Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gubernur Kepri Diminta Bijak, SK Menhut-LHK 76 Tahun 2015 Berpotensi Ancam Sumber Air
Oleh : Habibi
Rabu | 11-03-2015 | 19:19 WIB
Ilustrasi-krisis-air-bersih.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Anggota Komisi I DPRD Kota Tanjungpinang, Fengky Fesinto, meminta Wali kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, dan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Muhammad Sani, bijak dalam menyikapi Surat Keputusan (SK) Menhut Nomor: SK.76/MenLHK-II/2015 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Menjadi Bukan Kawasan Hutan. Menurut dia, jika hal itu dilakukan maka sumber air masyarakat menjadi korban.

"Kita khawatirkan adanya perubahan dalam SK tersebut ikut mengorbankan kawasan hutan lindung yang merupakan sumber air bagi masyarakat di Pulau Bintan, khususnya di Tanjungpinang," kata Fengky, saat ditemui di Hotel Aston, Rabu (11/5/2015).

Dia mengaku perlu mengkritisi hal tersebut mengingat pada dasarnya sebagai daerah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil, dan Kepri identik dengan permasalahan air. Sehingga, imbuhnya, jika hutan lindung yang selama ini menampung air untuk masyarakat Tanjungpinang atau Pulau Bintan diperuntukkan untuk pembangunan dan lain sebagainya, dikhawatirkan mempengaruhi kebutuhan terhadap air tersebut.

"Kepri ini bukan seperti Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang memiliki hutan luas. Kepri ini pulau-pulau kecil yang selalu dihadapi dengan krisis air. Artinya, kalau hutan yang selama ini dijaga lantas sekarang difungsikan untuk lainnya tentu mengarungi ketersediaan air," tutur ketua Badan Legislatif Daerah (Balegda) kota Tanjungpinang tersebut.

Meskipun peralihan fungsi hutan dinilai baik untuk sektor perekonomian, seperti percepatan pembangunan yang membutuhkan lahan, namun di sisi lainnya lahan yang mungkin mengorbankan kawasan hutan lindung sebagai resapan air bagi waduk waduk, juga harus diperhatikan.

"Sumber kehidupan manusia itu salahsatunya air, sedangkan hutan masih banyak saja kita sering krisis apalagi jika nantinya dialihfungsikan," tutur Fengky.

Hal ini keterkaitan dengan keberadaan waduk yang secara ilmiah dikatakan Fengky, waduk itu akan mengandung air jika kawasan hutan sekitarnya masih terjaga atau dilindungi. "Jadi percuma bangun waduk kalau hutannya tidak ada. Ini yang saya khawatirkan," tegasnya.

Mengingat kebijakan itu ada pada pemerintah setempat, maka pihaknya harapkan gubernur dan wali kota bijak menggunakan dan memanfaatkan pembebasan ini agar tidak kebablasan.
Artinya, kata politisi Hanura tersebut, perubahan kawasan hutan harus disinergikan dengan penetapan kawasan hutan yang mengandung sumber air.

"Sebab, kalau ini tidak dijaga, maka pembukaan hutan akan terjadi tanpa satu pemahaman dimana hutan yang menjadi sember air harus dilindungi," ujarnya.

Jika tidak disinergikan kemungkinan, sekitar 10 sampai 20 tahun ke depan Pulau Bintan, Tanjungpinang pada khususnya akan mengalami krisis air. "Ditambah penggunaan yang kurang bijak dari pada pemerintah nanti, mungkin ijin tambang dan lain sebagainya," kata Fengky.

Seharusnya kata Fengky, Menhut mengeluarkan SK baru tentang perlindungan kawasan hutan yang mengandung sumber air. Karena jika tidak, katanya, akan berdampak juga pada sektor pariwisata yang harus didukung dengan ketersedian air yang memadai.

"Bagaimana pariwisata suatu daerah bisa berhasil kalau infrastruktur seperti air yang terkait lahan tidak mendukungnya," paparnya.

Sehingga terjadi benturan kebijakan dan muncul pertanyaan, kata Fengky, wisatawan mana yang mau berkunjung ke Bintan atau Tanjungpinang bila ketersediaan air tidak memadai. (*)

Editor: Roelan