Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bangun Ulang PSSI
Oleh : Redaksi
Rabu | 20-05-2015 | 12:10 WIB
kartoyo1.jpg Honda-Batam
Kartoyo DS

Oleh : Kartoyo DS)*

PEKAN KEDUA April 2015 lalu semoga akan menjadi hari bersejarah bagi perkembangan persepakbolaan nasional. Persis sehari menjelang hari lahir PSSI yang ke 85, 18 April 2015, Menpora Imam Nachrowi dengan tegas dan berani melayangkan sepucuk surat pembekuan PSSI. Surat bernomor 01307 tahun 2015 tersebut dirilis Kemenpora pada 17 April lalu.



Alasan pembekuan yang dilakukan Menpora adalah pengenaan sanksi administratif, karena secara de facto dan de jure PSSI nyata-nyata secara sah dan meyakinkan telah terbukti mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan Pemerintah melalui Teguran Tertulis.

Terlepas dari persoalan administrasi, terlepas alasan apa pun yang ada di balik pembekuan PSSI, pemerintah nampaknya memang sudah waktunya  membenahi PSSI secara komprehensif. Karena PSSI sebagai induk sepakbola nasional yang dibentuk 18 April 1930, selama ini menjadi sandaran dan harapan insan sepakbola Indonesia yang tak pernah memberikan hasil gemilang kepada rakyat Indonesia. Prestasi sebagai juara di tingkat internasional apalagi tingkat dunia,  hingga kini masih menjadi angan-angan dan impian.

Meski sudah puluhan tahun berdiri dan gonta ganti kepengurusan,  PSSI tidak mampu mengharumkan nama bangsa ini ke tingkat internasional melalui kancah sepakbola. Padahal antusias serta dukungan rakyat Indonesia terhadap sepakbola nasional begitu besar.

Sebaliknya, hampir dalam setiap laga internasional, PSSI selalu menjadi bulan-bulanan timnas negeri jiran serta negeri belahan dunia lainnya. Hampir di setiap kompetisi internasional, antusiasme pecinta sepakbola tanah air selalu diakhiri dengan kekecewaan. Kadang menyakitkan, Timnas Indonesia bahkan dikalahkan oleh tim sepakbola dari negara yang lima atau sepuluh tahun sebelumnya kerap menjadi lumbung gol Timnas Indonesia. Seperti Myanmar (dulu bernama Burma), Singapura, Brunei Darusalam atau Philipina. Bahkan negeri pecahan Indonesia yang baru berdiri, Timor Leste pun sudah bisa mengalahkan Timnas Indonesia.

Ironis dan terasa aneh memang, Republik Indonesia, negeri dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa  yang sudah menjadi anggota FIFA sejak 1952, ternyata tidak mampu membentuk sebuah tim sepakbola yang tangguh, yang bisa mengharumkan nama bangsa di tingkat dunia.  Jangankan di tingkat dunia, di kancah Asia Tenggara sekalipun, Indonesia belum pernah menjadi juara. Katakanlah di Piala AFF (dulu disebut Piala Tiger). Prestasi tertinggi Indonesia hanyalah tempat kedua di tahun 2000, 2002, 2005 dan 2012. Di ajang SEA Games pun Indonesia jarang meraih medali emas, yang terakhir diraih tahun 1991. Prestasi juara AFF justru disajikan oleh anak-anak U-19 yang bermain begitu gemilang pada 23 September 2013 lalu. Tapi sayangnya U-19 tidak dibina dengan baik, malah dipecah belah dan dilebur dengan U-23.

Apa ada yang salah dengan persepakbolaan Indonesia ?. Apakah benar kita tidak punya sumber daya manusia (SDM) yang bisa diandalkan untuk menjadi pemain sepakbola yang benar ? Kenapa kita tidak bisa mengumpulkan 20 sampai 30 orang berkualitas untuk menjadi juara di lapangan rumput ?.

Bagaimana sebenarnya pola pembinaan dan pola  rekrutmen pemain untuk masuk timnas ? Apakah sudah benar ?Konon, menurut kabar burung yang sudah menjadi rahasia umum, rekrutmen pemain untuk masuk timnas tidak hanya didasari oleh kemampuan pemain, tapi juga dipengaruhi oleh seberapa besar kontribusi secara materiil klub asal pemain yang akan direkrut. Kalau sumbangannya besar, maka pemain klub tersebut bisa direkrut lebih dari satu orang. Sementata klub yang tidak bisa “menyetor” agak sulit pemainnya bisa masuk timnas. Walaupun pemain tersebut punya skill yang bagus. Begitu kabarnya.

Kenyataan ini masih menjadi pertanyaan abadi di benak pecinta sepakbola kita. Tak cuma itu, kabar burung lainnya menyebutkan, konon di dalam tubuh PSSI ada oknum yang kerap mengatur skor untuk praktek perjudian. Edannya lagi, mereka tak segan mengorbankan timnas agar mau kalah dari tim lain.

Kalau memang benar begini adanya,  apa lagi yang mau kita harapkan, apalagi kita banggakan dari sebuah induk organisasi sepakbola semacam PSSI ?. Apalagi mereka tidak mampu mengangkat nama bangsa melalui kancah sepakbola. Jadi, selama 85 tahun berdiri PSSI lebih banyak membuang waktu percuma.

Sementara negara-negara lain yang luas wilayah maupun jumlah penduduknya jauh lebih kecil dari Indonesia, mampu mengangkat nama negara dan bangsa mereka ke tingkat dunia melalui sepakbola. Sebut saja Liberia, dengan George Weah-nya, Trinidad Tobago dengan Dwight Yorke, Kamerun dengan Samuel Eto’o, Pantai Gading dengan Didier Drogba-nya, Nigeria dengan Nwanko Kanu-nya, Kongo dan sebagainya. Sebelum ini, siapa yang tahu negara-negara di Afrika itu. Negara-negara mereka dikenal dunia berkat permainan sepakbola. Karena induk sepakbola mereka mampu menciptakan tim dan pemain berkualitas. Dan yang pasti para pengurus induk sepakbola mereka punya niat yang kuat untuk memajukan sepakbola negaranya.

Sementara niat baik PSSI untuk mengangkat nama bangsa ini ke kancah internasional perlu kita pertanyakan.     Membentuk timnas pun tidak dengan dasar profesionalitas. Secara kasat mata PSSI bahkan melakukan kekeliruan fatal ketika mereka “membubarkan” timnas yang sudah terbentuk begitu baik, yakni timnas U-19. Tak ada timnas di Indonesia sebagus ini. Dari skill individunya, kerjasama timnya, staminanya serta semangat juangnya yang begitu tinggi. Kekurangannya hanya satu, postur yang masih di bawah 185 cm.

Sepertinya, sepanjang sejarah sepakbola Indonesia, belum ada timnas yang cara bermainnya berkelas seperti timnas U-19.   Tapi mereka dipecah belah dan tidak lagi disertakan dalam kompetisi internasional. Bahkan sang pelatih, Indra Sjafri, pelatih yang begitu disegani oleh anak-anak asuhnya di timnas U-19 kini sudah menangani Bali United  Pusam selama lima musim.

Ada apa ? Apakah PSSI tidak menginginkan adanya tim tangguh di negara ini ? Kenapa anak-anak U-19 yang sangat potensial dan mampu menyedot simpati puluhan juta pecinta sepakbola tanah air ini tidak dibina secara serius, misalnya dipersiapkan untuk mengikuti kualifikasi Piala Dunia 2018 di Rusia ? Kenapa tidak menjadikan mereka sebagai the dream tim Indonesia ? Mereka malah dipecah kemudian dengan tim U-23 yang kaulitas permainanya di bawah anak-anak U-19.

Sehingga pola permainan anak-anak U-19 menjadi kacau balau. Evan Dimas, Ilhamudin Haromain, Paolo Sitanggang, I Putu Gede, tidak bisa mengembangkan permainan mereka yang sesungguhnya, ketika dicampur dengan U-23.

Kenapa PSSI tidak membina U-19 dengan baik ?. Apakah fakta mengalahkan macan Asia Korea Selatan 3-2  tidak menjadi catatan buat PSSI ? Apakah fakta U-19 menjadi juara Piala AFF 2013 lalu mengalahkan Vietnam 7-6 melalui drama adu penalti yang menegangkan tidak membuat PSSI bangga pada anak-anak muda berbakat ini ? Atau jangan-jangan para pengurus PSSI tidak memiliki kepekaan terhadap sepakbola ? Atau mereka memang tidak mengerti permainan sepakbola, karena mereka bukan mantan pemain seperti Anjas Asmara, Ricky Yacob, Sutan Harhara, Herry Kiswanto dan tokoh sepakbola lainnya. PSSI banyak diisi oleh politisi yang bermental politis ketimbang mental atlis. Dan pengethuan mereka tentang sepakbola tergolong minim, karena baru menyukai sepakbola sejak liga-liga Eropa ditayangkan di televisi.

Jadi, sudah tepatlah Kemenpora membekukan PSSI. Lebih dari itu, semestinya Kemenpora membubarkan PSSI sampai titik nol kemudian membangun ulang PSSI. Kita bangun kembali PSSI dari awal, seperti ketika Ir Soeratin pertama kali memimpin PSSI yang dulu bernama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Tidak perlu pakai pemilihan seperti sekarang, tidak perlu kongres yang menghabiskan biaya besar. Cukup Kemenpora menunjuk orang-orang yang sudah diyakini kredibel serta kapabel dalam mengelola sepakbola dan memiliki niat baik untuk mengangkat nama baik bangsa ini ke kancah internasional. Terutama para mantan pemain. Singkirkan para politisi dari PSSI, buang jauh-jauh para penjudi dan pengatur skor yang kerap mengorbankan timnas untuk kepentingan materi. Singkirkan kutu-kutu busuk dari sayap Garuda. Mulai hari ini kita harus persiapkan tim Indonesia untuk menjadi juara Asia atau masuk kualifikasi piala dunia.

PSSI bukanlah induk sepakbola Indonesia yang kerjanya hanya menyelenggarakan Liga. PSSI harus bisa membentuk timnas yang tangguh, yang harus mampu menjadi juara Asia Tenggara, Juara Asia dan masuk dalam putaran kualifilasi piala dunia.

Karena itu, para pendukung klub sepakbola tanah air hendaknya tidak berpikir secara regional hanya untuk kepentingan klub saja, tapi kita harus mendorong pemerintah untuk membentuk PSSI yang mampu membawa timnas Indonesia ke kancah dunia. Karena kejayaan timnas Indonesia adalah kebanggaan PSSI dan kebanggan kita sebagai anak bangsa ini.

Apakah kita tidak ingin seperti Korea Selatan atau Jepang yang setiap piala dunia digelar di belahan dunia manapun bendera mereka berkibar menggapai langit. Lagu kebangsaan mereka bergema menggetarkan telinga dunia. Apakah kita tidak ingin lagu Indonesia Raya membahana ke seantero jagad  ? Apakah kita tidak ingin negara kita menjadi tuan rumah piala dunia ? Kalau ingin, mari kita dukung upaya pemerintah mengembalikan PSSI ke habitat yang sesungguhnya, sebagai induk organisasi sepakbola nasional yang bertugas membentuk timnas yang tangguh.

Dan yang tak kalah penting, kembalikan timnas U-19 ke habitatnya, kumpulkan kembali mereka menjadi satu tim yang utuh, sebagai the dream tim Indonesia. Persiapkan Evan Dimas dan kawan-kawan untuk kualifikasi Piala Dunia 2018 Rusia.  Gulirkan kembali secepatnya kompetisi liga indonesia agar tidak terjadi kevakuman sepakbola di dalam negeri.

Bravo sepakbola Indonesia. Jaya di laut, jaya di lapangan rumput. 

Penulis adalah Wartawan dan Pemerhati Sepakbola Nasional