Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Implementasi FTZ di BBK
Oleh : Opini
Rabu | 22-07-2015 | 10:24 WIB

Oleh: Djasarmen Purba*

APA HENDAK dikata, meskipun FTZ di BBK sudah bergulir sejak disahkannya UU no 36/2000 yang  mengatur perihal kawasan perdangan bebas dan pelabuhan bebas, nyatanya setelah lebih dari 15 tahun, Batam, Bintan dan Karimun tidak banyak menunjukkan kemajuan yang berarti.

Keistimewaan BBK secara teori FTZ layaknya "gula" yang tidak memberi daya tarik bagi semut untuk mendekat. Booming Batam, khususnya, terutama di sektor industri elektronik dan precision sudah berakhir sejak tahun 2005 yang lalu hingga saat ini. Celakanya, sektor industri galangan kapal(shipyard) dan Migas sejak 3 tahun terakhir ini juga mengalami kelesuan yang luar biasa. 

Bila diinventarisir, memang cukup banyak kelemahan dan kendala yang ditemukan di lapangan, baik dalam bidang regulasi, kepabeanan dan perpajakan. Dalam bidang perpajakan misalnya, adanya issue double tax, PPH pasal 22 untuk ketegori barang DPIL, ketidakjelasan dalam hal refund restitusi kelebihan pembayaran pajak, pengecualian baja dan besi dalam produk impor hingga perbedaan persepsi yang diapakai oleh Bea Cukai dalam hal menetapkan besaran pajak.

Sementara itu, dalam bidang kepabenan kendalanya misalnya adalah adanya pemberlakuan masterlist, sistim penjaluran barang impor yang saling tumpang tindih, ketentuan pemeriksaan fisik yang tidak berdasarkan sampling dan random sampling, persyaratan dalam hal impor sementara terutama kategori alat berat, hingga kepada ketentuan rekomendasi dari badan/departemen teknis seperti BPOM, Karantina, Label SNI, Amdal. Termasuk pula kewajiban pemakian rupiah di daerah perbatasan dan izin-izin kementerian terkait dan lain sebagainya yang sering saling menihilkan dan tumpang tindih satu sama lain. Dalam bidang regulasi misalnnya, adanya "perebutan kekuasaan" antara Pemko dan BP Batam perihal perizinan usaha, lemahnya koordinasi antara BP Batam dan Bea Cukai akibat sangat dominannya otoritas Bea Cukai dalam hal lalu lintas arus perdagangan barang, BP Batam sering tidak dapat menjadi penengah dan pemutus dalam hal sengketa ekspor/impor serta tidak adanya payung anggaran pembentukan badan pengelola Bintan dan Karimun. 

Secara makro dan kasat mata sebenarnya dapat dengan mudah kita identifikasi perihal mandeknya implementasi FTZ di BBK ini. Seperti kapasitas pelabuhan kita yang hingga saat ini masih 600rb TEUs, coba bandingkan dengan singapura yang sudah mencapai 24juta TEUs, Airport Hang Nadim yang masih minim connecting flight domestic dan apalagi oversea, bahkan untuk pesawat kargo mancanegara masih terbilang "transfer" dari Singapura semata, dualisme perizinan lahan di Rempang dan Galang (RELANG), industri minyak dan gas serta perkapalan kita tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku seperti pipeliner, master plate, weldhead dan lain sebagainya. Hampir 90 persen pasokan bersumber dari impor. Industri elektronik juga gagal melakukan upgrading skala industri ke level produsen barang jadi. Setelah 20 tahun beroperasi, mayoritas manufaktur kita hanya mampu menjadi "tukang jahit" level komponen dan sub-assy saja. Industri logistik kita juga terbelenggu tingginya dweling time. Polanya dominan mode FOB untuk import, dan ketika ekspor justru CIF. Itu berarti hampir bisa dibilang industri logistik kita lebih banyak jadi tukang kuli panggul saja. 

BP Batam, juga terlihat sudah kehilangan arah (direction) dan fokus (description). Mestinya BP Batam konsen pada kompetensi dalam mengurusi soal regulasi dan koordinasi termasuk memimpin isu antar-organisasi. Melobi isu budget, marketing, supply chain riset dan teknologi. Alih-alih, BP Batam malah tersedot kedalam pusaran berbagai pekerjaan dan urusan yang sifatnya administratif, teknis dan rutin. Sementara kompetensi ini nyata-nyata juga sudah dimiliki oleh dinas-dinas terkait yang ada di Pemko Batam sendiri. Mestinya urusan dan pekerjaan seperti ini ditransfer saja ke Pemko Batam. Sebab kalau BP Batam hanya melakukan hal-hal yang sifatnya teknis-rutin dan administratif, bukankah sebaiknya BP Batam dibubarkan saja atau dilebur ke dalam Pemko Batam ??? Persoalan FTZ di BBK memang sudah berada pada kondisi kritis . 

*) Penulis adalah Senator DPD RI asal Kepulauan Riau