Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Seri Reshuffle Kabinet-2

Darmin Nasution, Kinerja Minus dan Big Fish Mafia Pajak
Oleh : Opini
Rabu | 24-06-2015 | 15:15 WIB
Edy Mulyadi.jpg Honda-Batam
Edy Mulyadi

Oleh : Edy Mulyadi


Seperti janji saya pada artikel pertama Seri Reshuffle Kabinet, kali ini kita akan bedah Darmin Nasution yang juga disebut-sebut bakal masuk jajaran menteri ekonominya Jokowi. Nama mantan Dirjen Pajak itu juga pernah beredar dalam bursa menteri, ketika Jokowi akan menyusun kabinet edisi perdana.


Saat itu Darmin yang juga pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) itu juga digadang-gadang jadi Menko Perekonomian. Namanya bahkan muncul ‘terlalu dini’, yaitu sesaat setelah Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada pagi sebelumnya.

Para pemasarnya berusaha menjual rekam jejak Darmin yang puluhan tahun malang-melintang di dunia keuangan, perbankan, dan moneter. Selain Dirjen Pajak dan Gubernur BI, dia pernah tercatat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Gubernur OPEC Fund untuk Indonesia, Kepala Bapepam-LK, dan Deputi Gubernur Senior BI. 

Tapi para pengusung tadi mungkin lupa (atau sengaja mengabaikan?), bahwa Darmin punya catatan merah di ranah yang sama. Paling tidak, begitulah di mata Sasmito Hadinagoro, Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI). 

Pria yang getol mengungkap ‘pornografi’ keuangan negara ini menuding Darmin terlibat dalam kasus pajak Haliburton, perusahaan milik mantan Wakil Presiden AS, Dick Cheney. Jejaknya juga ada pada kasus pajak bos Ramayana, Paulus Tumewu.

Sepertinya Sasmito sangat serius dengan tudingan-tudingan itu. Dia sudah menyampaikan hal ini ke DPR, dan bicara di banyak program talk show televisi, radio, serta diskusi-diskusi publik. Bagai tak cukup, dia bahkan sudah menyetorkan data-datanya kepada KPK. Sayangnya, hingga kini progresnya di KPK tidak pernah jelas. 

Kinerja di bawah banderol
Sebagai pejabat publik, sudah semestinya Darmin bekerja ekstra keras untuk memenuhi kewajibannya. Namun selama dia menjadi Dirjen Pajak (2006-2009), penerimaan pajak yang tidak terkumpul mencapai Rp41 triliun. Rinciannya, pada 2006 realisasi penerimaan pajak non-migas sebesar Rp314 triliun. 

Jumlah tersebut masih kurang sekitar Rp18 triliun dari yang ditargetkan di APBN 2006, yaitu Rp332 triliun. Kinerja di bawah banderol itu kembali diulangi pada 2007. Saat itu realisasinya hanya Rp382 triliun, atau kurang Rp13 triliun dari target. 

Padahal, target-target itu sejatinya sudah diturunkan dari sebelumnya. Dalam periode 2006-2009, kala Dirjen Pajak Darmin Nasution berduet dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, target penerimaan pajak di APBN memang selalu diturunkan melalui pembahasan APBN-P. Total koreksi penerimaan pajak dalam APBN-P mencapai Rp81 triliun.

Satu-satunya ‘sukses’ yang bisa diraih hanya pada 2008, saat penerimaan pajak melampaui target APBN-P. Tapi tunggu dulu, prestasi itu tertolong booming penerimaan pajak sektor migas sebesar Rp13 triliun.

Kalau dipikir-pikir, kinerja di bawah banderol Darmin (dan juga Sri Mulyani selaku menkeu) itu memang tragis. Betapa tidak, dalam empat tahun eforia reformasi perpajakan yang digembar-gemborkan pasangan itu, ternyata semuanya meleset. Lebih tragis lagi, reformasi perpajakan itu menelan biaya luar biasa besar, Rp4 triliun lebih. Celakanya, dana itu berasal dari utang luar negeri yang, tentu saja, harus dibayar oleh rakyat Indonesia.

Big fish mafia pajak
Bahkan di era reformasi perpajakan itu pula justru terjadi berbagai kasus mafia pajak. Antara lain, skandal pajak Paulus Tumewu tahun 2006, skandal pajak Haliburton yang di-acc Darmin hanya dalam tempo 12 hari kerja. Uniknya, untuk soal yang sama ini, Dirjen Pajak sebelumnya Hadi Purnomo pernah menolak selama empat tahun berturut-turut.

Masih soal berbagai skandal pajak tadi, mungkin publik belum lupa dengan Gayus Tambunan. Pegawai pajak golongan III-A  ini punya harta kelewat tambun. Menurut versi Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji,  Gayus punya uang Rp25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai Rp60 miliar. Selain itu, di brankas bank atas nama istrinya, juga ada perhiasan senilai Rp14 miliar. Semua itu dicurigai sebagai harta haram. 

Nama Darmin bersama Direktur Utama PT SAT Hindarto Gunawan disebut-sebut pada laporan pengacara mantan Direktur Keberatan Ditjen Pajak Bambang Heru Ismiarso ketika itu, Alamsyah Hanafiah. Surat Keputusan Pajak terkait PT SAT yang dikeluarkan Darmin selaku Dirjen Pajak menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. 

Semestinya, Darmin juga masuk bui bersama dengan Gayus Tambunan dan tiga mantan pegawai pajak lainnya, yakni Humala SL Napitupulu, Maruli Pandapotan Manurung, dan Bambang Heru Ismiarso. Apalagi sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan keduanya terlibat. 

Dengan berbagai skandal tadi, tidak mengherankan bila Sasmito menyebut Darmin sebagai mafia pajak berkategori big fish. Dua lainnya adalah mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan mantan Gubernur BI yang juga mantan Wakil Presiden Boediono. Istilah  big fish sengaja dipinjam dari mantan Presiden SBY yang satu ketika meminta aparat penegak hukum mengungkap mafia pajak besar berkategori big fish.

Semua kisah di atas itu sudah menjadi informasi publik yang mudah diakses. Tidak sulit bagi Presiden untuk menelusurinya. Akan jadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin Jokowi, kelak, akan memasukkan sosok Darmin yang punya rekam jejak negatif itu dalam jajaran tim ekonominya?

Semestinya kali ini Jokowi tidak lagi berjudi dengan nasib perekonomian nasional. Jangan pernah lagi memasang figur-figur yang sama sekali tidak layak, apalagi penuh catatan merah, di jajaran tim ekonomi. Cukup sudah harga teramat mahal yang telah dibayar bangsa dan rakyat Indonesia karena kinerja minus tim ekonomi besutan Wapres JK saat ini. Ampuuun, deh!

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)