Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Djasarmen Laporkan Soal Kampung Tua di Batam dan SK 463 ke DPD RI
Oleh : Surya
Senin | 30-03-2015 | 13:12 WIB
Djasarmen_Purba.jpg Honda-Batam
Anggota DPD Kepulauan Riau Djasarmen Purba

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Permasalahan kampung-kampung tua di Batam di Pulau Rempang-Galang, yang  telah ada sejak masa kesultanan Riau Lingga dan dimiliki serta dikelola masyarakat secara turun temurun belum memiliki status hukum kepemilikan yang jelas hingga kini.


Selama ini status tanah yang dikelola oleh masyarakat kampung tua tidak diakui keberadaannya oleh Otorita Batam/Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Batam.

Hal itu disampakan Anggota Komite II DPD Ri Djasarmen Purba dalam Laporan Kegiatan di Daerah Anggora Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Provinsi Kepri pada 19 Pebruari-22 Maret 2015 yang telah dilaporkan dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang III Tahun Sidang 2014/2015 beberapa hari lalu.

"Faktanya beberapa titik lokasi keberadaan kampung tua itu telah ada sejak masa kesultanan dan masa penjajahan VOC, akan tetapi Otorita Batam/BP Kawasan yang mendapat kewenangan pengelolaan pulau Batam melalui Keppres pada tahun 1970 mengabaikan keberadaan kampung tua tersebut, bahkan sebagian lokasi kampung tua telah dialokasikan pihak OB/BP Kawasan ke pihak pengembang/investor," kata Djasarmen.

Pemerintah Kota (Pemko) Batam, kata Djasamen, melalui SK Walikota Batam pada tahun 2001 telah mengakui keberadaan kampung tua namun tetap SK Walikota tidak memiliki kekuatan hukum.

"Sebagai upaya pelestarian budaya dan adat istiadat masyarakat, Pemko Batam membangun Tugu Kampung-kampung Tua, akan tetapi masyarakat menanti kepastian pengakuan hak atas tanah dari pemerintah," katanya.

Menurunya, persoalan ini pada akhirnya juga berimplikasi pada hilangnya potensi penerimaan negara karena banyak pemilik bangunan di Kota Batam yang kesulitan mengurus pembayaran pajak PBB-nya apabila tidak diselesaikan.

Sebab, status tanah yang mereka miliki tidak diakui oleh Pemkot/BP Batam. Situasi ini makin diperburuk oleh rendahnya kinerja pelayanan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.

"Permasalahan lain yang hingga hari ini belum selesai yakni terbitnya Kepmendagri No. 29/2002 tentang Pengendalian Tata Guna Lahan Rempang dan Galang dan Surat Mendagri Nomor 594.3/1085/SJ tanggal 28 Mei 2002 sebagai respon surat Ketua OB nomor: B/194/KA/III.2000, telah menjadikan status seluruh tanah negara (seluas 23.000 ha) di rangkaian pulau-pulau Rempang Galang menjadi "status quo"," katanya.

Dampak keputusan tersebut, hak masyarakat penggarap lahan negara terampas dan  kawasan Rempang-Galang tidak dapat dikelola dan dikembangkan untuk kegiatan pembangunan dan perluasan kawasan industri.
 
"Kebutuhan akan adanya perluasan lahan untuk kegiatan industri sebagai konsekuensi penetapan Batam sebagai Kawasan PBPB menyebabkan dipilihnya pulau Rempang dan Galang sebagai lokasi pengembangan dan perluasan," katanya.

Sementara itu Kawasan Pulau Rempang, sesuai SK Menhut No. 173/KPTS-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 dan SK Menhut  No.  SK.307/KPTS-II/1986 tanggal 29 September 1986 berfungsi sebagai hutan lindung (HL); hutan Bakau dan hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK) serta Taman Buru (TB).

Atas permasalahan ini Kemendagri, BPN, BP Kawasan Batam dan Pemko Batam mengadakan rapat membahas mengenai keberadaan kawasan hutan dan penegasan pengelolaan Kawasan Rempang Galang, yang salah satu butir keputusannya meminta kepada Mendagri mencabut Kepmendagri No. 29/2002 tentang Pengendalian Tata Guna Lahan Rempang dan Galang, agar kawasan rempang dan galang dapat segera dikelola guna pengembangan pembangunan dan memberikan kepastian hukum pada hak atas tanah masyarakat.

Rumit dan  baragam
Djasarmen mengatakan, permasalahan Pertanahan di Provinsi Kepulauan Riau cukup rumit dan sangat beragam, mulai dari yang sifatnya klasik berupa konflik pertanahan hingga pada masalah sistemik.

Sebagai contoh, penerbitan Surat Keputusan (SK) Menhut No. 463/Menhut-II/2013  tanggal 27 Juni 2013 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan pada masa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dianggap telah menyalahi prosedur/maladministrasi, berupa pengabaian terhadap Perpres 87/2011 dan tidak mendasarkan keputusannya pada hasil Tim Terpadu sesuai ketentuan PP 10/2010 yang telah berakibat  terhentinya proses penyelenggaraan pelayanan publik di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau yang berdampak pada munculnya ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha.

Khususnya perizinan investasi, administrasi pertanahan, dan layanan perbankan, sekaligus melemahkan citra positif Indonesia, terutama wilayah BBK sebagai daerah tujuan investasi. Atas terbitnya keputusan tersebut Kepala BPN (Sekarang Menteri  Agraria dan Tata Ruang /Kepala BPN), Kakanwil BPN Provinsi Kepulauan Riau, Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam melakukan tindakan maladministrasi dengan menolak permohonan penerbitan Sertifikat HGB di atas tanah yang menurut Peraturan Presiden  Nomor: 87 Tahun 2011 Tentang RTRK BBK, yang diataranya mengatur tentang wilayah yang boleh diterbitkan sertifikat.

Permasalahan ini, lanjutnya,  telah diadukan kepada pihak Ombudsman RI. Atas aduan tersebut Ombudsman telah merekomendasikan kepada Menteri LHK untuk menerbitkan keputusan baru terkait penetapan kawasan hutan dan kawasan bukan hutan di Kepri. Atas rekomendasi tersebut, Menteri LHK telah menerbitkan SK No. 76/MenLHK-II/2015 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Perubahan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Kepri.

"SK Menteri LHK ini telah memberikan solusi atas permasalahan lahan yang selama 6 tahun ke belakang menjadi dilema bagi masyarakat dan tentunya memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Untuk itu sebagai wakil masyarakat Kepulauan Riau kami sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ibu Siti Nurbaya) atas kebijakannya merespon permasalahan ini.," katanya.

Editor: Surya