Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Cerita Tukang Batu di Negeri Migas

Mengumpulkan Bongkah Demi Rupiah
Oleh : Nursali
Sabtu | 21-02-2015 | 18:26 WIB
Oha_(56).jpg Honda-Batam
Oha, cekatan memahat bongkahan batu untuk ditukarkan dengan rupiah. (Foto: Nursali/BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Tarempa - Denting suara benturan benda keras terdengar nyaring di siang suatu bolong. Suara itu berasal dari sosok pria paruh baya yang sedang menongkrongi sebuah bongkahan batu besar. Memecahnya menjadi kecil-kecil, untuk dijual kepada yang membutuhkan.

Oha, pria paruh baya asal Sukabumi, Jawa Barat, itu memahat bongkahan. Sebatang rokok terselip di bibirnya. Terik panas juga tak dirasakan, meski kaos lengan panjang bergambar salah satu calon anggota legislatif Kabupaten Kepulauan Anambas itu, sudah basah dengan keringatnya.

Jari-jemari kirinya terlihat kapalan, legam, mencengkeram kuat sebatang pahat. Tangan kanannya menghantamkan palu sekuat tenaga ke pahat.

Suara benturan logam bercampur dengan suara pecahan batu: memecah kesunyian di salah satu sudut jalan menuju Desa Siantan Timur. Tumpukan pecahan batu di situ menunjukkan berapa lama pria berusia 56 tahun ini memainkan palu dan pahatnya. Sesekali dia istirahat, menatap jalan beton selebar dua meteran yang sepi dari lalu lalang kendaraan.

"Namanya juga cari makan (bekerja, red)," ucap Oha, kepada BATAMTODAY.COM, Sabtu (21/2/2015), saat beristirahat sejenak sambil menyedut rokoknya.

Oha berkata, bongkahan batu itu dihargai Rp400 ribu per kubik. "Kalau sampai di tempat, harganya nggak segitu lagi. Kira-kira Rp600 ribu kalau sampai di tempat," terang Oha.

Tapi dia mengaku hanya mengantongi Rp140 ribu per kubik, sisanya untuk si empunya lahan. Dalam sehari pun dia cuma mampu mengumpulkan 1-2 kubik. Itu jika dikerjakan dari terbit hingga terbenamnya mentari dan tubuhnya fit. "Kalau badan nggak fit, satu kubik pun tak sampai," kata pria beranak tiga ini.

Tak cuma memecah, Oha kadang juga harus menyusuri bukit terjal di pesisir Siantan itu untuk menangkat bebatuan. Pecahan batu itu juga disusun rapi tiap kubik dengan harapan ada yang membeli. "Bisa dijadikan pondasi bangunan rumah atau dijadikan batu miring," jelas Oha, sembari mengatakan pembeli hanya warga lokal.

Pekerjaan sebagai pemecah batu sudah dilakoninya sejak terdampar di Tarempa, lima tahun lalu. Waktu itu, dia terbang ke Tarempa karena seorang kontraktor yang mendapatkan proyek pemerintah. Tapi si kontraktor kabur, upah pun tak diberi. Untuk bertahan hidup, profesi itulah yang dilakoni hingga kini.

Oha yang tinggal di Desa Siantan ini bukan tak paham risiko yang dihadapi. Tergelincir, tertimpa pecahan batu, sudah diperhitungkan. Alat kerjanya juga sederhana: palu dan pahat. Sisanya, pandai-pandai dia menyiasati.

"Sering juga kaki saya terjepit pecahan batu, atau luka karena goresan batu. Makanya hati-hatilah," ujar Oha santai sembari memahat batunya kembali.

Tak jarang jemarinya terhantam oleh pukulan palu yang meleset dari baji pahat. Luka seperti itu, kata Oha, hanya dibiarkan. Bisa sembuh sendiri, katanya.

"Namanya kerja, Bang, pasti ada risikonya. Tiap-tiap pekerjaan juga ada risikonya," kata Oha.

Uang receh yang dikumpulkan Oha memang kecil untuk ukuran Anambas, negeri migas dengan inflasi tinggi. Tapi, dia masih sanggup mengirimkan uang untuk anak dan istrinya di kampung. "Paling saya mampu ngirim uang satu setengah sampai dua juta rupiah. kalau di sana uang segitu cukup, kalau di sini kurang," kata Oha.

Selain dirinya, banyak juga yang berprofesi sebagai pemecah batu di situ. Rata-rata bekerja dengan tauke dan menggunakan mesin penggiling batu. Produksi dengan peralatan modern ini jauh lebih besar jika dibanding cara tradisional seperti yang dilakukan Oha. Tapi Oha memilih bekerja sendiri dengan mengambil upah dari pemilik lahan.

Selintas, aktivitas para pemecah batu ini juga memberi dampak negatif bagi lingkungan. Bebatuan yang dirampas dari perbukitan terjal, bisa berdampak kepada longsor.

Oha dan rekan-rekan seprofesinya bukan tak tahu bahaya itu. "Tapi gimana lagi, tak ada pekerjaan lain. Kami butuh makan. Pulang kampung juga belum pasti dapat kerja. Biarlah di sini," ucap Oha.

Waktu bergerak senja. Oha menyudahi pekerjaanya. Dia kembali bergegas ke pondok yang ia buat dari beberapa helai papan bekas dan tiang yang dibaluti baliho bekas kampanye sebagai dinding rumahnya. "Rumah" inilah yang dia tempati selama lima tahun belakangan ini yang sekaligus menjadi "homebase" tempat kerjanya.

Selembar tikar dia bentang di atas papan yang disiapkan sebagai ranjang. Direbahkannya tubuh tuanya dengan kedua tangan menopang kepala.

"Ya beginilah (tempat tinggal saya)," kata Oha tanpa malu-malu.

Untuk mengontrak, dia mengaku tak sanggup. Mahalnya biaya hidup di negeri orang, membuatnya rela menjalani kehidupan sulit.

"Kalau anak zaman sekarang, ada nggak yang bekerja seperti ini?" ledeknya sembari membuka kaos lengan panjang yang penuh dengan keringat dan mencampakkannya begitu saja.

Bola matanya yang mulai sayu karena didera lelah, membuatnya terpejam sesaat. Angin yang berhembus sepoi-sepoi semakin meninabobokan.

Tapi hanya sebentar. Belum sempat ia membuang lelahnya, Oha kembali bangun. Tangannya segera mengambil piring dan gelas kotor yang dipakai tadi malam dengan seember air. "Keseharian ginilah, Bang," katanya sembari menyusun piring dan gelas kotornya untuk dicuci.

Menjelang malam, dia permisi untuk membersihkan badan. Hanya sekadar membasuh keringat di tubuh dan debu di kamar mandi yang dibuat ala kadarnya.

Usai "bebersih", Oha mengajak BATAMTODAY.COM beranjak. Katanya ingin ke warung terdekat untuk membeli makan malamnya. Nasi putih plus telur dadar dan sedikit disiram kuah sayuran. Harga sebungkus nasi itu Rp25 ribu. "Ini belum minum dan rokok, ya," guraunya. (*)

Editor: Roelan