 daerah pada 9 Desember 2015 mendatang pun menjadi suatu bentuk ancaman. Sutiyoso mengatakan intelijen harus mewaspadai stabilitas politik dan keamanan pada penyelenggaraan Pilkada nanti.

Ancaman di bidang ekonomi seperti penurunan nilai tukar rupiah tak luput dari perhatian mantan Gubernur DKI Jakarta ini.  "Ini dapat mengganggu stabilitas pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas fiskal APBN," ujar Sutiyoso di ruang rapat Komisi I DPR, Jakarta, Selasa (30/6).

Sutiyoso pun melihat adanya ancaman di bidang sosial dan budaya. Menurutnya, sentimen sara masih menjadi ancaman di berbagai daerah di Indonesia. Sentimen sara ini pun dapat menyulut kerusuhan dan keresahan sosial di sejumlah daerah di Indonesia.

Bidang pertahanan dan keamanan tak luput dari perhatian Sutiyoso. Menurutnya, ancaman kejahatan terorganisir seperti narkoba, perdagangan manusia, imigran gelap dan penjarahan kekayaan laut saat ini semakin membahayakan kepentingan nasional. ‎

Dengan banyaknya program yang bakal dikerjakan Kepala BIN ini. Kita menunggu gebrakan yang dilakukan Sutiyoso setelah resmi menjadi Kepala BIN. Jangan hanya diomongin, tapi dibuktikan dengan aksi nyata.

Tentunya, sebagai spion-nya negara, Sutiyoso bersama jajarannya harus lebih aktif lagi, sesuai dengan visi, yakni tersedianya Intelijen secara Cepat, Tepat, dan Akurat sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan nasional. 

*) Penulis Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan, tinggal di Pekanbaru