Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Eksodus Tenaga Kerja Asing
Oleh : Opini
Kamis | 09-07-2015 | 12:58 WIB

Oleh: Andreawaty*

PEMBANGUNAN berbagai proyek infrastruktur di dalam negeri saat ini dilakukan di berbagai tempat dan  banyak menggunakan tenaga kerja asing (TKA) yang didominasi TKA dari China. 

Kementerian Tenaga Kerja beralasan bahwa penggunaan TKA China tersebut bukan untuk menggeser pekerja dalam negeri. Tetapi mereka harus dilibatkan dalam beberapa proyek sesuai kesepakatan kontrak, serta alasan penggunaan teknologi dan proyek pengerjaan. Dari segi kompetensi untuk TKA, Kementerian mensyaratkan ada standar kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat. Jika tidak memiliki sertifikat mereka harus membuktikan punya pengalaman kerja selama 5 tahun dalam bidang yang diajukan, tanpa itu tidak bisa masuk.

Para pekerja asing asal China yang masuk ke Indonesia pun dibatasi jabatannya mengingat kualitas kompetensi tenaga kerja dalam negeri (TKDN) tidak kalah dengan mereka. Tetap berkeyakinan, secara kompetensi TKDN tidak kalah kualitasnya  dibandingkan dengan TKA sehingga jabatan-jabatan yang boleh diduduki oleh TKA dibatasi.

Data dari Kemennaker menyebutkan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) yang sudah dikeluarkannya selama kurun waktu 1 Januari 2014 sampai Mei 2015, berjumlah 41.365 orang, namun yang tersisa saat ini sudah berkurang lebih dari setengahnya. TKA  asal China yang saat ini masih stay di Indonesia adalah sebesar 12.837. Pekerjaan mereka di Indonesia umumnya pada sektor Perdagangan dan Jasa 26.579 IMTA, sektor Industri 11.114 IMTA, dan sektor Pertanian 3672 IMTA.

Setelah merebaknya isu pekerja China di Indonesia terkait pembangunan berbagai infrastruktur, banyak kalangan yang mengaitkan hal itu dengan Angola. Mereka mewanti-wanti agar masalah TKA China di Indonesia tidak sampai membawa implikasi buruk bagi perluasan lapangan kerja di Tanah Air.

Belajar dari pengalaman di Angola jangan sampai terjadi di Indonesia, karena TKA China mendominasi proyek-proyek infrastruktur maka para pekerja lokal termarjinalkan dengan alasan efisiensi kerja. Para pekerja China di Angola bahkan memiliki fasilitas kesehatan sendiri yang dikelola oleh dokter asal China pula. Nyaris tak ada pekerja lokal di pabrik-pabrik di Angola, kecuali petugas keamanan dan wanita yang bertugas mencuci sayuran.

Akhirnya muncul kecemburuan sosial, terjadi sejumlah kasus penyerangan warga lokal terhadap para pekerja China bahkan sebagian ada yang menimbulkan korban. Hal itu terjadi karena China memang suka membawa pekerjanya untuk mengerjakan proyek-proyek mereka, termasuk tenaga kerja kasar sekalipun. Semua itu mereka lakukan karena walaupun pertumbuhan ekonomi China maju pesat, tetapi masih banyak penduduk miskin di sana yang tinggal di pedesaan. Mustahil pemerintah China bisa memberi kehidupan layak kepada 1,5 miliar penduduk dengan pertumbuhan ekonomi sehebat apapun.

Diperkirakan terjadinya eksodus TKA China di Indonesa tidak terlepas dari kesepakatan antara kedua pemerintah dimana China akan memberian pinjaman senilai US$ 50 miliar atau setara dengan Rp 646,9 triliun untuk pembangunan infrastruktur di Tanah Air. Pendanaan tersebut berasal dari China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC). Pinjaman tersebut bersifat jamak  dan akan diberikan kepada perusahaan BUMN  yang akan mengerjakan proyek-proyek infrastruktur. Menurut rencana  dana pinjaman infrastruktur tersebut sebagian besar dipakai oleh PT Perusahaan Listrik Negara untuk membangun transmisi dan beberapa pembangkit listrik. Sisanya akan diberikan kepada sejumlah BUMN di antaranya,  PT Aneka Tambang (Persero) Tbk untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter).

Selain itu, akan digunakan dalam membangun tol trans-Sumatera, terutama ruas Bakauheni - Terbanggi Besar, dan akan dipakai dalam pembangunan kereta cepat, Light Rail Transit, serta pembangunan Pelabuhan Sorong. Keterlibatan China dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur ini dapat membuka ribuan lapanan kerja baru,  namun pemerintah Indonesia harus waspada terhadap rencana pemerintah China dibalik komitmen pemberian bantuan pinjaman tersebut. Dikhawatirkan China bakal melakukan eksodus ribuan tenaga kerjanya ke tanah air dengan membonceng masuknya invenstasi mereka dalam proyek infrastruktur tesebut, karena itu perlu ada klausul khusus agar TKI terlindungi.

Ada baiknya jika pemerintah memperhatikan catatan dari Labor Institute Indonesia, ratusan TKA China  masuk dengan modus bantuan pembangunan proyek infrastruktur. Mulai dari Proyek Pembangunan PLTU Pelabuhan Ratu, Sukabumi, PLTU Labuhan Angin, Tapanuli Tengah, pembangunan jembatan Surabaya-Madura (Suramadu), PLTU Buton Adipala di Cilacap, hingga PLTU Jenu di Tuban, Jawa Timur. Selain itu,  masuknya pekerja-pekerja hCina tersebut juga pernah menimbulkan konflik dengan pekerja lokal seperti di proyek PLTU Buton Adipala, Cilacap dan PLTU Jenu, Tuban Jawa Timur. Pekerja China juga  masuk  tanpa memiliki dokumen yang jelas, seperti kasus pekerja China di proyek PLTU Celukan Bawang, Buleleng Bali yang tidak memiliki paspor dan visa kerja.

Seharusnya  pekerja Indonesia diberikan kesempatan dulu, dan TKA dari China tersebut hanyalah sebagai tenaga ahli saja bukan pekerja lapangan atau pekerja kasar. Pemerintah harus melakukan pengawasan dan pendataan ulang terhadap pekerja-pekerja tersebut, agar perlindungan dan kesempatan kerja bagi pekerja Indonesia lebih mendapatkan prioritas dibanding pekerja asing asal China tersebut.

Selain TKA asal China, sebernarnya TKA asal Jepang dan Korea juga cukup  banyak, hal ini bisa dilihat dari menjamurnya pertumbuhan rumah makan Jepang dan Korea. Menjamurnya rumah makan tersebut pasti karena banyaknya orang Jepang dan Korea di Indonesia khususnya Jakarta. Kalau kita menengok project pembangunan MRT, pelabuhan Tanjung Priok, kawasan industry Delta Mas dan lainnya semuanya dikerjakan TKA Jepang. Sementara kalau ke Cikupa Tangerang TKA asal Korea yang merajalela.  Selain karena alasan yang dikemukakan Kemenaker, ada beberapa kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia yang membuat TKDN  menjadi kurang produktif, sementara TKA harus diakui lebih produktif . Karena itu selama masalah produktivitas belum terpecahkan, masuknya TKA tidak bisa dihalangi  apalagi saat pelaksaan Masyarakat Ekonomi Asean  diberlakukanpada akhir 2015 nanti. *

*) Penulis adalah pemerhati masalah pertahanan dan ketahanan nasional.