Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kajian Sosiologis Tradisi Mudik
Oleh : Opini
Senin | 27-07-2015 | 09:37 WIB

Oleh: Agung Salahudin Parwata*

GAIRAH rasa rindu dan gambaran tentang kampung halaman selalu bergejolak menjelang masa lebaran. Mudik, merupakan momentum paling dinanti oleh anggota masyarakat yang sibuk mencari nafkah di luar kampung halamannya. Pada momentum itu lah seluruh keluarga berkumpul berbagi rasa rindu dan cinta akan kehangatan keluarga.

Secara umum, mudik berarti kembali ke kampung halaman. Dalam terjemahan Inggrisnya, kita temukan “home to the village”. Cak Nur, dalam buku Indonesia Kita, mengartikan mudik sebagai “kembali ke udik” (kampung). Dengan kata lain, hijrahnya seseorang dari satu tempat kembali ke tempat tanah kelahirannya (kampung halaman) adalah peristiwa mudik. Apabila mengacu hal tersebut, dapat diartikan sebenarnya bahwa tidak ada yang luar biasa dari peristiwa mudik. Hal ini disebabkan karena kapan saja peristiwa itu dapat terjadi, tidak hanya saat-saat momentum hari-hari besar agama.

Mudik juga telah menjadi fenomena negeri karena intensinya yang begitu tinggi. Banyak sumber daya negeri yang dikerahkan untuk “melayani” pemudik, mulai dari sektor perhubungan, perdagangan hingga aparat keamanan dan pihak swasta semua bekerja dengan kapasitas tinggi di saat mudik lebaran. Bayangkan juga ada puluhan juta orang melakukan migrasi secara serempak.

Hanya dalam hitungan beberapa hari jutaan orang melintas batas kota hingga pulau. Migrasi yang juga disertai dengan perpindahan kendaraan, barang dan uang dalam jumlah besar ini benar-benar telah menjadi bagian tradisi yang sangat Indonesia.

Padahal perjalanan mudik bukanlah hal yang ringan. Perlu persiapan fisik, mental dan biaya yang tak sedikit. Tak jarang ada yang menghabiskan uang tabungan selama 1 tahun hanya untuk bisa merasakan kampung halaman selama seminggu. Mudik juga tidak lengkap tanpa oleh-oleh karena “syarat sah” mudik lebaran adalah membawa beberap atas yang penuh terisi atau beberapa lembar uang kertas baru di amplop yang tak boleh terlipat.

Akan tetapi, dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia terutama pada saat bulan suci umat Islam (ramadhan), mudik menyimpan kekayaan makna, kearifan dan euforia kebahagiaan. Ada dimensi spiritual, sosial budaya, dan moral di balik peristiwa itu. Hal ini dikarenakan efek resonansi dari mudik di waktu-waktu tertentu seperti bulan ini jauh lebih besar ketimbang hari-hari biasa lainnya.

Terkait fenomena tersebut, terdapat beberapa perlu diselami mendalam terhadap keberadaan mudik di Indonesia. Pertama, mudik berarti kembali ke kampung halaman. Tempat dimana seseorang lahir dan dibesarkan, tempat pembentuk watak dan wajah seseorang dimasa depan. Kampung halaman pun diartikan sebagai wilayah paling strategis bagi seseorang untuk menyeraf kearifan lokal (budaya) guna ditelurkannya dalam kehidupan seharihari. Oleh sebab itu, peristiwa mudik seyogyanya disertai kesadaran untuk mewarisi kembali kearifan-kearifan lokal yang mungkin saja mulai luntur dari kepribadian seseorang sebagai akibat dari pergaulan dan pergumulan dengan budaya kota.

Tradisi lebaran kerap dikaitkan sebagai ajang pelepasan rindu kepada keluarga yang telah lama ditinggalkan, ajang saling maaf-memaafkan berbagai kesalahan dan ajang memperkuat rasa persaudaraan antar sesama. Dengan mudik, dahaga rindu kepada keluarga dapat terobati. Ikatan kasih sayang, jalinan kekeluargaan dan kekerabatan menjadi semakin erat dan sakral. Mudik lebaran bagi sebagian orang sudah seperti kewajiban moral yang harus ditunaikan.

Oleh sebab itu, guna menjaga sakralitas dari mudik lebaran kiranya perlu mendapat dukungan dari seluruh elemen bangsa. Bentuk dukungan tersebut diantaranya seperti : 1) Pemerintah harus mempu menyediakan sarana prasarana transportasi yang baik dan berkualitas, guna memastikan tingkat keamanan berkendara bagi para pemudik. 2) Para kelompok swasta dapat berperan dengan menyediakan dan memastikan bahwa barang-barang yang dijual di lapangan dalam keadaan aman, bersih, higienis, dan terbebas dari bahan-bahan yang dapat membahayakan tubuh. 3) Bagi para pemudik dapat menjaga kesehatan, hati-hati dijalan karena keluarga anda menanti dengan penuh kebahagiaan, bukan rasa duka yang mungkin saja dapat terjadi.

Terakhir, semoga dampak dari mudik lebaran menjadi penyemangat bagi masyarakat Indonesia untuk terus optimis dan bekerja keras untuk bangkit, maju dan sejahtera. Dan harapan besar kami bahwa semoga mudik lebaran ini tidak sekedar euforia tanpa makna, euforia yang datang dan pergi setiap tahun. Melainkan di balik itu, para pemudik menemukan sebuah kearifan dari tradisi mudik sehingga jauh lebih bermanfaat dan menyenangkan, jadikan, momentum tradisi mudik untuk memupuk nilai-nilai kebangsaan yang diilhami dan diperkaya oleh kearifan-kearifan local.

Semoga semangat mudik dapat meningkatkan semangat kebangsaan dan semangat untuk terus bekerja membangun Indonesia yang lebih baik, untuk itu marilah momentum lebaran kali ini dengan segala tradisinya seperti tradisi mudik kita jadikan sebagai mudik kebangsaan yang mengedepan nilai-nilai kearifan local sebagai jati diri bangsa dalam rangka menjalankan secara kongkrit nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. *

*) Penulis adalah Pemerhati masalah Sosial, aktif pada Kajian Sosial Arus Kebangsaan.