Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Isu Politik Tekan Stabilitas Ekonomi
Oleh : Opini
Rabu | 08-07-2015 | 11:23 WIB

Oleh: Fajri Permana

PERTUMBUHAN ekonomi sebuah negara tidak mungkin terlepas dari stabil tidaknya politik dan keamanan. Kegiatan ekonomi hanya bisa tumbuh jika politik dan keamanan stabil, begitu pula sebaliknya. Itulah rumus yang amat sederhana dan sangat gampang dipahami. Namun, di Indonesia rumus yang begitu simpel terus saja menjadi persoalan pelik. Di satu sisi, kita ingin perekonomian tumbuh pesat, tetapi di sisi lain kita sulit menumbuhkan kestabilan politik sebagai penopang utama.

Kita yakin elite-elite politik di Indonesia sangat memahami pentingnya kestabilan politik demi terciptanya kestabilan ekonomi. Yang menjadi soal, pemahaman seperti itu hanya berkutat di tataran pemikiran, tetapi jarang diimplementasikan dalam perilaku dan tindakan. Persatuan hanya ramai diobral lewat ucapan. Faktanya, mereka masih terbelenggu oleh nafsu untuk berpecah belah atas nama rivalitas yang sepertinya tiada ujung. “Elite-elite politik yang seharusnya memelopori ketenangan jangan memicu kegaduhan”.

Di Indonesia, komponen yang berkontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi ialah konsumsi rumah tangga alias masyarakat. Perannya mencapai lebih dari separuh produk domestik bruto Indonesia. Konsekuensi pertumbuhan dengan topangan konsumsi seperti itu ialah ketika masyarakat bergairah membelanjakan pendapatan, pertumbuhan ekonomi akan melaju. Sebaliknya, begitu daya beli menurun, pilar-pilar perekonomian pun menjadi lemah. Bagai lingkaran setan, daya beli yang rendah membuat dunia usaha tidak berkembang karena lesunya penjualan. Jangankan meningkatkan upah buruh dan menyerap lebih banyak tenaga kerja, pelaku usaha harus berusaha keras untuk tidak mengurangi karyawan.

Sebaliknya, tanpa peningkatan pendapatan, masyarakat tidak memiliki dana lebih untuk berbelanja. Rumah tangga tidak mampu membeli banyak produk yang dihasilkan pelaku usaha. Harga yang tinggi membuat daya beli masyarakat, yang merupakan 'bahan bakar' bagi laju perekonomian, tergerus. Sejarah bangsa pun menunjukkan gejolak harga pangan kerap berimbas serius ke urusan politik. Maka jangan heran jika harga yang terus naik menyebabkan ketidakpercayaan meluas. Isu lama tentang adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan pelaku usaha kembali mencuat.

Lebih dari itu pemerintah juga harus menyiapkan instrumen komplet, mulai dari harga, cadangan, pengendalian ekspor-impor, hingga jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Tidak kalah penting,  harus diperbaiki penyakit lama, yakni tersendatnya distribusi dan menumpuknya pasar pangan di tangan segelintir orang. Makin lambatnya upaya stabilisasi harga berarti membiarkan para tikus pangan beraksi. Mereka akan makin leluasa mengeruk keuntungan dan menghembuskan desakan impor. Maka saatnya pemerintah melakukan tindakan nyata menstabilkan harga, salah satunya dengan menerbitkan Perpres yang telah lama terkatung-katung. Terlebih Perpres akan menjadi bukti hadirnya tangan negara untuk membereskan urusan pangan.

Jangan biarkan rakyat terus bertarung melawan harga hingga mereka tidak berdaya. Perpres pengendalian harga pangan itu semestinya tidak hanya berdampak di waktu menjelang Ramadan, tetapi juga untuk jangka panjang. Sedangkan, peningkatan hasil investasi dan kinerja ekspor memerlukan waktu yang tidak pendek. Namun, tidak demikian dengan menjaga daya beli. Kuncinya ialah disiplin mengendalikan inflasi. Jangan sampai ada lonjakan harga yang tidak perlu akibat tata niaga yang amburadul.

Cegah pula harga-harga melangit karena permainan spekulan dan mafia. Pemerintah telah menyiapkan peraturan tegas untuk membatasi kenaikan harga bahan pokok. Karena itu, tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda penerbitan peraturan tersebut. Aturan itu harus segera diterapkan sebelum lonjakan harga barang dan jasa mendera pada periode Ramadan dan Lebaran yang tinggal sebentar lagi.

Isu Beras Plastik
Isu beras plastik di beberapa pasar tradisional yang membuat kepanikan masyarakat. Keberadaan beras plastik mula-mula dicurigai seorang pedagang nasi uduk di Perumahan Mutiara Gading Timur, Bekasi dimana beras yang ditanak berbentuk aneh dan rasanya seperti plastik. Hal tersebut diperkuat oleh PT Superintending Company of Indonesia (Persero) atau Sucofindo yang mengkonfirmasi beras tersebut benar mengandung plastik. Isu besar beras plastik mulai mendatangkan efek buruk bagi pasar tradisional. Banyak konsumen, terutama kelas menengah ke atas, mulai menghindari pasar tradisional dan membeli beras di pasar-pasar modern yang kini bertebaran. Ini fenomena berulang, sama seperti kasus beras berpemutih, daging celeng, dan ikan asin berformalin.

Tidak mengherankan jika muncul dugaan bahwa isu semacam ini disengaja untuk menjauhkan konsumen dari pasar tradisional. Untuk itu, berharap masyarakat sabar dan tidak gegabah dalam menanggapi kasus beras sintetis. Begitu juga dengan media untuk tidak membesar-besarkan masalah beras sintetis. Jangan mudah percaya dulu terhadap adanya isu beras plastik secara nasional. Memang benar ada beras plastik ditemukan namun hanya di daerah Pasar Bekasi saja tidak secara nasional. Logikanya, kita meragukan peredaran beras plastik tersebut dilatarbelakangi mencari keuntungan karena harga plastik lebih mahal daripada beras.

Geger isu beras plastik menyadarkan kita bahwa bila masih terpakau dan terpaku pada bentuk butiran beras, kita bisa menyuguhkan bentuk bulir beras dengan sisi lain seperti beras rekonstitut, beras analog atau beras artifisial punya peran. kasus beras sintetis perlu dituntaskan agar tidak meresahkan masyarakat dan pedagang. Kasus ini juga menunjukkan bahwa keamanan dan tata niaga pangan perlu diperbaiki. Asal-usul semua beras yang beredar harus bisa ditelusuri melalui pendaftaran merek dan pelaku usaha. Lokasi pengemasan beras pun harus terdaftar sehingga terkontrol.

Menumbuhkan perekonomian bukan sekadar mengejar target angka yang tinggi. Percuma ekonomi tumbuh pesat, tetapi ketimpangan kesejahteraan makin lebar. *

*) Penulis adalah Pengamat Masalah Bangsa