Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sistem Keamanan Laut Kita Diuji
Oleh : Opini
Senin | 06-07-2015 | 12:00 WIB

Oleh: Andreawaty*

PEMBAJAKAN kapal tanker Orkim Harmony milik Malaysia yang mengangkut 22 kru terdiri dari 16 warga Malaysia dan 5 warga negara Indonesia, serta seorang warga Myanmar, diperkirakan terjadi  di perairan Laut China Selatan, dekat negara bagian Johor. 

Pembajakan tersebut kemudian dijadikan trending topic oleh sejumlah media asing serta jejaring sosial media. Isu tersebut dikaitkan media dengan isu lemahnya sistem keamanan wilayah maritim Indonesia dari ancaman pembajakan dan perompakan kapal laut, isu lemahnya sistem patroli laut TNI Angkatan Laut di wilayah perairan Selat Malaka, serta isu ancaman pidana hukum mati terhadap pelaku pembajakan oleh pemerintah  Malaysia.

Disebutkan pula bahwa para perampok berbicara dengan Bahasa Malayu menggunakan aksen Indonesia dan bermaksud melarikan diri ke Kepulauan Natuna Indonesia. Serta dari hasil pemeriksaan yang dilakukan otoritas keamanan Angkatan Laut Vietnam di Pulau Phu Quoc, kedelapan perampok itu mengaku berasal dari Indonesia.

Namun, hingga saat ini Kementerian Luar Negeri belum bisa memastikan apakah betul 8 orang itu adalah warga negara Indoesia. Status WNI itu baru berdasarkan pengakuan mereka saja, karena itu Kementerian Luar Negeri tidak percaya begitu saja dan akan mengkroscek pengakuan itu lebih jauh. Tanpa terasa isu-isu tersebut diatas sangat  mendeskreditkan kebijakan pemerintah Indonesia terkait sistem keamanan wilayah kemaritiman di Selat Malaka dari ancaman pembajakan dan perompakan kapal laut.

Padahal pemerintah Malaysia sendiri mengakui keberadaan satuan tugas khusus TNI Angkatan Laut untuk pengamanan di sepanjang perairan Selat Malaka hingga Laut Cina Selatan yang bernama Western Fleet Quick Response (WFQR) dan berada di bawah jajaran Komando Armada Kawasan Barat (Koarmabar).

WFQR merupakan satuan tugas yang dikhususkan untuk menekan aksi perompakan atau bajak laut di perairan internasional itu, ternyata mampu menekan aksi perompakan atau bajak laut. Terbukti hingga saat ini belum ada laporan mengenai adanya aksi bajak laut di Selat Malaka. Sejauh ini  aksi bajak laut atau perampokan kapal justru terjadi di luar kedaulatan Indonesia.

Otoritas Angkatan Laut Diraja Malaysia sendiri mengakui menyusul hilangnya kapal tanker Orkim Harmony pada 11 Juni dan ditemukan pada 18 Juni  sudah terjadi 7 kali kejahatan perompakan di wilayah perairannya selama kurun waktu dari Januari hingga Juni 2015 ini. 

Sementara itu, hingga saat ini belum ada laporan terjadinya perompakan kapal di wilayah perairan kedaulatan Indonesia. Melihat keberhasilan Indonesia mengamankan perairannya  dari kasus perompakan, Malaysia pun ingin membuat satuan tugas seperti WFQR yang dimiliki TNI AL untuk menghalau bajak laut di jalur perdagangan Malaysia. Malaysia sendiri mengapreasiasi bantuan Indonesia dalam pencarian kapal tanker MT Orkim Harmony yang sempat hilang karena dibajak perompak.

Keberhasilan mengungkap perompakan di perairan Malaysia itu disebut tidak terlepas atas kerjasama dan dukungan Indonesia, terutama dari satuan Western Fleet Quick Response (WFQR) atau tim reaksi cepat Koarmabar. Pengakuan itu disamapaikan secara langsung oleh Wakil Ketua  Agen Penguatkuasan Maritim Malaysia (APMM) Bidang Operasi, Laksamana Madya Maritim Dato' Ahmad Puzi bin AB Kahar bahwa  keberhasilan operasi pencarian MT Orkim Harmony berkat bantuan dari WFQR di bawah kendali Pangarmabar.

Pengakuan yang disampaikan pada acara konfrensi pers tersebut menandakan bahwa isu sejumlah media asing terkait dengan isu lemahnya sistem keamanan wilayah maritim Indonesia dari ancaman pembajakan dan perompakan kapal laut, serta  isu lemahnya sistem patroli laut TNI Angkatan Laut di wilayah perairan Selat Malaka sama sekali tidak benar.

Sebenarnya untuk mengatasi masalah pembajakan  dan  perampokan kapal yang terjadi di wilayah perairan negara-negara ASEAN  bisa dilakukan oleh seluruh negara anggota ASEAN, sehingga menjadi tanggung jawab bersama. Hal itu sesuai dengan perjanjian kerja sama regional tentang Pemberantasan Pembajakan dan Perampokan Bersenjata terhadap kapal di Asia  (The Regional Co-operation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against In Asia).

Diharapkan dengan melibatkan banyak negara di regional  maritim ASEAN maka keamanan wilayah maritim di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan akan terjamin dari ancaman pembajakan atau perompakan kapal. Dengan adanya kerjasama seperti itu akan sangat efektif  jika ada kasus besar yang terjadi.

Malaysia sebenarnya sudah  meminta agar kerjasama dengan Indonesia terus ditingkatkan, khususnya untuk menjaga jalur perdagangan di Selat Malaka. Namun kegiatanyanya hanya dilakukan di wilayah teritorial masing-masing berupa patroli di wilayah masing-masing, tidak mungkin kapal perang Indonesia menyeberang masuk ke wilayah teritorial Malaysia atau sebaliknya.

*) Penulis adalah pemerhati masalah pertahanan dan ketahanan nasional.