Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meneropong Respon Dunia Pasca Hukuman Mati
Oleh : Redaksi
Selasa | 05-05-2015 | 08:22 WIB

Oleh: Herni Susanti*

PERGANTIAN pemerintah kerap membawa angin baru dan segar dalam hubungan antar negara. Pemerintahan baru akan meninggalkan cara-cara pemerintahan sebelumnya dalam mengelola hubungan dengan Indonesia. Mereka tidak memiliki beban sebagaimana pemerintahan sekarang yang secara reguler mengancam pemerintah Indonesia terkait pelaksanaan eksekusi hukuman mati terpidana kasus narkoba di Indonesia oleh warga negara asing.

Pasca eksekusi mati, Tony Abbott (PM Australia) langsung bereaksi segera menarik dubesnya di Jakarta, begitupula dengan sikap Francois Hollande (Presiden Perancis) yang akan memutus hubungan diplomatik dengan Indonesia, bila tetap melaksanakan hukuman mati serta mengancam akan memutuskan/meninjau kembali hubungan Indonesia dalam segala bidang.

Negara Indonesia disarankan menghadapi reaksi pemerintah Australia, Perancis, Brasil dan PBB yang mewakili kepentingan sepihak sekutu) secara bijak. Apabila ketidaksukaan tersebut dalam bentuk nota protes diplomatik, bahkan pemanggilan pulang Dubes Australia kembali ke negaranya, maka pemerintah tidak perlu bereaksi. Mengingat tindakan tersebut masih dalam koridor tata krama hubungan antar negara ketika suatu negara tidak menyukai kebijakan negara lain namun tetap menghormati kedaulatan negara tersebut. Namun bila tindakan pemerintah Australia melebihi dari yang dimungkinkan maka tidak ada pilihan lain pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dan keras. Selain itu, tindakan pemerintah Indonesia adalah ketika kedaulatan negara yang menjadi taruhan maka tidak ada kompromi.

Tnidakan Tegas Indonesia

Sikap tegas Presiden Jokowi dalam menghadapi tekanan pemerintah asing yang warga negaranya masuk dalam daftar eksekusi mati membuktikan jika Presiden Jokowi menjalankan prinsip bernegara yakni kemandirian hukum. Salah satu prinsip bernegara yaitu adanya kemandirian (independensi) dalam mengelola atau mengurus negara, salah satunya tampak dalam kemandirian menegakkan hukum. Tindakan tegas Pemerintah Indonesia dapat bermacam-macam, mulai dari menghentikan segala bentuk kerjasama dengan Australia semisal dibidang manusia pencari suaka dengan tujuan Australia hingga perang melawan terorisme. Secara ekonomi pemerintah dapat melakukan moratorium impor sapi asal Australia. Bila Australia menghentikan berbagai bantuan ke Indonesia, pemerintah harus melihat tindakan ini sebagai positif karena akan memandirikan Indonesia dan membebaskan Indonesia dari bantuan asing. Bantuan asing kerap dijadikan alat untuk mengendalikan pelaksanaan kedaulatan Indonesia yang dianggap tidak sejalan dengan negara pemberi bantuan.

Selain itu, bila Australia mengutak-atik integritas wilayah Indonesia maka pemerintah perlu mengingatkan keberlakuan Lombok Treaty atau Perjanjian Lombok. Perjanjian ini yang mewajibkan kedua negara untuk menghormati integritas wilayah masing-masing negara. Satu hal yang pemerintah Indonesia harus pertahankan untuk tidak terganggu adalah hubungan baik antar masyarakat kedua negara. Hubungan dengan masyarakat Australia harus diutamakan karena rakyat Australilah yang mempunyai hak untuk mengganti pemerintahan. Masyarakat di Indonesia pun perlu diimbau untuk mempercayakan dan mendukung kepada pemerintah dalam menghadapi reaksi dari pemerintah Australia. Situasi yang tidak diharapkan adalah masyarakat mengambil tindakan sendiri yang tidak bersahabat terhadap warga Australia.

Mengantisipasi Kecaman/Reaksi Internasional

Indonesia perlu mengantisipasi berbagai kecaman dan reaksi masyarakat internasional terkait eksekusi mati terpidana narkoba. Kejaksaan Agung telah mengeksekusi 7 dari 8 terpidana mati kasus narkoba pada 29 April 2015 dini hari di Nusakambangan, Cilacap, Jateng yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan (Australia), Martin Anderson (Ghana), Raheem A Salami, Sylvester Obiekwe, dan Okwudili Oyatanze (Nigeria), Rodrigo Gularte (Brasil), serta Zainal Abidin (Indonesia). Sementara itu, eksekusi satu terpidana mati asal Filipina, Mary Jane, ditunda. Reaksi dunia internasional cenderung menyudutkan Indonesia seperti pernyataan bernada keras dari berbagai pemimpin dunia, seperti Francois Hollande (Presiden Perancis), Julie Bishop (Menlu Australia) dan bahkan Ban Ki-moon (Sekjen PBB) menunjukkan Indonesia perlu mengantisipasi berbagai kecaman dan reaksi keras itu. Indonesia perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan kontra-reaksi agar tidak semakin memperkeruh hubungan bilateral dengan negara sahabat. Indonesia jangan hanya melihat kasus ini secara sempit dengan sebatas mengantisipasi perkiraan dampak negatif dari negara asal terpidana.

Kemarahan Perancis, misalnya, dapat juga berimbas kepada sikap negatif Uni Eropa (UE) terhadap Indonesia. Belanda yang seorang warganya juga turut dieksekusi sempat menyatakan protes keras akan menarik Dubesnya, baik Perancis maupun Belanda adalah dua anggota UE yang berpengaruh. Oleh karena itu, pemerintah Indinesia agar hanya Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk yang diizinkan berbicara kepada media terkait eksekusi mati. Pernyataan sikap tegas Pemerintah RI perlu dibarengi dengan sikap diplomatik yang meredakan ketegangan dan bukan sebaliknya.

Hal lain yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia secara lebih agresif adalah penyampaian informasi kepada media internasional mengenai dampak narkoba yang sudah sangat membahayakan negeri ini sehingga mencapai situasi darurat narkoba. Pemberitaan media internasional menyoroti aspek HAM terpidana yang akan dieksekusi atau bahkan korupnya praktik hukum di Indonesia. Hal ini dinilai menyudutkan Indonesia. Namun, informasi mengenai kemudaratan atau kejahatan paling serius (the most serious crimes) yang telah dilakukan para terpidana terhadap Indonesia tidak banyak diangkat media internasional.

Dampak Narkoba Bagi Indonesia

Relasi atau pergaulan  antarnegara merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, namun hal tersebut hendaknya tidak menjadi alat tawar menawar untuk agenda lain. Ditegaskan, setiap negara patut menjaga dan menghormati kedaulatan masing-masing negara, termasuk kedaulatan negara di bidang politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain.

Sikap yang ditunjukan Presiden Jokowi lebih merupakan representasi bangsa dan negara Indonesia, yang ingin mandiri dan berdaulat secara politik dan hukum. Selain itu, sikap Presiden Jokowi lebih merupakan perwujudan dari salah satu tri sakti yaitu menjadikan negara Indonesia berdaulat secara politik, selain berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Menanggapi pro dan kontra hukuman mati terhadap pengedar narkoba dan adanya tekanan dari negara asing terkait eksekusi pengedar narkoba, ternyata publik mendukung langkah Presiden Jokowi mengeksekusi mati pengedar narkoba.

Dimana, mayoritas rakyat Indonesia (86 persen%) ternyata mendukung langkah Presiden Joko Widodo menghukum mati pengedar narkoba karena beralasan, narkoba telah merusak generasi muda bangsa. Selain itu, hukuman mati adalah sebagai cara untuk membuat efek jera para pelaku. Meski negara lain akan memutuskan hubungan diplomatik dan menghentikan kerja sama ekonomi dengan Indonesia. Dalam survei terakhir yang dilakukan Universitas Indonesia pada 2014, prevalensi atau jumlah pencandu narkotika di Indonesia sekitar empat juta orang. Dari jumlah itu, 1,4 juta pemakai teratur, 1,6 juta baru mencoba memakai, dan 943.000 yang benar-benar pencandu. Sementara sebanyak 12.044 orang meninggal per tahun/33 orang per hari akibat penyalahgunaan narkotika. Kerugian pribadi akibat narkotika mencapai Rp 56,1 triliun per tahun dan kerugian sosial Rp 6,9 triliun serta sekitar 25,49% korban narkotika adalah wanita.

Dari sisi pekerjaan, sekitar 50,34% korban adalah pekerja swasta dan pemerintah. Kemudian, 27,32%  pelajar dan mahasiwa, serta 2,34% tidak bekerja. Begitu sangat mengerikan sekali jumlah pemakai narkoba, resiko dan peredarannya dikalangan generasi muda Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan status darurat narkoba dengan memberikan warning hukuman mati, namun langkah pemerintah Indonesia seakan–akan ditantang oleh mafia narkoba dunia/jaringan pengedar narkoba guna memujudkan kepentingannya yang terselubung.

Dalam merusak pondasi sebuah negara (generasi muda), siasat apapun dapat digunakan, meskipun harus melawan hukum di negara tersebut. “Perang militer sudah tidak relevan dan mudah dikenali dalam menghancurkan suatu negara, untuk itu gunakanlah cara yang senyap."

*) Penulis, adalah Pemerhati Masalah Bangsa tinggal di Jakarta.