Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hormati Kedaulatan NKRI
Oleh : Opini
Rabu | 01-07-2015 | 11:11 WIB

Oleh: Amril Jambak*

MESKI manuver politik sejumlah organisasi di Papua untuk menginternasionalisasi masalah Papua dengan menjadikan isu pelanggaran HAM di Papua Barat dan Papua sebagai isu sentralnya, walaupun konon kalangan aktivis Papua ini juga tidak dapat memberikan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran HAM.

Namun, di sisi lain, sejumlah anggota kelompok bersenjata pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyerah dan menyatakan diri bergabung dengan NKRI. Sedangkan panglima OPM Goliat Tabuni hingga kini masih bertahan di hutan pegunungan.

Pernyataan akan turun gunung dan bergabung dengan NKRI itu diungkapkan sejumlah anak buah Goliat Tabuni, dalam pertemuan yang dihadiri Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Fransen Siahaan, Kasdam Brigjen TNI Tatang Sulaiman, saat berkunjung ke Tingginambut. Saat itu, Kasdam didampingi Asintel Kodam Cenderawasih Kolonel Inf Ginting.

"Ada kepastian bila 23 orang anak buah Goliat Tabuni hendak turun gunung, selain dari pernyataan masyarakat dan Kepala Distrik Tingginambut, serta Bupati Puncak Jaya," ujarnya.

Menurut Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Fransen Siahaan, kini 23 anak buah Goliat Tabuni itu sudah berada di Tingginambut dan membaur dengan masyarakat di sekitarnya.

Mereka, kata Pangdam Fransen, meminta bantuan agar dibantu honai atau rumah karena mereka tidak memiliki rumah untuk ditempati.

Dia pun berharap Goliat Tabuni mau menyusul anak buahnya yang sudah terlebih dahulu menyatakan bergabung dengan NKRI.

Ketika ditanya kekuatan persenjataan kelompok Goliat Tabuni, Pangdam Fransen menyebut kelompok itu didukung sekitar 40 pucuk senjata api berbagai jenis.

Goliat Tabuni, merupakan satu dari beberapa tokoh pendukung OPM yang selama ini beroperasi di kawasan pedalaman Papua. 

Sejurus tentang ada rumors diantara kalangan aktivis Papua sebenarnya sudah mengetahui jika Parlemen Eropa (PE) menaruh concern atas permasalahan di Papua dan Papua Barat, terutama kasus pelanggaran HAM-nya sebab Baroness Catherine Ashton (High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy) juga sudah mengetahuinya.

Namun anehnya salah seorang anggota PE menyatakan masukan atau ocehan anggota PE ke Baroness Catherine Ashton tidak memiliki dampak politik karena masukan sejenis banyak dilayangkan oleh anggota PE dan Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement (PCA), karena PE menjamin secara hukum NKRI.

Tidak hanya itu saja, anggota PE ini juga mengakui saat reses di Parlemen Eropa (PE) dia cuti di daerah yang tidak terjangkau internet, namun mendapatkan informasi jika anggota PE lainnya mendapatkan tekanan dari NGO asal dua negara Eropa Barat untuk mengeluarkan surat tersebut, bahkan surat tersebut sudah dibuat oleh LSM tersebut dan bukan dari kantor salah seorang anggota PE.

Bahkan, anggota PE ini menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan konsultasi terlebih dahulu, karena surat tersebut berisi fakta yang ngawur dan tidak sesuai dengan semangat PCA. “Surat tersebut telah memberikan ruang kepada OPM untuk memutarbalikkan situasi di lapangan, karena memberi kesan bahwa PE sebagai suatu kesatuan institusi mendukung dialog yang mengarah kepada referendum. Namun, PE tidak sama sekali menyetujui referendum di Papua dan Papua Barat,” ujarnya.

Menurut Ana Gomes dan Sir Graham Watson di beberapa media massa nasional dan internasional yang mengutip pernyataannya bahwa posisi Uni Eropa atas isu Papua dalam berbagai kesempatan tetap sama yaitu mendukung keutuhan NKRI, isu HAM dibicarakan dalam dialog HAM antara Indonesia-Uni Eropa serta dialog di Indonesia adalah dialog demi kesejahteraan rakyat Papua dalam kerangka NKRI.

Dari pernyataan tersebut, nampak jelas bahwa Parlemen Eropa dan Uni Eropa memandangkan masalah internasionalisasi Papua yang diperjuangkan sekelompok sangat kecil di Papua dan Papua Barat yang didukung beberapa kelompok kepentingan di Jakarta, ternyata tidak perlu ditanggapi karena upaya internasionalisasi tersebut berpotensi merusak Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni Eropa.

Sebagai informasi dan untuk diketahui oleh Parlemen Eropa bahwa kelompok TPN-OPM terus melakukan aksi kekerasan bersenjata untuk menunjukkan eksistensinya, seperti kejadian tanggal 5 April 2014 di perbatasan RI-PNG Skow-Wutung, Papua, sekitar 40 anggota kelompok bersenjata melakukan penutupan akses jalan dan pengibaran bendera Bintang Kejora. Dalam kaitan ini, aparat keamanan yang berupaya menurunkan bendera Bintang Kejora terlibat kontak tembak, menewaskan 2 anggota kelompok bersenjata dan 2 aparat terluka.

Sebelumnya pada 3 April 2014 di Sentani, Kabupaten Jayapura, Markas Komando Pusat Tentara Revolusi Papua Barat (TRWP) mengeluarkan perintah operasi yang ditandatangani Mathias Wenda (Panglima Tertinggi TRWP) untuk mengganggu pelaksanaan Pemilu di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, dan kawasan perbatasan RI-PNG.

TRWP bersama anggota militan KNPB juga akan menyerang pos-pos TNI/Polri di perbatasan RI-PNG Wutung, Koya (Distrik Muara Tami), Arso (Kabupaten Keerom), Abepura, Waena, Kotaraja-Entrop-Jayapura sekitarnya, Sentani-Doyo-Sabron (Kabupaten Jayapura), Taja dan Juk Lereh (perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan nasional). Sementara itu, West Papua National Coalition for Liberation Front mengeluarkan seruan kepada masyarakat Papua untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014.

Sementara itu, di Pos Polisi perbatasan RI-PNG Skouw, Papua, terjadi gangguan keamanan yang dilakukan kelompok sipil bersenjata ke arah Pos Polisi, tidak ada korban jiwa dan materil dalam insinden tersebut. Tanggal 8 April 2014 di Sentani, Papua, terjadi aksi teror kepada warga berupa isu akan adanya penyerangan yang dilakukan OTK menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 sehingga mengakibatkan keresahan warga yang tinggal di kawasan Kampung SP-V, Distrik Yapsi, Kabupaten Jayapura.

Hormati Kedaulatan Indonesia
Dalam masa sidang pleno awal Maret 2014, Parlemen Eropa telah meratifikasi perjanjian Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation Between the Republic of Indonesia, on the one part and the European Community and its Member States, of the other part (Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement-PCA-RI-Uni Eropa) tahun 2009. PCA RI-Uni Eropa sudah diratifikasi 27 negara anggota Uni Eropa (UE).

PCA RI-UE merupakan perjanjian payung yang mengatur kerjasama dan kemitraan secara komprehensif, mendalam dan rinci antara RI-UE. Hubungan Indonesia-UE pasca PCA akan diwarnai oleh pengembangan hubungan yang lebih melembaga dan mencakup bidang kerjasama yang luas termasuk bidang politik, keamanan, counter terrorism, ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan, sosial budaya serta berbagai bidang strategis yang menjadi kepentingan bersama RI-UE.

PCA RI-UE merupakan dokumen yang secara hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Dokumen juga mengatur penegasan dukungan UE baik negara anggota maupun semua lembaga UE seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa, terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. Dukungan penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI oleh Eropa adalah suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum untuk tidak mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun juga.

Upaya-upaya kelompok separatis untuk membuat kantor di negara-negara UE seperti yang dilakukan Benny Wenda di Oxford Inggris adalah suatu hal yang bertentangan dengan kewajiban hukum PCA RI-UE dan hukum internasional, sehingga negara-negara UE yang terikat hukum akan melakukan tindakan dan mencegahnya.

Sir Graham Watson dan Ana Gomes bahkan sama-sama menyatakan Parlemen Eropa senantiasa mendukung keutuhan NKRI, mendorong agar ada pemajuan dan perlindungan HAM serta masalah kesejahteraan di Papua Barat dapat diselesaikan melalui dialog nasional diantara para pemangku kepentingan di Indonesia dalam kerangka NKRI.

Oleh karena itu, sejatinya upaya internasionalisasi masalah HAM Papua tidak akan laku sama sekali, bahkan mereka yang memperjuangkan “kemerdekaan” Papua sekalipun perlu mempelajari masalah referendum, karena ada kesalahan konyol di pemikiran mereka bahwa referedum dilaksanakan untuk memerdekakan Papua, sebab dalam perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ternyata referendum bukan untuk separatisme, melainkan dialog dalam kerangka negara yang menggelar referendum tersebut.

Pemimpin Indonesia harusnya tegas, berani, dan mampu menjaga integritas Papua bersama NKRI. Karena Papu merupakan wilayah Republik Indonesia. Jadi, mari sama-sama kita jaga martabat bangsa. Harga mati bahwasanya Papua merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). *

*) Penulis adalah Peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia