Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Negara Hukum (yang) Berkiblat Uang
Oleh : Redaksi
Jum'at | 13-03-2015 | 14:13 WIB

Oleh: Romi Chandra

BERBICARA tentang hukum, tentunya kita semua mengetahui dan selalu membanggakan bahwa negara kita ini (Republik Indonesia) adalah negara hukum. Apa saja yang dilakukan, selalu ada sistem atau hukum yang mengikat, sehingga siapa saja tidak bisa berbuat sesuka hati.

Secara umum, rumusan pengertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut; hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.

Kemudian, peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau badan yang berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.

Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski demikian, terdapat pula norma hukum yang bersifat fakultatif/melengkapi.

Hukum juga memiliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sanksi juga diatur dalam peraturan hukum.

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak mengerti apa arti hukum yang sebenarnya, sehingga bermunculan orang-orang yang salah kaprah, dan berbuntut kepada pemanfaatan hukum itu sendiri demi kepentingan individu atau meraih keuntungan. Bahkan, tidak jarang aparat yang berwenang dalam mengawasi dan penegakan hukum menjadi oknum dan mengesampingkan hukum itu sendiri demi mendapatkan keuntungan.

Penulis sendiri juga tidak mengerti hukum sepenuhnya, namun menurut penulis, saat ini hukum lebih cenderung diartikan atau diidentikan dengan uang yang dikenal dengan sebutan "duit" atau "fulus".  Banyak semboyan yang mengatakan, duit bisa membeli hukum. Imbasnya, mereka yang berkuasa dengan mudah mengatur hukum sesuai yang diinginkan. Lantas, bagaimana dengan masyarakat kalangan kebawah? Sudah jelas akan menjadi korban kekejaman hukum yang mengutamakan uang.

Memang, tidak semua aparat penegak hukum yang bisa dipengaruhi uang. Namun tidak bisa dipungkiri pada setiap instansi atau profesi yang dijalani, selalu ada oknum-oknum yang lebih mengutamakan uang dibandingkan menegakkan hukum yang seadil-adilnya. Seperti penggalan lirik lagu Iwan Fals berjudul Kereta Tiba Pukul Berapa, yang berbunyi, " tawar menawar harga pas, tancap gas". Penggalan ini menceritakan saat ditilang polisi karena melanggar lampu merah dan bisa pergi setelah membayar uang damai (sogok) yang telah disepakati.

Berbagai asumsi di tengah-tengah masyarakat mulai bermunculan. Bagi mereka yang memiliki uang, merasa hukum tidak ada apa-apanya, karena bisa mereka atur. Sementara bagi masyarakat kecil, negara hukum ini seakan berkiblat kepada uang, karena keadilan tidak ditegakkan dengan baik. Yang salah bisa jadi benar, dan yang benar bisa jadi yang salah.

Tidak perlu jauh-jauh, untuk Provinsi Kepri dan Kota Batam khususnya, hukum cenderung ditegakkan berdasarkan uang. Karena uang, banyak oknum-oknum yang mengutamakan rasa kemanusiaan dalam memvonis seorang bersalah, hanya karena tidak bisa memenuhi keinginan si oknum yang meminta uang "pelicin".

Sebagai contoh yang penulis ambil, saat seseorang yang dinyatakan bersalah dan harus menjalani persidangan untuk menentukan hukuman apa yang pantas untuknya. Tidak jarang mereka yang berbuat kesalahan dituntut dengan hukuman jauh lebih berat dari kesalahan yang dilakukan. Bahkan berbagai pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan pun diabaikan.

Kata-kata "semua bisa diatur", sering terlontar dari mulut oknum-oknum penegak hukum saat ada kesalahan yang dilakukan masyarakat. Sebelum hukum ditegakkan, selagi bisa di-'86'-kan, upaya membuat kantong berisi pun dilakukan. Tidak bisa dipungkiri pikiran itu datang dengan sendiri karena sudah mendarah daging.

Bagi mereka yang menyanggupi, tentunya selamat dari hukum meskipun kesalahan yang dilakukan amat berat. Nah, bagaimana bagi mereka yang tidak mampu menyanggupi? Jeruji besi sudah menunggu. Mau tidak mau, keadilan yang sudah dikuasai uang harus mereka terima tanpa bisa berbuat apa-apa.

Selama ini, upaya penumpasan atau penindakan tegas terhadap oknum yang bermain, memang sudah dilakukan. Namun, selalu saja ada pihak-pihak yang menghalangi ketegasan hukum itu berlaku. Ujung-ujungnya, yang seharusnya menentang ketidakadilan itu tidak bisa berkutik, karena dikalahkan mereka yang berkuasa karena uang.

Penulis adalah wartawan BATAMTODAY.COM