Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Haripinto Sebut LKPD Pemerintah Daerah di Kepri sudah Gunakan SAP Berbasis Akrual
Oleh : Surya
Rabu | 15-04-2015 | 15:58 WIB
Haripinto-yes3.jpg Honda-Batam
Anggota Komite IV DPD RI Haripinto Tanuwidjaja, Senator asal Provinsi Kepullauan Riau

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komite IV DPD RI asal Kepulauan Riau (Kepri) Haripinto Tanuwidjaja mengatakan, hampir seluruh Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemerintah Daerah di Kepri baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota sudah menggunakan Sistem Akutansi Pemerintahan (SAP) berbasis akrual.


"Klau keprii sudah siap berbasis akrual  dalam sistem akutansi pemerintahanya, makanya hasilnya pemeriksaan sudah banyak yang dapat opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Kita berharap nanti dapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)," kata Haripinto di Jakarta, Rabu (15/4/2015).

Menurut  Haripinto, memang masih ada pemerintah daerah di Kepri yang masih mendapat belum WDP karena masih ada yang belum menerapkan SAP berbasis akrual, tetapi menggunakan SAP berbasis cash.

"Jadi memang sistem akutansi pemerintahan di Kepri ada yang belum dapat WDP karena masih gunakan sistem cash, tetapi  tahun 2015 ini semua akan menggunakan SAP berbasis akrual," katanya.

Haripinto mengatakan, ada perbedaan penggunaan SAP dengan sistem berbasil akrual dan sistem berbasis cash. " Kalau cash itu, uang keluar baru dicatat atau uang masuk. Sementara kalau akrual sudah terima barang ada penagihan, itu sudah kewajiban dan ada kontrol," katanya.

Senator asal Kepri ini menilai pembukuan dengan sistem berbasis cash dalam Sistem Akutansi Pemerintahan masih belum maksimal dalam mengatasi kebocoran, sementara pembukaan berbasis akrual semua ada pencatatan aset sehingga mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

"Tahun 2015 ini, Kota Batam dan Tanjungpinang sudah siap menerapkan Sistem Akutansi Pemerintahan berbasis akrual. Kalau masih menggunakan cash berarti LKPD-nya belum WDP, bagaimana mau diterapkan akrual kalau belum WDP, tentu akan sulit," katanya.

Sebelumnya,  Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Harry  Azhar Azis menyatakan, baru memeriksa 68 LKPD dari 542 pemerintah daerah (Pemda) yang baru diterima laporannya pada Semester II 2014.

Padahal berdasarkan pasal 56 ayat 3 UU No.1 tahun2004 tentang Perbendaharaan Negara, laporan keuangan harus sudah disampaikan kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir, atau paling lambat pada akhir Maret.

Penegasan itu disampaikan Ketua BPK RI Harry Azhar Azis dalam sambutannya pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014 kepada DPD RI di Jakarta, Rabu (8/4/2015).

"Atas masih adanya keterlambatan penyampaian laporan keuangan tersebut, BPK akan terus mendorong kepada pemerintah daerah untuk bisa menyelesaikan laporan keuangan tersebut secara tepat waktu," kata Harry.

Menurut Harry,  berdasarkan catatan BPK jumlah Pemda sampai dengan Semester II Tahun 2014 adalah 542, namun yang telah menyusun Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah (LKPD) Tahun 2013 hanya 524 pemerintah daerah.

"Total asset 524 LKPD pada akhir Tahun 2013 senilai Rp 2.006,6 triliun, total kewajiban senilai Rp 21,4 triliun dan total ekuitas senilai Rp 1.990,75 triliun. Sedangkan total pendapatan dan belanja selama 2013 adalah senilai Rp 726,56 triliun, dan senilai Rp 709,77 triliun," katanya.

Dengan jumlah aset, ekuitar, pendapatan dan belanja yang besar tersebut, lanjutnya, pemerintah daerah memiliki peran yang besar dalam pembangunan daerah. Sehingga sudah seharusnya pemda dapat mengelola dan mengadministrasikan keuangannya dengan baik dan benar yang diukur dengan indikator perolehan opini WTP dan penggunaan keuanganan negara yang ekonomis, efisien dan efektif.

"Dalam 5 tahun terakhir, opini atas laporan keuangan daerah sudah semakin baik.  Tahun 2009 ada 15 entitas (3 %) dapat WTP, pada 2013 ada 156 entitas (30%) dapat WTP. Kemajuan ini patut diapresiasi dan harus didorong untuk semakin maju," katanya.

Jika dilihat dari tingkat pemerintahan, kata mantan politisi Partai Golkar asal Kepulauan Riau (Kepri) ini, pemerintah provinsi mempunyai kemamuan yang lebih baik, diikuti pemerintah kota dan kemudian kabupaten. Pada 2009, pemerintah provinsi/kabupaten/kota masung-masing memperoleh opini WTP sebanyak 3%, 2% dan 7%, serta pada 2014  meningkat menjadi 48%, 26% dan 38%.

"Pada umumnya, LKPD belum memperoleh opini WTP karena masih ada kelemahan-kelemahan antara lain persedian tidak ditatausahakan dengan baik, pengelolaan asset tetap masih lemah, penatausahakan kas masih lemah , serta pertanggungjawabab realisasi belanja barang dan jasa tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya," kata mantan Ketua Badan Anggaran DPR ini.

Kerugian daerah
Pada kesempatan itu, Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, dalam pemeriksaan atas LKPD, BPK masih menemukan antara lain ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah senilai Rp 285,78 miliar yang terjadi di 68 pemerintah daerah.

Kerugian tersebut karena belanja tidak sesuai ketentuan, kekurangan volume pekerjaan dan kelebihan pembayaran dalam belanja modal, serta biaya perjalanan dinas dan pembayaran honorarium melebihi standar.

Masalah tersebut antara lain pencairan rekening kas daerah tahun 2013 tanpa menggunakan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) senilai Rp 35 miliar di Kabupaten Mamberamo Raya, dan pengeluaran belanja barang dan jasa tidak sesuai ketentuan senilai Rp 8 miliar di Sulawesi Utara.

"BPK juga menemukan potensi kerugian daerah senilai Rp 1,29 triliun yang terjadi di 43 pemerintah daerah karena asset berupa mesin, peralatan dan asset lainnya tidak diketahui keberadaannya," ujar Harry.

Sementara dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), BPK menemukan masalah dalam pengelolaan pendapatan daerah, terdapat kekurangan  penerimaan di 27 pemerintah daerah senilai Rp 132,23 miliar. Sedangkan dalam pengelolaan belanja daerah, BPK menemukan antara lain kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran, belanja tidak sesuai dengan ketentuan, dan spesifikasi barang tidak sesuai dengan kontrak senilai Rp 275,52 miliar.

Harry menegaskan, selama periode 2010-2014, BPK menyampaikan 215.991 rekomendasi senilai Rp 77,61 triliun kepada entitas yang diperiksa. Tindaklanjutnya adalah sebanyak 120.003 rekomendasi (55,56%) senilai Rp 36,97 triliun, dan sisanya belum sesuai dan/atau daam proses tindaklanjut.

"Pada periode 2003 sampai dengan Semester I Tahun 2014, BPK memantau 24.294 kasus kerugian negara/daerah senilai Rp 4,01 triliun dan sisa kerugian negara/daerah sampai Semester I sebanyak 15.179 kasus senilai Rp 3,46 triliun," katanya.

Editor : Surya