Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar dari Kasus KPK versus Polri

MPR Diminta Kaji Keberadaan Lembaga Independen agar Tugas dan Fungsinya tak Tumpang Tindih
Oleh : Surya
Selasa | 19-05-2015 | 09:02 WIB
Irman.jpg Honda-Batam
Irman Putra Sidin dalam diskusi Empat Pilar MPR di Jakarta, Senin (18/5/2015).

BATAMTODAY.COM, Jakarta- Keberadaan lembaga yang bersifat independen, yang dibuat di luar tiga cabang kekuasaan negara yakni eksekutif (Presiden), Legislatif (DPR) dan yudikatif (Mahkamah Agung), dinilai dapat berdampak negatif apabila dalam prosesnya ternyata tidak dapat menjalankan sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Sebab, apabila lembaga negara dinilai gagal dalam menjalankan tugas, maka tidak ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab, atas kesalahan yang dilakukan oleh pejabat lembaga negara yang bersifat independen tersebut.
 
"Jadi kalau terlalu independen, maka ketika lembaga independen itu gagal dalam menjalankan tugasnya, siapa yang bisa dimintai tanggung jawab," kata Pakar Hulum Tata Negara, Irman Putra Sidin, dalam diskusi Empat Pilar MPR di Jakarta, Senin (18/5/2015).
 
Irman merujuk pada kasus perseteruan KPK-Polri yang selalu berulang kali terjadi, sejak mencuat kasus Cicak-Buaya hingga kasus ketidakharmonisan dua lembaga negara itu pasca penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan, yang dianggap internal Polri, pimpinan KPK menyalahi aturan dan bertindak sewenang-wenang.
 
Ketika sejumlah pihak meminta tanggung jawab pimpinan KPK, atas kebijakan-kebijakan yang dinilai menyalahi aturan, para pimpinan lembaga anti korupsi itu menyerahkannya kepada Presiden dan DPR sebagai pemegang kekuasan negara yang telah memilihnya.
 
"Tapi, ketika yang dimintai tanggung jawab Presiden, presiden pun berkilah kewenangannya hanya menyeleksi calon pimpinan KPK. Begitu juga DPR yang telah memilihnya, beralasan dalam tiap kali rapat SOP-nya pun, nggak pernah diberi KPK dengan alasan rahasia negara," imbuhnya.
 
Oleh karena itu, kasus pelanggaran hukum pimpinan KPK, seharusnya bisa menjadi pelajaran, bahwa sistem ketatanegaraan dalam penyelenggara negara harus terikat pada rumpun kekuasaan yang terbagi dalam tiga cabang kekuasaan negara itu. 

Sistem di KPK, yang tidak terikat pada rumpun manapun dalam cabang kekuasaan negara itu, menyebabkan para pimpinannya cenderung bertindak sewenang-wenang, karena tidak ada atasannya yang bisa dimintai tanggung jawab.
 
"Sebaiknya, tidak bisa lagi diciptakan lembaga negara di luar tiga cabang kekuasaan negara itu, DPR, Presiden dan MA. Kalaupun mau diciptakan, harus dilihat tugas dan fungsinya lebih dekat ke mana. Kalau misalnya lebih dekat pada fungsi-fungsi pemerintah, sebaiknya dimasukkan dalam ranah eksekutif," terangnya.
 
Irman menyarankan, agar persoalan hirarki kelembagaan negara ini bisa dipertimbangkan lagi, untuk memperbaiki proses ketatanegaraan lebih baik lagi.
 
"Jadi, saya sarankan teman-teman di DPR, membuat lagi rekonstruksi sistem hukum ketatanegaraan kita, agar tidak adalagi gesekan-gesekan," katanya.
 
Anggota Badan Pekerja Sosialisasi Empat Pilar MPR, Syarifuddin Sudding mengakui ada perbedaan mencolok ketika sebuah lembaga bersifat independen, dengan lembaga non independen yang masuk dalam cabang kekuasaan negara. Seperti Polri dan Kejaksaan yang masuk dalam kekuasaan eksekutif.
 
Ketika Presiden memerintahkan Polri dalam proses penyidikan penyidik KPK Novel Baswedan, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, setika itupula polisi menghentikannya. Tapi ketika pimpinan KPK yang menetapkan tersangka Presiden, maupun pemegang kekuasaan negara lainnya tidak bisa memerintahkannya, karena sifatnya yang independen.
 
Seharusnya kata Sudding, tidak boleh ada intervensi. Karena sekali presiden menyatakan "Saya perintahkan", maka tidak ada lagi penyidikan. Seharusnya tidak boleh ada intervensi dalam proses penegakan hukum. Maka seharusnya Polri menolak perintah Presiden itu," kata Sudding.
 
Anggota Komisi III DPR ini mengatakan, sebaiknya dibuat rumusan baru dalam UU yang bersifat menyeluruh, mengatur tiga lembaga penegak hukum yang ada yaitu KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.
 
"Jadi bisa dibuat UU yang terintegrasi, misalnya Polri hanya diberi tugas penyelidikan dan penyidikan saja, lalu Kejaksaan hanya memiliki kewenangan penuntutan, dan KPK diatur lagi kewenangan-kewenangannya, agar bisa bersinergi dengan Polri dan Kejaksaan," kata Sudding.

Editor: Surya