Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Refleksi Dekrit Presiden 1959
Oleh : Opini
Selasa | 14-07-2015 | 13:44 WIB
sukarno_dekrit_wiki.jpg Honda-Batam
Presiden Sukarno membacakan Dekrit pada 5 Juli 1959 di Istana Negara. (Foto: wikipedia)

Oleh: GuntaraArismunandar*

MASIH lekat di ingatan kita tentang dekrit 5 Juli 1959. Banyak literatur yang menjelaskan tentang proses terjadinya dekrit presiden 5 Juli 1959 tersebut, baik melalui literatur sejarah maupun cerita-cerita masyarakat.Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hal yang melatarbelakangi terjadinya pemilu tahun 1959.

Pada tahun 1955, pemerintah mengadakan Pemilu untuk pertama kalinya. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Alasan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diantaranya adalah : 1) Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.

2) Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. 3) Situasi politik yang kacau dan semakin buruk. 4) Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.

5 ) Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional. 6) Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk. 7) Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.

Terkait hal tersebut, tujuan dikeluarkan dekrit 5 Juli 1959 adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Adapun isi dari dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah : 1. Pembubaran Konstituante. 2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950. 3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Jika dikaitkan dengan kodisi kekinian bangsa ini, konflik kepemimpinan telah terja di parlemen (KMP dan KIH), jika terus berkelanjutan tanpa ada tanda-tanda perdamaian. Maka lebih baik presiden turun tangan dengan memberikan ketegasan secara kontitusi dan sah secara hukum ketatanegaraan. Karena bagaiamanapun jika dibiarkan terus – menerus sama saja dengan mengganggu kepentingan bangsa dan negara.

Parlemen bukan milik satu atau dua golongan, melainkan milik seluruh anggota dewan yang berada di dalamnya sebagai wakil rakyat. Atau mencari jalan tengah yang lain, agar bisa dihentikan seluruh pembodohan emosional politik!

Presiden harus berdiri di area netral. Walaupun dalam hal ini pasti banyak pihak yang meragukan, karena Jokowi sendiri berasal dari unsure parpol. Akan tetapi hanya Presiden yang memiliki wewenang lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian di parlemen, sehingga bisa menemukan titik temu yang tepat.

Sehingga jangan terjadi monopoli salah satu pihak. Seandainya tidak terjadi kesepakatan bersama seluruh partai politik, dan di Senayan masih terus terjadi peperangan yang tidak berhenti. Maka lebih baik lembaga parlemen dibekukan sementara, dan segala kewenangan dan tanggungjawabnya diambilalih oleh pemerintah. Di sinilah akan muncul dekrit presiden.

Ilustrasi ini sebagai gambaran pada konteks kekinian jika dilihat dari situasi dan kondisi dahulu ketika dekrit presiden 5 Juli 1959 terjadi. Semoga saat ini hal tersebut tidak perlu terjadi jika semua pihak mengedepankan kepentingan nasional yang lebih utama dibanding dengan kepentingan kelompok dan golongannya saja.

Jika pemerintah terus melakukan kerja, sedangkan di sisi lain parlemen menghabiskan tenaga, pikiran dan waktu demi mempertahankan ego kelompok. Pastinya akan terjadi banyak masalah-masalah besar lainnya, sebagaimana sebuah efek domino. Karena telah terjadi ketimpangan dalam segala hal, khususnya tersendat atau bahkan terhenti kebijakan/program jangka pendek maupun jangka panjang negara Indonesia.

Terkait hal tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa wajah pemerintah Indonesia saat ini telah sedikit berubah. Perubahan tersebut lebih di sebabkan karena Indonesia telah beberapa kali mengadakan Amandeman UUD 1945. Meskipun pada dasarnya tujuan dilakukannya Amandeman adalah baik demi kesejahteraan masyarakat Indonesia Secara umum.

Untuk itu, terkait telah terlanjurnya terjadi perubahan di dalam wajah Indonesia saat ini. Masyarakat harus dapat menjiwai maksud dan tujuan dari amandeman tersebut, termasuk tentang bagaimana menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai amanat UUD 1945 tersebut.

Semoga masyarakat Indonesia mampu memaknai Dekrit Presiden 1959 sebagai momentum instropeksi diri tentang bagaimana perjalanan ketatanegaraan ini terbentuk. Dengan demikian, masyarakat Indonesia mampu menghargai berbagai usaha pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. pesan kedepannya yaitu dalam menjalankan amandemen berikutnnya hendaknnya harus diperhatikan situasi dan kondisi saat ini atas dampak amandemen-amandemen sebelumnnya, sehingga amandemen benar-benar mengembalikan identitas bangsa serta menjawab berbagai persoalan bangsa maupun percepatan terwujudnya kesejahteraan bangsa Indonesia sesuai dengan yang dicita-citakan dengan tetap menegakan dan menegaskan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang menjadi sumber segala produk-produk hukum da ketatanegaraan, serta menegaskan komitmen berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI dan Bhineka tunggal Ika. *

*) Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Kajian Konstitusional Kebangsaan dan Globalisasi