Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jurus Pamungkas Berantas Mafia Sepak Bola
Oleh : Redaksi
Senin | 22-06-2015 | 13:43 WIB

Oleh: Fajri Permana

SEPAK BOLA, seperti cabang olahraga lainnya, merupakan ajang meraih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung sportivitas. Namun, di Indonesia, sepak bola masih saja menjadi lahan pelampiasan syahwat para elite untuk terus cakar-cakaran berebut kekuasaan dengan mengorbankan prestasi. Minat publik menonton pertandingan sepak bola pun berbanding terbalik dengan apresiasi terhadap kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Bila sepak bola sebagai tontonan semakin dicintai, sepak bola sebagai organisasi malah semakin dibenci.

Tidak mengherankan jika peringkat sepak bola Indonesia pun terus berkubang di 'kasta bawah'. Indonesia berada di posisi 159 dari 209 negara dalam peringkat FIFA yang dikeluarkan awal April 2015. Posisi Indonesia bahkan kalah dari Timor Leste, negara baru yang pernah menjadi bagian dari Indonesia itu berada di peringkat ke-152 lantaran mengalami lonjakan 33 anak tangga.

Karena itu, ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memutuskan untuk membekukan PSSI pada 17 April 2015, mestinya itu menjadi momentum awal untuk menata ulang sepak bola Indonesia.  Sampai kapan sepak bola kita agar mampu keluar dari lorong gelap yang panjang? Jawabannya amat bergantung pada sampai kapan pula para elite yang mengurus bola di Indonesia bisa berhenti menjadikan olahraga terpopuler di Indonesia sebagai ladang berburu rente dan mempertahankan kekuasaan.

Pembekuan PSSI
Jebloknya prestasi sepak bola nasional dalam kurun lebih dari satu dasawarsa terakhir tak lepas dari salah urus PSSI. Di tangan para elite sepak bola yang mengelola sepak bola bak mengurus arisan dan proyek, gengsi kekuasaan jauh lebih berarti daripada prestasi. Pembekuan itu juga tidak boleh menjadi ajang 'balas dendam' dari pihak-pihak yang pernah sakit hati karena terdepak dari kepengurusan lama, saat dualisme masih terjadi. Keputusan untuk membentuk tim transisi harus disertai tekad mulia membangun sepak bola nasional secara lebih beradab.

Karena itu, untuk membersihkan organisasi sepak bola dari para 'penumpang gelap', Menpora Imam Nahrawi harus memastikan tim transisi yang akan dibentuk untuk menata ulang sepak bola tidak diisi elite yang pernah terlibat perseteruan di PSSI. Penggemar sepak bola yang jumlahnya ratusan juta di Republik ini pasti tidak menghendaki permainan terpopuler sejagat itu terus diatur organisasi yang rusak dan dipelihara seperti kartel. Publik sudah lelah menyaksikan elite sepak bola menjadikan  PSSI sebagai contoh peradaban formal manipulatif yang sangat mengabaikan peradaban kepatutan. Era seperti itu harus diakhiri. Sepak bola yang menjunjung tinggi sportivitas sebagai peradaban tidak boleh terus-menerus disepak-sepak elite yang mengurusinya.

Apalagi jika dugaan sejumlah kalangan akan adanya pengaturan skor, penentuan pemenang, dan penjualan pertandingan benar adanya, kian sempurnalah penyakit kronis tersebut. Karena itu, ketika Menpora Imam Nahrawi memutuskan untuk membekukan PSSI dan membentuk tim transisi, sejatinya itu merupakan pil pahit yang mengobati. Keputusan seperti itu amat penting didukung penuh siapa pun yang menginginkan sepak bola nasional maju dan berprestasi. Selain itu, berkali-kali seruan perlunya revolusi atas induk organisasi sepak bola nasional, PSSI, dipekikkan tetapi yang ditemui tembok tebal berlapis-lapis. PSSI serupa institusi kebal nan tidak tersentuh, organisasi yang pintunya tertutup rapat.

Langkah dan Upaya Pemerintah
Upaya Kemenpora melalui BOPI mendudukkan sepak bola nasional di level profesional mestinya layak disyukuri. Tidak mungkin sepak bola nasional beranjak menjadi industri dengan manajemen profesional jika banyak klub menunggak gaji pemain, pelatih, dan seluruh tim pendukung. Belum lagi kita bicara tunggakan pajak klub. Amat mustahil kita berbicara di level dunia jika mengurusi hal-hal elementer di klub yang menjadi dasar sepak bola profesional saja kita tidak mempunyai kapasitas.

Karena itu, keputusan pembekuan PSSI oleh Kemenpora mestinya bukanlah langkah terakhir. Di negara mana pun, prestasi sepak bola berbanding lurus dengan profesionalitas pengurus federasinya. Makin profesional pengurus dan manajemen sepak bola, kian kinclong pula prestasi tim sepak bola mereka, seperti yang terjadi di Australia, Irak, dan bahkan Brunei Darussalam. Begitu ada yang tidak beres dengan federasi sepak bola yang berujung pada minimnya prestasi, negara pun turun tangan membuat terapi kejut. Sebagian yang di-suspend FIFA, tetapi ada pula yang sekadar diperingatkan. Namun, semuanya berujung manis, yakni prestasi sepak bola yang stabil.

Tekad Menpora untuk mewujudkan sepak bola nasional yang ditangani oleh orang-orang yang bersih, kredibel, serta dikelola secara profesional, tidak boleh kendur. Bangsa ini harus sadar, membangkitkan sepak bola nasional harus dimulai dengan memberangus mafia sepak bola. Penegak hukum harus proaktif mencium gelagat buruk dalam pengelolaan olahraga terpopuler sejagat ini. Karena itu, Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga) tidak usah takut, tidak usah gentar. Terungkapnya skandal di FIFA harus menjadi penambah semangat bagi pemerintah untuk membenahi persepakbolaan nasional dari masalah serupa. FIFA yang selama ini diagung-agungkan PSSI, bahkan menjadi rujukan tunggal, sesungguhnya menyimpan masalah sangat besar.

Dampak Pembekuan PSSI
Menpora menyadari dampak yang ditimbulkan merombak tata kelola sepak bola nasional yang selama ini carut marut seperti tertundanya kompetisi dan kerugian perusahaan sponsor klub dan yang juga tidak kalah penting, nasib para pemain tidak boleh dikalahkan. Untuk itu, Menpora mengaku siap bertanggung jawab dengan keputusannya membekukan PSSI dan tidak takut dengan ancaman sanksi Badan Sepak Bola Dunia (FIFA).

Ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga meminta PSSI lebih terbuka dan profesional mengelola kompetisi dan klub, induk organisasi sepak bola nasional (PSSI) menganggapnya sebagai intervensi dan seperti tantangan 'perang'.  Karena itu, selama PSSI masih menjadi bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mestinya mereka juga tidak bisa serta-merta menafikan organ negara. Pembekuan yang sebelumnya sudah didahului peringatan mestinya tidak boleh diabaikan, dengan selalu berlindung di balik kalimat 'di bawah naungan FIFA'. Kita sepakat dengan Presiden Joko Widodo yang mendukung penuh langkah Menpora memperbaiki sepak bola Indonesia. Dukungan serupa seharusnya disampaikan elemen-elemen di dalam pemerintahan lainnya.

Begitu juga, jika publik sayang terhadap persepakbolaan Tanah Air, laporkan bentuk kejahatan yang telah menjadi isu lama seperti pengaturan skor atau judi. Toh, pemerintah juga satu semangat untuk mengubah total wajah sepak bola nasional yang selama ini sarat cela. Berkaca dari terungkapnya skandal FIFA, inilah saatnya kita menjadikan sepak bola sebagai arena kebanggaan bangsa. *

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Bangsa & Pecinta Sepakbola