Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pengemis, Kriminalitas dan Lebaran
Oleh : Opini
Senin | 29-06-2015 | 13:47 WIB

Oleh: Abd. Rahman Mawazi*

ADA satu pesan yang kerap kali kita dengar dari para pendakwah, bahwa Ramadan adalah bulan penuh berkah. Keberkahan Ramadan bisa dirasakan umat Islam yang selalu mengharapkan kedatangannya. Secara spiritual religius, bukti keberkahan itu tampak pada kemakmuran masjid dengan membludaknya jamaah yang hadir saat waktu salat fardu. Pada saat salat sunnah tarawih, masjid dan musallah ramai.

Secara spirit sosial ekonomis, banyak warga berlomba-lomba untuk memberikan infak dan sedekah kepada masjid dan musallah, yayasan dan panti asuhan, serta kepada fakir miskin. Hal itu terlihat dari beberapa gelaran kegiatan buka bersama yang diiringi dengan pemberian sedekah ataupun santunan oleh perseorangan, organisasi sosial, dan juga perusahaan. Momentum Ramadan, jelas telah memberikan keberkahan bagi mereka yang membutuhkan bantuan secara ekonomis tersebut.

Meski demikian, ada juga keberkahan negatif dalam perilaku sosial, yakni memanfaatkan momentum Ramadan untuk perbuatan yang tidak baik, seperti bertambah maraknya pengemis, meningkatnya aksi kriminalitas, dan munculnya kecurangan bisnis. Dalam tulisan ini hanya dua hal saja yang hendak penulis ulas, yakni fenomena pengemis dan kriminalitas. Dua hal ini menjadi problem sosial dari keberkahan Ramadan. Motifnya ialah faktor ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sedangkan kecurangan dalam perdangan bermotif keserakahan ekonomis.

Pengemis
Banyak yang memanfaatkan keberkahan itu dengan tindakan negatif, seperti munculnya pengemis atau peminta-minta yang mengharapkan iba dan belas kasihan dari masyarakat. Meskipun ada larangan mengemis dan memberikan bantuan pada pengemis, tetapi hal itu tidak menghalangi kemunculan para gelandangan dan pengemis (gepeng). Kenyataan ini merupakan suatu problematika yang cukup memilukan hati, karena Islam mengajarkan lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. Artinya, lebih baik memberi daripada meminta.

Tidak sedikit warga yang berlomba "memiskinkan diri" saat puasa tiba. Sepertinya mereka tahu betul bahwa pada bulan yang suci ini masyarakat juga berlomba memperbanyak amal baik, salah satunya dengan cara bersedekah. Ketika tidak bisa mendapatkan lokasi di persimpangan jalan raya, mereka menanti di sekitaran masjid dan juga memasuki pemukiman warga.

Secara tidak langsung, mereka merasa dengan mengharap sedekah (pemberian) lebih mudah daripada harus bekerja. Apalagi mendapatkan pekerjaan sangat sulit walaupun pemerintah menyatakan jumlah kemiskinan terus turun. Tetapi nyatanya, kesenjangan sosial itu membuat masyarakat memilih jalan pintas. Yang tak kalah pelik lagi, para penyandang disabilitas juga banyak menggantungkan pendapatannya dengan cara demikian.

Bagi para pemberi sedekah, jika pun hendak beramal, lebih baik menyalurkan langsung kepada penerima ataupun melalui lembaga pengelola zakat, infak, dan sedekah. Tujuannya, agar pemberian itu tidak merendah mereka dan juga turut menghapus mentalitas meminta-minta  dari mereka. Lebih-lebih lagi agar yang sengaja memiskin diri tidak terbuai praktik memita-minta. Inilah pentingnya lembaga pengelola tersebut dan juga lembaga pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat kurang mampu.

Penulis tidak bermaksud mengecilkan mereka (yang sungguh miskin dan tidak mampu bekerja) karena sejatinya hal demikian hadir sebab kesenjangan sosial. Pembangunan yang tidak menyentuh dan tidak berdampak bagi masyarakat kurang mampu serta kepedulian yang setengah hati dari pemerintah menjadi penyebabnya. Kesempatan mendapatkan penghidupan layak tidak terwujud karena daya serap pekerjaan sangat minim. Kalaupun ada, masih dengan gaji di bawah standar. Alih-alih bisa mengubah nasib, mereka justru semakin terperosok pada kemiskinan karena kalah bersaing. Akibatnya, mereka mengambil jalan pintas dengan cara mengemis. Na'udzubillahi min dzalik.

Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah harus padat karya. Bantuan tunai bisa diberikan pada orang jompo dan yang mengalami kemiskinan akut sebab mereka perlu penanganan prioritas. Jika bantuan berupa uang tunai, menyebabkan polemik. Sayangnya, ketika ada program bantuan dari pemerintah, mental masyarakat kita saat ini sering mengaku miskin, namun dalam pergaulan sosial ingin dikategorikan mampu. Akibatnya, program pembedayaan itu pun menjadi tidak tepat sasara karena orang mampu tidak malu memiskinkan dirinya. Dan, di sinilah kepekaan sosial diperlukan; tidak mengambil hak orang lain dan peduli kepada sesama.

Kriminalitas
Yang lebih parah dari aksi mengemis ialah tindakan kriminalitas; seperti pencurian, penjambretan, perampokan, dan bahkan disertai dengan kekerasan hingga pembunuhan. Jamak diketahui bahwa menjelang dan selama Ramadan tingkat kriminalitas meningkat. Hal ini, menurut penulis, juga tidak lepas dari persoalan ekonomi. Tuntutan pemenuhan kebutuhan selama Ramadan dan untuk lebaran seringkali menjadi alasan diungkap para pelaku ketika ditangkap aparat penegak hukum.

Tingkat kebutuhan belanja pada saat Ramadan meningkat dan menimbulkan inflasi. Masyarakat menganggap ada banyak kebutuhan yang diperlukan selama Ramadan dan Lebaran sehingga perlu kecukupan modal untuk memenuhinya. Aksi kriminalitas bagian dari upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Para pencuri nekad beraksi karena tekanan keadaan yang menuntut adanya kesejahteraan ekonomi. Sedangkan pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya.

Kenyataan yang paling pahit dari aksi kriminal demikian ini justru banyak terjadi di perkotaan, khususnya daerah yang menjadi tujuan perantauan, seperti Batam. Warga Batam yang sebagian besar adalah pendatang ini memiliki kebiasaan untuk mengirim uang ke kampung halaman karena di Batam mereka bekerja. Tidak sedikit perantau tergiur datang ke Batam salah kaprah tentang info pekerjaan yang konon gampang di dapat. Mereka berlomba datang ke Batam dengan harapan dapat memperbaiki nasib perekonomian.

Arus pendatang yang tidak terbendung dan lapangan kerja yang tidak bertambah menyebabkan terjadinya pengangguran. Bagi yang tidak kuat bertahan, bisa jadi berbuat melawan hukum. Dalam banyak kasus, tingginya angka pengangguran menyebabkan tingginya angka kriminalitas. Setidaknya ada dua faktor penyebab, yakni karena kesulitan mendapatkan pekerjaan dan karena memang malas bekerja sehingga memilih jalan pintas dengan mencuri ataupun merampok.

Situasi demikian ini malah justru tidak menenangkan selama Ramadan. Hingga saat ini, belum ada pola jitu mengatasi dua problematika sosial itu yang keberadaannya justru semakin parah saat Ramadan. Aksi "memiskinkan diri" dengan menjadi peminta-minta dan melakukan pecurian jelas mengurangi keberkahan Ramadan. Tetapi bagi mereka, memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya saat lebaran, adalah hal penting lainnya. Inilah suatu persoalan dalam masyarakat perkotaan modern dan godaan bagi keberkahan Ramadan.

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.