Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Kaji Pembebasan PBB Bagi Pensiunan dan Warga Tidak Mampu
Oleh : Redaksi
Kamis | 02-04-2015 | 08:17 WIB
SPT-Tahunan.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah sedang mengkaji pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi pensiunan dan warga tak mampu. Saat ini sedang dibahas formulanya karena Presiden RI, Joko Widodo, menginginkan bahwa PBB itu tetap harus ada karena menjadi sumber pendapatan daerah.

Hal itu mengemuka dalam rapat terbatas Kabinet Kerja yang membahas rencana kebijakan reformasi NJOP dan reformasi PBB yang dipimpin oleh Presiden dan dihadiri Wakil Presiden, Jusuf Kalla, di kantor Presiden, Jakarta, Rabu (1/4/2015). Dalam rapat itu diputuskan untuk lebih menekankan prinsip keadilan dalam penentuan NJOP dan PBB.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mengatakan, pihaknya setuju untuk menghindari penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) oleh kepala daerah yang mungkin tidak wajar, atau semata-mata pendekatan kepala daerah yang hanya meningkatkan PBB dan NJOP untuk menambah pendapatan daerah.

"Jangan sampai dia punya rumah di Menteng, begitu pensiun dia tidak mampu membayar PBB sehingga rumah itu harus dijual. Jadi, instrumen pengendali yang harus diusulkan oleh Pak Menteri Agraria tadi dibahas di dalam rapat tadi," kata Tjahjo kepada pewarta seusai rapat terbatas.

Tjahjo menegaskan, penetapan NJOP memang tidak harus menimbulkan perbedaan yang signifikan. Terhadap tanah-tanah kosong atau mangkrak yang sudah puluhan, dirinya setujui diterapkan PBB progresif. Tjahjo setuju dengan kebijakan ini dalam rangka keberpihakan pada masyarakat kecil.

"Masyarakat yang memang tidak mampu ya tidak harus membayar PBB. Saya kira harus ada aturannya yang jelas. Kalau dia pensiunan, tidak punya penghasilan lain, ya harus dibebaskan atau diberi kemurahan," tegas Tjahjo seperti dikutip dari laman Sekretaris Kabinet.

Kalau toh kebijakan tersebut mengakibat adanya pendapatan daerah yang hilang, menurut Tjahjo, bisa diberikan kompensasi yang bisa diperhitungkan dari dana transfer maupun dana insentif daerah.

"Pada prinsipnya Bapak Presiden menekankan bahwa PBB itu harus ada, karena itu sumber pendapatan daerah. Tapi pengenaannya harus adil. Jangan orang yang tidak mampu dikenakan bayar PBB, jangan ada main mata antara owner dengan notaris untuk meningkatkan atau mengurangi NJOP-nya," terang Tjahjo.

Sementara itu Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursidan Baldan, menambahkan, karena PBB menjadi salah satu unsur kuat dalam pendapatan asli daerah, maka pihaknya akan berkoordinasi dengan Mendagri dan Menkeu agar tidak ada proses yang mengurangi potensi pendapatan asli daerah dari PBB.

Terkait model penerapan yang lebih adil, Ferry menjelaskan, selain pembebasan bagi masyarakat yang tidak mampu, bisa juga peringanan, bisa juga modelnya diutangkan. Sehingga ketika dia akan menjual, diperhitungkan ke belakang berapa PBB yang tertunggak.

"Pada dasarnya kami akan tetap menindaklanjuti supaya ini bisa menjadi sesuatu yang tetap menjaga PBB sebagai salah satu sumber penting dalam pendapatan asli daerah, dan kemudian masyarakat tidak menjadi terbebani pada hal yang berkaitan dengan keharusan membayar PBB," kata Ferry.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN itu mengemukakan, pihaknya akan memformulasikan dengan tepat kebijakan itu. "Jika tidak perlu membuat undang-undang, bisa kita lakukan dengan merubah PP yang ada. Tapi saya kira untuk kelanjutannya kita harus mengadakan rapat merumuskan dengan Mendagri dan Menkeu," tukasnya. (*)

Editor: Roelan