Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membangun Paradigma Baru May Day
Oleh : Redaksi
Sabtu | 02-05-2015 | 14:08 WIB

Oleh: Amril Jambak*

MAY DAY atau hari buruh yang jatuh pada 1 Mei, biasanya diwarnai dengan aksi turun ke jalan secara besar-besaran. Ribuah buruh kerap melakukan aksi untuk memproklamirkan minimnya kesejahteraan bagi buruh. Mereka juga menuntut agar pemerintah serta pengusaha mampu memenuhi kebutuhan mereka.

May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.

Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi pada tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.

Ada dua orang yang dianggap telah menyumbangkan gagasan untuk menghormati para pekerja, Peter McGuire dan Matthew Maguire, seorang pekerja mesin dari Paterson, New Jersey. Pada tahun 1872, McGuire dan 100.000 pekerja melakukan aksi mogok untuk menuntut mengurangan jam kerja. McGuire lalu melanjutkan dengan berbicara dengan para pekerja and para pengangguran, melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur. McGuire menjadi terkenal dengan sebutan "pengganggu ketenangan masyarakat".

Pada tahun 1881, McGuire pindah ke St. Louis, Missouri dan memulai untuk mengorganisasi para tukang kayu. Akhirnya didirikanlah sebuah persatuan yang terdiri atas tukang kayu di Chicago, dengan McGuire sebagai Sekretaris Umum dari "United Brotherhood of Carpenters and Joiners of America". Ide untuk mengorganisasikan pekerja menurut bidang keahlian mereka kemudian merebak ke seluruh negara. McGuire dan para pekerja di kota-kota lain merencanakan hari libur untuk Para pekerja di setiap Senin Pertama Bulan September di antara Hari Kemerdekaan dan hari Pengucapan Syukur.

Pada tanggal 5 September 1882, parade Hari Buruh pertama diadakan di kota New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian merayakannya.

Pada 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama yang menjadikannya hari libur umum. Pada 1894. Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari libur umum resmi nasional.

Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS: Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres mengubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.

Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872 [1], menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.

Mungkinkah perayaan May Day tahun 2015 tidak lagi diisi oleh aksi untuk memproklamirkan minimnya kesejahteraan bagi buruh, melainkan ini akan diisi dengan acara positif, seperti menggelar acara perlombaan (pesta rakyat) akan halnya perlombaan di peringatan HUT Kemerdekaan RI, seperti lomba panjat pinang, lari karung, makan kerupuk, dan lain sebagainya.

Mungkin inilah yang patut menjadi contoh bagi buruh di Tanah Air. Serikat Pekerja di Sulawesi Selatan tengah mempersiapkan hari buruh dengan menyelenggarakan kegiatan lebih bermanfaat.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulawesi Selatan Sibali mengatakan, untuk memperingati hari buruh pihaknya akan mengadakan dua acara pada hari berbeda. Sebelum hari H, atau 29 April, serikat pekerja bakal menggelar sunatan masal untuk anak pekerja. Selain itu ada juga pasar murah dan pengobatan gratis untuk semua pekerja beserta keluarga. Acara ini akan diadakan di dua tempat yaitu kawasan sekitar kawasan industri makassar (KIMA) serta di sekitar Pelindo 4 yang juga mempunyai banyak pekerja pelabuhan.

"Kita ingin perlihatkan bahwa dalam rangka menyambut May day buruh tidak selalu harus turun ke jalan dan berorasi. Tapi bisa melakukan kegiatan positif bersama," ujar Sibali, Senin (20/4), seperti dilansir dari republikaonline.

Sementara pada tanggal 1, Sibali menjelaskan, sekitar 15 ribu pekerja dan keluarga yang tergabung dalam KSPSI, SPSI, KSPI dan beberapa federasi lain. Semua peserta akan melakukan jalan santai di lapangan Karebosi. Bekerja sama dengan pihak TNI dan pihak kepolisian, acara ini juga akan melakukan donor darah.

Peringatan Hari Buruh ini juga akan diramaikan dengan pameran batu akik. Dan yang paling bermanfaat, bakal diperispkan bursa kerja dengan 50 perusahaan ternama di Makassar maupun taraf nasional. Sehingga acara ini juga bisa dinikmati para pencari kerja.

Penulis merasa yakin, ini bisa terlaksana. Pasalnya, eksistensi keberadaan gerakan serikat buruh sudah diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juli 2013 lalu. Presiden SBY akhirnya mengakui dengan cara menetapkan 1 Mei sebagai libur nasional.

Faktor lain juga ditentukan oleh sinerginya antara pemerintah, perusahaan, dan buruh. Untuk itu harus terus dibina kebersamaan dan sinergitas  itu sehingga terbangun jembatan hati di antara pengusaha, buruh dan pemerintah. Dan pastilah, demo-demo yang digelar buruh pada May Day atau hari-hari lainnya pastilah tidak akan terjadi.  ***


*) Penulis adalah peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia, tinggal di Pekanbaru.