Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Negara Melawan Narkoba
Oleh : Redaksi
Selasa | 14-04-2015 | 10:10 WIB

Oleh: Adiansyah*

BELUM dilakukannya eksekusi terhadap 10 terpidana mati narkoba gelombang kedua oleh pemerintah, menjadi perhatian dan pertanyaan dari masyarakat luas. Apakah karena ada kepentingan politik atau  karena adanya intervensi asing yang mengakibatkan pemerintahan Jokowi "enggan secepatnya" mengeksekusi.  Alasan menunggu  putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) untuk terpidana mati Mary Jane Viesta Veloso (Philipina) Martin Anderson (Ghana) dan Serge Arezki Atlaoui dari Perancis merupakan sikap bijak pemerintah dalam mewujudkan hak mereka meminta keadilan.   Namun demikian, kalau menunggu PK diputuskan maka akan "memakan" waktu yang cukup lama, sementara publik menunggu pemerintah menetapkan jadwal yang pasti.

Publik mulai hilang kesabaran melihat lambatnya proses eksekusi mati tersebut. Sepanjang satu bulan terakhir, publik disuguhi berbagai persiapan eksekusi mati yang begitu besar, dari penggunaan pesawat Sukhoi, patroli kapal perang hingga manuver-manuver lainnya.Akibat lamanya persiapan tersebut, membuat publik berpikir konspiratif atas molornya waktu pelaksanaan eksekusi mati. Dunia juga mulai berspekulasi dengan lambannya kebijakan eksekusi mati tersebut, sehingga memunculkan tekanan internasional yang berlebihan . Kita mempunyai sistem jangan berlama-lama karena kita sudah darurat narkoba. Jauh lebih baik, Jaksa Agung segera mengeksekusi 7 orang terpidana mati yang sudah final. Penundaan akibat PK tiga terpidana mati  bisa tidak relevan mengingat persiapan sudah matang.  

Menurut Jawahir Thontowi (Profesor Ilmu Hukum dan Direktur Centre For Local Law Development Studies, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia) dalam artikelnya di Media Indonesia edisi 18 Maret 2015 mengatakan Jaksa Agung tidak perlu ragu untuk segera melakukan eksekusi terhadap terpidana mati, terkecuali mereka yang belum in kracht. Beberapa argumentasi sudah lebih signifikan untuk  melawan keraguan atas eksekusi mati. Pertama, eksekusi mati merupakan sangsi terberat dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam hukum Indonesia kejahatan dengan pidana mati yaitu kejahatan teroris (UU No. 15 Tahun 2003), Kejahatan Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) dan Kejahatan Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), hal itu semakin yakin bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi, mengingat putusan MK No. 34/PPUU/XI/2013 yang menolak usulan penghapusan hukuman mati.   Kedua, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tidak hanya didasarkan pada hukum rasional, tetapi kepada sistem nilai, hukum yang hidup dan budaya masyarakat. Nilai-nilai religius demi perlindungan terhadap korban narkotika, oleh karenanya pemerintah untuk tidak ragu-ragu melakukan hukuman mati. Ketiga, lebih utama yang harus dilakukan pemerintah Indonesia ialah mencegah kerusakan bencana narkoba bagi generasi muda di masa mendatang. Praktik diplomasi negara-negara sahabat untuk menghentikan hukuman mati narkotika tidak perlu membuat pemerintah ragu. Model diplomasi Brasil dan Australia sesungguhnya telah melanggar Konvensi Wina dan merusak hubungan diplomasi. 

Sebelumnya, permohonan PK diajukan oleh Zainal Abidin, asal Indonesia  telah ditolak MA. Zainal Abdidin merupakan terpidana mati kasus narkoba yang ditangkap di rumahnya di Palembang, Sumatera Selatan pada 21 Desember 2000, karena  memiliki 58,7 kilogram ganja. Sementara  terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso, asal Filiphina, ditangkap di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta pada 25 April 2010 karena menyelundupkan 2,6 kilogram heroin, saat ini mengajukan PK.

Beberapa waktu yang lalu atau saat gencar-gencarnya pemerintah ingin mengeksekusi mati bandar narkoba tahap pertama, hari senin  tanggal 18 Januari 2015,BNN pada 5 Januari 2015  telah  menangkap warga negara Hongkong Wong Chi Ping/WPC, pemilik sabu seberat 800 kg-an,  bersama beberapa rekan, 5 warga negara asing dan 4 warga negara Indonesia,  di Lotte Mart, Jakarta Barat. Sabu di temukan dalam mobil dengan nomor polisi B 9301 TCE.  Penggerebekan dan penangkapan WCP cs merupakan sebuah penangkapan terbesar di Asia Tenggara, karena WPC adalah Gembong Narkoba  kelas kakap,  buronan dari berbagia negara dan  merupakan target utama dari berbagai badan narkotika di 7 Negara yaitu Hongkong, Malaysia, Philiphina, Tiongkok, Macau, Indonesia dan Myanmar.

Direktur Prekursor dan Psikotropika BNN Kombes Agus Andrianto, mengatakan BNN menangkap Wong Ching Ping dan rekannya di Lotte Mart Taman Surya, Kalideres, Jakarta Barat, pada Senin, 5 Januari 2015, ingin bertransaksi narkoba dengan tiga warga Hong Kong. Dari tangan WCP  BNN menyita 840 kilogram sabu senilai Rp 1,6 triliun.  Jaringan WPC selain melakukan pengemasan yang baik untuk mengelabui  juga telah menyiapkan gudang penyimpanan sabu tersebut. Hal itu diketahui setelah BNN menggeledah salah satu rumah di Perumahan Citra Garden III Blok C 11 Nomor 2A.Ruangan ituialah sebuah kamar mandi di salah satu kamar tidur utama, ada bak berbentuk bathtub dan diletakkan sebuah rak di atas bak tersebut. Rak itu yang rencananya dipakai sebagai kotak penyimpanan sabu. BNN kini sedang menyelidiki dugaan pencucian uang yang dilakukan sindikat WPC di Hong Kong, karena uang  dari transaksi narkoba WCP  selalu dilarikan ke Hong Kong. 

Membanding-bandingkan  kasus narkoba Zainal Abidin dan Mary Jane Fiesta Veloso yang akan dieksekusi mati, kiranya sangat jauh  dengan sepak terjang  WPC cs, walaupun sama-sama merugikan masyarakat dan negara. WPC merupakan bandar kelas kakap dan mafia narkoba yang dicari di 7 negara Asia Tenggara.  Sementara  Zainal Abidin di vonis mati akibat memiliki 58,7 ganja dan Mary Jane Fiesta Veloso memiliki 2,6 kilogram heroin. Zainal menunggu sekitar 14 tahun atas kesalahannya tersebut karena berlarut-larutnya atau rumitnya peradilan di Indonesia. 

Kita sebagai masyarakat awam sangat berharap, kasus WCP cs, harus benar-benar mendapat perhatian yang besar oleh pemerintah terutama dari penegak hukum. Kalau bisa segera kasusnya di proses di pengadilan dan kalau memang bersalah segera dihukum berat atau dieksekusi mati WCP cs, agar efek jera dapat dirasakan bagi warga/masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri yang ingin menjadi bandar narkoba. Diharapkan pemangku kepentingan  jangan “memeliharanya”  sebagai “lumbung uang” mereka dengan menyalahgunakan jabatannya misalnya memperlambat  eksekusi memberi tempat yang layak di lapas dan  dapat memberi ruang gerak mereka untuk terus menjadi bandar narkoba di dalam lapas.

Karena apabila ini di biarkan sampai kapanpun masyarakat Indonesia tidak akan bebas dari darurat narkoba. Karena bandar besarnya masih dapat melakukan transaksi dengan jaringannya walaupun mereka “dipenjara”. Kepada merekalah kami berharap pemberantasan narkoba benar-benar harus dilaksanakan untuk  meminimalisir penyalahgunaan narkoba. BNN dengan pemberantasannya dan aparat penegak hukum dengan putusannya. Kita berharap pemangku kepentingan semuanya dapat bersinergi dalam pemberantasan narkoba.

Sampai saat  ini kita belum mengetahui kapan eksekusi bandar narkoba gelombang kedua dilakukan oleh pemerintah. Diperkirakan pemerintah masih mempertimbangkan eksekusi tersebut, karena adanya perlawanan hukum dari beberapa  terpidana mati yang membuat mereka masih belum dieksekusi.

Namun demikian, kita sebagai warga negara juga harus mempercayakan kepada pemerintah, bahwa mereka benar-benar ingin "menghancurkan" peredaran narkoba dari bumi Indonesia. Yang kita harapkan dari  pemerintah adalah mempercepat proses peradilan bandar-bandar besar narkoba semisal Wong Chi Ping cs dan lainnya yang beberapa waktu lalu ditangkap  BNN. Jangan sampai proses persidangan dan upaya hukum lainnya sampai berlarut-larut, agar ada efek jera bagi bandar narkoba.  Semoga dengan ditangkapnya Wong Chi Ping dan bandar narkoba besar lainnya pasca eksekusi bandar narkoba tahap pertama pada 18 Januari 2015 dapat memberantas peredaran narkoba dan mengurangi para pengguna dan pecandu narkoba di Indonesia. *

*) Penulis adalah aktivis pemuda dan tinggal di Bengkulu