Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sebagai Tempat Laporan Kinerha Lembaga Tinggi Negara

Sidang Tahunan MPR Miliki Dasar Hukum yang Kuat
Oleh : Surya
Rabu | 08-07-2015 | 15:27 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Acara Sidang Tahunan MPR RI, dipastikan akan digelar MPR RI pada tanggal 14-16 Agustus 2015 mendatang. Dalam forum Sidang Tahunan tersebut nanti akan diagendakan laporan kinerja lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MK, KY, MA kepada rakyat secara luas.


Sidang tahunan nanti adalah sebuah tradisi ketatanegaraan baru, sebuah konvensi ketatanegaraan baru yang sangat baik untuk lembaga-lembaga negara dan rakyat.

Dalam forum tersebut, rakyat akan bisa mengetahui kinerja lembaga-lembaga negara tersebut dan itu adalah hak rakyat juga di era keterbukaan. Hal tersebut diungkapkan Ketua Badan Sosialisasi MPR RI Ahmad Basarah, dalam Dialog Empat Pilar MPR RI bersama media massa Parlemen, di Ruang Presentasi Perpustakaan MPR RI, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta.

Meskipun desain ketatanegaraan Indonesia, lanjut Basarah, pasca perubahan UUD 1999-2002 lalu tidak mengenal lagi apa yang disebut MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Namun secara kewenangan, MPR RI memiliki wewenang tertinggi yakni berwenang merubah dan menetapkan UUD, melantik dan memberhentikan Presiden.

Sesuai fungsi dan kewenangan itulah MPR membangun satu tradisi baru dalan sistem ketatanegaraan Indonesia yang belum pernah dilakukan dalam praktek-praktek ketatanegaraan sebelumnya, kecuali Presiden yang memberikan laporan kinerjanya dalam bentuk pidato kenegaraan setiap tahun. Namun, sayang pada awal mula gagasan tersebut di bangun ada pihak yang tidak setuju dengan penyelenggaraan sidang tahunan.

Alasan mereka karena tidak ada dasar hukumnya, padahal dasar hukumnya sangat jelas, katanya. Dijelaskan Ahmad Basarah, UUD dalam perspektif ilmu ketatanegaraan, ada yang bersifat written (tertulis) dan ada bersifat unwritten (tidak tertulis ). Unwritten Constitution adalah satu aturan ketatanegaraan yang tidak tertulis, tapi karena ia dipraktekkan dalam tradisi ketatanegaraan Indonesia, maka ia merupakan bagian dari UUD itu sendiri yang melengkapi kekurangan dari UUD yang bersifat tertulis.

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia yang kemudian menjadi konvensi ketatanegaraan Indonesia, sejak awal negara Indonesia berdiri, praktek konvensi ketatanegaraan telah dimulai. Pertama, Bung Karno sebagai Presiden pertama RI, setiap tanggal 17 Agustus selalu berpidato di depan Istana Negara di hadapan rakyatnya yang disebut Pidato Kenegaraan/ Pidato Proklamasi Kemerdekaan RI yang dilakukan setiap tanggal tersebut di depan rakyat. Karena dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi konvensi ketatanegaraan.

Kedua, begitu juga jaman kepemimpinan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto kala itu kerap melakukan Pidato Kenegaraan di depan MPR RI memberikan laporan kinerja-kinerja Presiden kepada MPR RI. Karena dilakukan berulang-ulang maka menjadi sebuah konvensi ketatanegaraan.

Ketiga, di era reformasi, kita mengenal rapat join session, rapat gabungan antara DPR dan DPD untuk mendengarkan Pidato Kenegaraan Presiden dan Pidato Nota Keuangan Presiden. Itu sudah dilakukan beberepa kali dan menjadi konvensi ketatanegaraan.

Keempat, Konvensi ketatanegaran dilakukan Presiden Joko Widodo saat dilantik menjadi Presiden. Menurut UU MD3 dan menurut Tatib MPR RI, setelah Presiden berakhir mengucapkan sumpah dan janji di depan sidang paripurna MPR RI, detik itulah Presiden terpilih langsung memegang kendali kekuasaan pemerintahan RI yang sah.

Editor: Surya