Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR akan segera Bahas RUU KKR, karena Miliki Landasan Hukum yang Kuat
Oleh : Surya
Rabu | 20-05-2015 | 10:38 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR, Arwani Thomafi mendukung Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).



Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini berpendapat, RUU KKR memiliki landasan hukum yang kuat untuk dijadikan Undang-Undang karena telah mempunyai Ketetapan dari MPR RI (Tap MPR).

“RUU KKR ini memiliki landasan hukum yang cukup kuat karena berdasarkan Tap MPR. Jadi layak ditetapkan menjadi UU,” ujar Arwani dalam Forum Legislasi diruang Pressroom Gedung DPR Jakarta, Selasa (19/5/2015).

Arwani menuturkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi jangan sampai menjadi tempat mengadili atau menuduh satu pihak sebagai pelaku kekerasan dan pelanggar HAM.

“KKR jangan memunculkan upaya menjadikan salah satu pihak sebagai kelompok yang tertuduh, apalagi sampai melahirkan permusuhan lagi di masyarakat dalam kasus apapun,” katanya.

Dia melanjutkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga tak boleh mengganggu dan mencampuri proses hukum di pengadilan dan penyelidikan Komnas HAM yang sedang berjalan.

Sementara itu Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu menyatakan bahwa pihaknya akan terus mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk disahkan menjadi undang-undang.

Namun, ia menegaskan bahwa UU KKR itu bukan didasari untuk balas dendam terhadap pihak-pihak yang menjadi pelanggar hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu.

Masinton mengatakan tujuan partainya mendorong penyelesaian RUU KKR adalah demi  menegakkan kebenaran. Selain itu, PDIP juga berkomitmen untuk menjalin rekonsiliasi sesama anak bangsa.

“Makanya kita mengusulkan dugaan tindak kekerasan yang didorong penyelesaiannya terhadap kejadian yang terjadi sejak tahun 1965. Kenapa, karena saat itu terjadi proses menghilangkan hak-hak politik lawan politik dengan cara menghilangkan nyawa orang secara paksa,” tegasnya.

Sedangkan Krisbiantoro dari Kontras mengatakan, draft RUU KKR tersebut justru menilai RUU KKR yang baru ini justru lebih lemah dari UU KKR yang dibatalkan oleh MK tersebut, sehingga tidak jelas ujung-pangkalnya dalam penyelesaian pelanggaran HAM itu sendiri. 

“Setidaknya ada 15 catatan dalam draft itu yang lemah terkait definisi pelaku, batasan peristiwa, tak ada pemisahan yang tegas antara KKR dan pengadilan HAM, kriteria pelanggaran HAM berat, definisi korban, perbedaan korban militer, korban gempa, korban kemiskinan dan sebagainya,” jelas Krisbiantoro.

Padahal, kalau kasus pelanggaran HAM itu sebagai rekayasa penguasa atau by design, seharusnya ada proses rehabilitasi bagi korban. Belum lagi masalah amnesty dan restitusi serta tak ada jaminan pelanggaran HAM itu tidak terulang lagi. 

“KKR pun hanya bersifat rekomendasi, lalu bagaimana kalau tidak dijalankan? Apa cukup hanya dengan pengampunan, yang penting tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi? Ini bahaya,” katanya.

Editor : Surya