Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Biang Kerok Inefisiensi Pelabuhan
Oleh : Opini
Jum'at | 03-07-2015 | 11:04 WIB

Oleh: Andreawaty*

MASIH teringat dalam ingatan kita pada bulan Juni lalu sesaat setelah kembali dari perjalanan ke luar negeri, Presiden Joko Widodo langsung mengadakan rapat terbatas mengenai pelabuhan. Salah satu point yang dibahas adalah rencana pemerintah  membentuk task force (tim penanganan masalah) untuk menekan biaya logistik di pelabuhan, yang  masih tinggi. 

Disebutkan bahwa penyebab in efisiensi pelabuhan karena  pelayanan instansi yang tidak standar dan tidak terintegrasi dengan baik, fasilitas dermaga yang tidak mencukupi, waktu tunggu kapal yang masih relatif lama, produktifitas bongkar muat yang rendah, peralatan yang kurang lengkap dan atau tertinggal teknologi dan birokrasi  di dalam pelaksanaan logistik  tinggi. Selain pelayanan, banyaknya institusi di pelabuhan baik pemerintahan maupun pengusahaan juga menjadi penyebab biaya tinggi.

Beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok unuk mengecek lamanya waktu tunggu (dwelling time). Presiden ingin mengetahui secara langsung apakah sudah ada peningkatan kinerja aparatnya di pelabuhan. Ternyata hasil blusukan itu mengecewakan presiden, waktu tunggu bongkat muat masih tetap tinggi. 

Apalagi ketika ditanya, tidak ada satupun pejabat di sana yang mampu memberikan jawaban penyebab masih tingginya waktu tunggu tersebut. Buruknya pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok berbuntut pada  teguran keras dari Presiden, setelah  beliau mengetahui secara langsung bahwa dwelling time di Tanjung Priok tercatat masih 5,5 hari, paling lama di antara pelabuhan di negara ASEAN.  

Menanggapi kekecewaan presiden, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldy Ilham Masita menyatakan  target menurunkan dwelling time dari 5,5 menjadi 4,7 hari sangat sulit diwujudkan. Masalah ini bukan hanya persoalan fasilitas pelabuhan semata, tetapi juga menyangkut sistem keluar masuk barang di pelabuhan yang terdiri dari tiga proses, yakni  pengurusan dokumen (pre-clearance), pemeriksaan bea dan cukai (custom clearance) dan terakhir proses pengeluaran barang (post-clearance).

Selain itu  masih banyak aturan yang belum sinkron, belum berlakunya sistem satu pintu, sistem online belum tersambung di semua terminal dan institusi yang terlibat dalam proses custom clearance seperti bea cukai, BPOM, karantina dan operator pelabuhan.   Zaldy meminta agar Presiden tidak hanya fokus pada dwelling time impor saja, karena  yang lebih parah adalah dwelling time di pelabuhan-pelabuhan lain diseluruh Indonesia  dibandingkan di Tanjung Priok.

Karena itu menjadi pertanyaan bagi publik, apakah  pemerintah sudah membentuk tim penanganan masalah yang sudah dirapatkan dengan Presiden untuk menekan biaya  tinggi logistik di pelabuhan. Tim tersebut dikoordinasi oleh  Menko Perekonomian dan di bawah pengawasan langsung Wakil Presiden. Rencananya Tim beranggotakan lintas kementerian terdiri dari Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Kelautan  danPerikanan.

Task force tersebut bertugas menganalisa semua permasalahan yang ada di  pelabuhan dan melaporkannya secara periodik kepada Presiden. Ditargetkan tim bisa membereskan masalah birokrasi pelabuhan dalam dua bulan. Ternyata setelah dicek langsung oleh presiden belum ada perubahan apa-apa, justru yang terjadi kemudian adalah saling lempar tanggung jawab antara para pejabat yang ada.  

Jika tim penanganan masalah pelabuhan belum dibentuk sehingga tidak ada perubahan apa-apa di Tanjung Priok serta di pelabuhan besar lainnya, sudah sepantasnya Presiden menegor keras Wakil Pesiden, Jusuf Kalla serta Menko Perekonomian, Sofyan Djalil karena tidak menindaklanjuti perintah Presiden.

Sofyan Djalil sendiri berkilah bahwa roadmap untuk mengatasi permasalahan dwelling time sudah ada  tinggal diimplementasikan saja. Cuma kemarin kemajuannya tidak seperti yang diharapkan Presiden. Dia tampaknya berusaha mencuci tangan, jika kemajuan tidak seperti yang diharapkan maka itu merupakan tanggung jawab operator pengelola pelabuhan  serta instansi  terkait yang ada di pelabuhan dan bukan karena kesalahan pihaknya.

Mengacu pada pernyataan Dirut Pelindo II, telah berkali-kali mengatakan kepada Presiden  â€Žbahwa lambannya dwelling time di pelabuhan bukanlah salah perseroan, melainkan salah delapan kementerian/lembaga. Delapan kemeterian tersebut, yaitu Badan Karantina Kementerian Pertanian, Badan Karantina Perikanan, BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup. Antara satu kementerian dan kementerian lain tidak ada koordinasi, bahkan pegawai dari delapan kementerian yang bekerja di pelabuhan Tanjung Priok kerap tidak ada di tempat. Hal itu mau menegaskan bahwa tim penanganan masalah pelabuhan sama sekali tidak berkerja.

Kekesalan presiden sangat wajar mengingat akibat dari permasahan yang tejadi di pelabuhan, negara mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk memperbaiki kinerja aparat di pelabuhan, mau tidak mau, suka tidak suka Presiden harus segera mengganti sejumlah pejabat terkait. Kini masyarakat menunggu apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan presiden untuk memperbaiki kinerja aparat di pelabuhan. 

Sekedar saran, sebaiknya pemerintah membentuk semacam lembaga yang memiliki wewenang penuh di pelabuhan untuk mengatur oprator pelabuhan serta instansi terkait yang  ada dengan melibatkan pihak swasta yang tergabung dalam pengguna jasa pelabuhan. Diharapkan status lembaga tersebut bukan hanya sekedar melaporkan permasalahan yang terjadi, tetapi benar-benar terlibat dalam mengatur dan menyelesaikan permasalahan yang ada di pelabuhan utamanya antara institusi pemerintah. *

*) Penulis adalah pemerhati masalah pertahanan dan ketahanan nasional.