Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inilah Alasan Jokowi Tetap Stop Subsidi BBM dan Impor Beras
Oleh : Redaksi
Sabtu | 18-04-2015 | 13:10 WIB
jokowi_-_jas.jpg Honda-Batam
Presiden Ri, Joko Widodo. (Foto: net)

BATAMTODAY.COM, Surabaya - Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan ekonomi terkait pengalihan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM), penghentian ekspor bahan mentah (raw material) tambang, termasuk juga dalam hal impor bahan pangan seperti beras, jagung, dan kedelai. Sikap tegas pemerintah itu disampaikan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), saat berbicara pada peringatan hari lahir (harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), di Masjid Nasional Al Akbar, Surabaya, Jumat (17/4/2015) malam.

Seperti dikutip dari laman Sekretaris Kabinet, Jokowi menekankan perlunya perubahan pola pikir yang total dalam memahami kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Jokowi mengakui tidak mungkin hanya langsung mengubah, kemudian semuanya (masyarakat) bisa menerima.

Namun demikian Jokowi menegaskan ia siap dengan risiko tidak populer atas kebijakan yang diambilnya itu. "Saya tahu dan saya sudah diingatkan oleh tangan kiri kita. Bapak kalau ini nanti dialihkan, pengalihan subdisi dari yang konsumtif dipakai kendaraan tiap hari kemudian dialihkan kepada sektor produktif, pertanian, perikanan, infrastruktur, hati-hati. Bapak bisa jatuh popularitasnya. Saya sampaikan, itu risiko sebuah keputusan," tegas Jokowi.

Jokowi menekankan, ia sengaja fokus membenahi masalah sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi tantangan global, termasuk pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015 ini. Karena apapun ke depan, pertarungannya kualitas sumber daya manusia.

"Pertarungannya ada di situ. Bukan masalah kekuatan sumber daya alam, tetapi ada di SDM, sumber daya manusia," terang Jokowi.

Menurutnya, meskipun dikaruniai sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah bangsa Indonesia tidak bisa menggunakan itu. Jokowi menunjuk contoh saat booming minyak  pada tahun 1970-an.

"Kita tidak bisa membuat sebuah pondasi pembangunan yang baik. Demikian pula pada tahun 1980-an kita booming kayu, tebang, tebang, tebang. Kita lupa tidak membangun industri hilirnya. Lupa lagi tidak bisa membuat pondasi untuk pembangunan untuk kesejahteraan rakyat kita," papar Jokowi.

Hal yang sama, lanjut Jokowi, kembali dilakukan Indonesia terkait ekspor raw material batubara. Diekspor ke negara lain, mereka membangun industri dengan batubara dari Indonesia, dan produk jadinya kembali ke Indonesia.

"Selajutnya, kita membeli produk produk mereka. Itu sebuah kesalahan. Kenapa tidak kita kunci, kita miliki. Kalau kamu mau buat industri, buat di Indonesia. Batubara banyak di sini. Sehingga akan ada keuntungan pajak, tenaga kerja, nilai tambah yang lain lain, akan banyak sekali. Inilah yang akan kita lakukan," papar Jokowi lagi.

Untuk itulah, papar Jokowi, pemerintah akan mulai stop satu per satu. Tidak hanya masalah batubara, tidak hanya nikel, tidak hanya masalah bauksit, tidak hanya masalah timah. "Ini harus kita olah, hilirisasinya ada di Indonesia. Kita sudah tidak mau lagi kita kirim mentahan. Diolah di sana, kembali ke sini kita beli," tegasnya.

Dorong Petani Berproduksi
Diakui Jokowi, untuk menuju ke sana, transisinya memang memerlukan perubahan pola pikir yang total. Tidak mungkin hanya langsung mengubah cepat kemudian semuanya bisa menerima.

Jokowi mencontohkan soal impor beras yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Jokowi menyampaikan, pada Desember – Januari lalu sudah ada usul lagi kepadanya agar mengimpor beras dengan alasan stok dalam negeri sudah berbahaya.

"Saya cek memang tinggal sedikit. Tetapi setelah saya hitung, ini sampai panen raya. Tetapi dengan keputusan seperti itu yang terjadi adalah spekulasi. Harga beras menjadi naik. Ini memang sebuah risiko yang harus saya ambil," terang Jokowi.

Jokowi punya alasan, jika Indonesia masih impor 3,5 juta ton per tahun, maka petani-petani lokal tidak akan mau berproduksi. "Untuk apa, impor saja lebih murah. Tetapi orang berproduksi menjadi marah. Ngapain kita berproduksi? Inilah sering saya sulit menjelaskan. Tetapi ini memang harus ini dijelaskan secara gambling," ujarnya.

Diakuinya, menahan-nahan seperti itu ada resikonya. Kalau Indonesia tidak impor berarti harganya akan naik. Tetapi kalau jika diimpor dari dulu sampai sekarang Indonesia akan seperti itu terus. Impor terus dan petani menjadi tidak rajin untuk berproduksi.

Demikian juga dengan jagung, berapa juta ton yang diimpor. "Inilah yang terus kita tahan. Gula juga sama, kedelai juga sama. Inilah yang ingin kita benahi. Tetapi sekali lagi memerlukan perubahan pola pikir, total cara cara kita berproduksi," jelas Jokowi.

Subsisi BBM untuk Produktivitas
Jokowi juga mengemukakan, saat memutuskan pengalihan pengalihan subsidi BBM dari yang konsumtif kepada yang produktif, semuanya demo. Padahal pemerintah  ingin mengalihkan subsidi dari konsumtif kepada produktif.

"Kita sudah berpuluh-puluh tahun menikmati subsidi itu tanpa terasa. Setahun Rp300 triliiun kita bakar dan hilang. Kalau 10 tahun menjadi Rp3.000 triliun," papar Jokowi.

Padahal, lanjut Jokowi, sesuai dengan hitungan yang dimilikinya, untuk membangun jalur kereta api di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara sampai di Papua itu hanya butuh duit Rp360 triliun. "Tapi sampai saat ini kita tidak bisa membangun karena tiap hari kita bakar yang namanya BBM itu dengan subsidi," katanya.

Alasan pemerintah-pemerintah sebelumnya tidak berani memotong dan mengalihkan subsidi itu ke hal yang produktif, menurut Jokowi, karena masalah popularitas. Namun setelah dicek, yang menikmati subsidi Rp300 triliun per tahun itu 82 persen adalah mereka yang punya mobil. Ia mempertanyakan hal itu karena yang punya mobil disubsidi, yang lain malah tidak.

Itulah, kata Jokowi, yang dilakukan pemerintah dalam proses menata untuk menuju subsidi yang produktif, subsidi ke tempat tempat sasaran yang betul, yang tetu saja memerlukan perubahan pola pikir.

"Memang berat, saya ngerti memang berat karena sekarang ini ada tekanan ekonomi global. Ada tekanan dolar kepada rupiah. Ada tekanan kemerosotan ekonomi dunia. Tetapi pilihan pilihan itulah yang sekarang kita ambil. Ini tantangan kemiskinan," terang Jokowi.

Jokowi mengingatkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dengan populasi penduduk nomor empat terbanyak di dunia. Oleh sebab itu, Jkowi mengaku dalam setiap konferensi internasional yang dihadirinya, ia minta duduk bersebelahan dengan pemimpin dari negara negara besar.

"Saya tidak mau dipinggir-pinggirkan karena Indonesia adalah negara besar," kata Jokowi seraya menunjuk contoh waktu menghadiri KTT APEC di Beijing, beberapa hari lalu.

Saat itu Jokowi mengaku semula diberi tempat duduk yang agak jauh dengan tuan rumah, namun ia menolak, sehingga akhirnya tuan rumah meempatkannya duduk berdampingan Presiden Tiongkok, Xi Jinping; Presiden Rusia, Vladimir Putin; dan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. (*)

Editor: Roelan