Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peneliti Temukan Tiga Revolusi Musik dalam 50 Tahun
Oleh : Redaksi
Rabu | 06-05-2015 | 14:49 WIB
the_beatles_abbey_road_other_version.jpg Honda-Batam
The Beatles, salah satu grup musik berpengaruh dari Inggris (Foto: BBC)

BATAMTODAY.COM  - Sebanyak tiga revolusi telah terjadi di bidang musik, kata sekelompok peneliti yang mengkaji rekam jejak musik pop dunia Barat dari 1960 hingga 2010.

Para peneliti dari Universitas Queen Mary dan Imperial College London meneliti lebih dari 17.000 lagu dari tangga lagu Billboard Hot 100. Dari lagu-lagu itu, mereka memantau berbagai karakteristik musik yang berbeda, termasuk harmoni, perubahan kunci nada, dan warna nada.

Mereka kemudian menganalisa bagaimana perubahan musik terjadi dari waktu ke waktu. Pada awal 1960-an, mereka menemukan bahwa kunci nada dominant sevenths yang lazim ditemukan dalam music jazz dan blues mulai hilang.

Dan juga pada 1964 dimulai invasi band-band asal Inggris -- dari Beatles hingga Rolling Stones -- yang memperkenalkan musik rock radikal yang baru.

Para peneliti mengatakan ini adalah revolusi pertama dari tiga revolusi gaya musik.
Teknologi baru, alat synthesizer, dan mesin drum, menjadi faktor utama terjadinya revolusi kedua pada 1983.

Revolusi ketiga terjadi pada 1991, ketika musik rap dan hip-hop mulai dinikmati orang banyak.

"Revolusi ini merupakan yang terbesar. Ini tampak jelas dalam analisa kami, karena kami meneliti harmoni – dan rap dan hip-hop tidak mementingkan harmoni musik. Mereka lebih menekankan gaya ucapan dan ritme. Ini merupakan revolusi nyata, tiba-tiba anda mendengar lagu pop tanpa harmoni," kata Dr Matthias Mauch, dari Universitas Queen Mary, London.

Para peneliti membantah klaim bahwa semua musik pop mulai terdengar sama. "Banyak orang mengklaim musik menjadi semakin buruk, dan kita tidak menemukan itu. Tidak ada tren yang mengindikasi bahwa keseluruhan komposisi musik menjadi kurang beragam," kata Dr Mauch, merujuk hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Royal Society Open Science.

Sumber: BBC