Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyikapi Potensi Konflik Laut Cina Selatan
Oleh : Redaksi
Rabu | 06-05-2015 | 10:44 WIB

Oleh: Andreawaty*

MENURUT data dari Biro Hidrografi Internasional (International Hydrographic Bureau), Laut Cina Selatan yang di daratan Cina hanya disebut sebagai Laut Selatan, terbentang di arah barat daya ke timur laut, yang batas selatannya 3° Lintang Selatan antara Sumatra Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata), dan batas utaranya ialah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan sampai ke pesisir Fujian di Tiongkok Daratan.

Sedangkan negara-negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan laut ini di antaranya: Republik Rakyat Cina, Makau, Hongkong, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Thailand, Kamboja dan Vietnam. Pemerintah Cina sebagai pewaris dari Kerajaan Manchu, mengajukan klaim bahwa hampir semua wilayah Laut Cina Selatan adalah teritorinya. Beijing menyatakan Laut Cina Selatan adalah bagian dari kerajaan lama  Cina, yang kini   mereka bangkitkan kembali.

Batasan klaim historis Cina ini ditandai oleh sembilan garis putus-putus, dalam  peta perbatasan ini tergambar sebagai sembilan garis yang melingkungi Laut Cina Selatan. Kawasan Laut Cina Selatan yang diklaim RRC terlihat menjulur bagaikan sebuah lidah raksasa, dari pangkalnya di Pulau Hainan, Cina bagian Selatan sampai ke pesisir utara Kepulauan Natuna. Sembilan garis putus-putus itu ditarik oleh kartografer dari era rezim Kuomintang di tahun 1946, menjelang berakhirnya perang saudara Cina.  

Perbatasan ini awalnya berupa 11 garis, namun 2 garis kemudian dihapus pada 1953 setelah Partai Komunis mengklaim perbatasan tersebut. Garis putus-putus sembilan ini ternyata  tidak memiliki koordinat geografis satu pun,  seolah garis-garis tersebut digambar begitu saja dengan spidol hitam.

Sembilan garis putus atau Garis U (bahasa Vietnam): duong luoi bo (garis lidah sapi) adalah garis yang digambar oleh pemerintah RRC mengenai klaim wilayahnya di Laut Cina Selatan, meliputi Kepulauan Paracel (diduduki Cina namun diklaim oleh Vietnam dan Taiwan) dan Kepulauan Spratly yang dipersengketakan antara Filipina, Cina, Brunai, Malaysia, Taiwan dan Vietnam. Keseluruhan negara tersebut mengklaim seluruh atau sebagian Kepulauan Spratly yang diyakini kaya akan sumber daya alam itu sebagai miliknya.

Sikap Indonesia dan ASEAN

Menjelang lawatannya ke luar negeri beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa sembilan garis putus-putus yang Cina terapkan tidak memiliki landasan dalam hukum internasional manapun. Dalam hal ini, nampaknya Presiden Jokowi hanya berbicara mengenai simbilan garis putus-putus tersebut dan bukan klaim Cina secara keseluruhan.

Sikap Jokowi sama dengan dengan sikap presiden terdahulu, Susilo Bambang Yudhojono (SBY). Pada tahun 2009 Presiden SBY sudah mengirim sikap resmi pemerintah Indonesia mengenai permasalahan ini kepada komisi PBB di bidang pembatasan landas kontinental. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sembilan garis putus-putus itu tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.

Indonesia sangat kecewa karena Cina  memasukkan bagian Kepulauan Natuna dalam sembilan garis putus-putus. Cina juga mengklaim beberapa bagian Provinsi Kepulauan Riau ke dalam wilayah teritorinya. Bahkan paspor keluaran terbaru Cina mencantumkan suatu gambar yang memperlihatkan peta sembilan garis putus-putus itu.

Minggu lalu juru bicara  Kemenlu Cina, Hong Lei telah mengungkapkan kemarahannya kepada Sekretaris Jenderal ASEAN asal Vietnam, Le Luong Minh terkait tanggapannya atas sengketa Laut Cina Selatan, yang menolak pengakuan Tiongkok atas dasar sembilan garis putus-putus di peta.

Sebelumnya Sekjen ASEAN itu mengatakan kepada Manila Times bahwa ASEAN menolak kebijakan Tiongkok menggunakan garis putus-putus untuk menegaskan kedaulatannya atas sejumlah pulau kecil dan atol di laut itu. Penyatuan ekonomi ASEAN bisa terpengaruh oleh setiap permusuhan, yang bisa pecah. Vietnam berulangkali mengeluhkan mengenai langkah agresif Tiongkok di kawasan perairan itu.

Jurubicara Kementerian Luar Negeri Cina itu mengatakan pemerintahnya selalu mendukung integrasi ekonomi ASEAN, namun ASEAN tidak berada di satu pihak dalam sengketa Laut China Selatan. Sekjen ASEAN seringkali membuat pernyataan sepihak yang tidak sesuai dengan fakta ataupun sesuai dengan posisinya.

Menurutnya ini adalah penyimpangan serius dari posisi netral yang harus dimiliki ASEAN, dan Sekjennya merusak citra ASEAN sebagai organisasi kawasan internasional. Sekjen ASEAN harusnya memastikan bahwa ASEAN tetap pada janjinya untuk bersikap netral dan tidak menggunakan kantor publik untuk keuntungan pribadi.

Cina nampaknya tidak senang jika Vietnam mencoba memanfaatkan ASEAN sebagai sebuah lembaga independen untuk kepentingan mereka. Memang Laut Cina Selatan menjadi titik fokus sengketa maritim di Asia. Dua pihak yang mengklaim perairan ini adalah Cina dan Taiwan. Sedangkan empat lainnya, Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam yang merupakan anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Sebagai suatu organisasi, ASEAN bukanlah bagian dari sengketa, namun memiliki kepentingan untuk menyelesaikan sengketa secara damai, tanpa berdampak pada kebebasan navigasi internasional. Hal itu juga  yang menjadi inti posisi Indonesia. Indonesia bukan salah satu pihak yang melayangkan klaim dalam perselisihan, tetapi  kita akan terdampak jika konflik pecah di Laut Cina Selatan atas sembilan garis putus-putus pada peta Tiongkok.

Oleh karena itu, Indonesia kecewa karena Cina telah memasukkan bagian Kepulauan Natuna dalam sembilan garis putus-putus itu. Namun Pemerintah  Indonesia memilih untuk tidak tergabung dalam kubu strategis tertentu yang mungkin bisa memberikan semacam jaminan keamanan.

Memperkuat Ketahanan Nasional

Terlepas dari kerjasama ASEAN, Indonesia sebagai sebuah  negara berdaulat harus pula mempersiapkan diri untuk menghadapi klaim sepihak RRC karena memasukan sebagian dari wilayah propinsi kita ke dalam wilayahnya. Tentara Nasional Indonesia haruslah memperkuat pasukan di Kepulauan Natuna guna menghadapi kemungkinan usikan akibat ketegangan di Laut Cina Selatan, yang merupakan salah satu jalur perairan kunci dunia.

Potensi konflik di Laut Cina Selatan cukup besar, diisamping itu kita bisa melihat bagaimana agresifitas Cina  dalam melakukan klaim atas wilayah di Laut China Selatan. Salah satu bentuk agresifitas militer Cina dikawasan ini adalah dengan kehadiran kapal kapal perang di sekitar kepulauan Spratly yang mendapat protes dari Filipina. Kapal Perang Cina juga sempat bersitegang dengan kapal perang Vietnam, bahkan Kapal Perang Cina sampai menabrak kapal perang Vietnam. Kapal perang Cina juga diketahui pernah berlayar di kawasan James Shoal yang hanya berjarak 80 Km dari negara bagian Serawak, Malaysia

Meski kekuatan militer Indonesia semakin bertambah dengan hadirnya berbagai alutsista TNI terbaru di tahun 2015 sampai 2020 nanti, namun sampai saat ini wilayah Kepulauan Natuna yang merupakan salah satu wilayah terluar Indonesia yang sangat berdekatan dengan wilayah konflik Laut Cina Selatan, relatif belum terjaga oleh kekuatan militer Indonesia. Walau sudah terdengar beberapa berita terkait rencana penambahan kekuatan militer Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna sebagai antisipasi memanasnya konflik di Laut Cina Selatan.

Salah satu yang sudah sering kita dengar adalah rencana pemerintah Indonesia untuk menempatkan satuan Helikopter Serang AH-64 Apache yang tidak lama lagi akan menjadi alutsista TNI terbaru. Namun rencana penambahan kekuatan miluiter Indonesia melalui penempatan Skuadron Helikopter Serang AH-64 Apache di Kepulauan Natuna, masih jauh  karena alutsista yang dibeli dari Amerika Serikat ini rencananya baru akan tiba di Indonesia di sekitar tahun 2017-2018 nanti.

Masyarakat mengharapan pemerintah Indonesia terus menambah kekuatan militer, baik alusista TNI maupun penambahan kekuatan personelnya di sekitar kawasan ini. Sehingga nantinya Indonesia benar-benar memiliki kekuatan militer yang cukup mumpuni untuk menjaga kedaulatan Indonesia khususnya di sekitar Kepulauan Natuna dari ancaman konflik besar dimasa datang. Selain itu, tentunya upaya diplomasi damai untuk penyelesaian konflik Laut Cina Selatan terus dilakukan. *

*) Penulis adalah pemerhati masalah pertahanan dan keamanan, tinggal di Jakarta.