Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Beijing, Kota yang Tak Layak Dihuni Manusia
Oleh : Redaksi
Jum'at | 20-02-2015 | 08:12 WIB
pollution-in-beijing-450x250.jpg Honda-Batam
Kondisi kota Beijing. (Foto: net)

BATAMTODAY.COM - BEIJING, ibu kota Republik Rakyat Tiongkok (RRT), sudah tak layak untuk ditinggali. Bukan karena radiasi nuklir seperti di Chenobyl, Rusia, namun oleh polusi udara yang sudah menyelimuti Beijing. Pejabat di Beijing, seperti ditulis Guardian, juga menyebut bahwa kota tersebut sudah tak layak dihuni manusia.

Udara di Beijing semakin memburuk belakangan ini. Upaya pemerintah setempat untuk mereformasi total aktivitas industri di kota tersebut juga dinilai sudah terlambat. Lingkungan terus tergerus. Pertumbuhan ekonomi lebih diutamakan daripada keselamatan publik.

Para pejabat Tiongkok menyalahkan pabrik-pabrik atas menyebarnya polusi di udara Beijing, serta peningkatan tajam kendaraan bermotor di jalan raya secara signifikan. "Pada saat ini, Beijing bukanlah kota yang layak untuk ditinggali," kata Wali Kota Beijing, Wang Anshun, seperti ditulis Guardian.

Emisi bahan bakar fosil di Tiongkok telah meningkat sembilan kali lipat sejak 1950-an, dari sekitar 2,1 miliar ton batubara yang diproduksi dan dibakar setiap tahun. Kota yang mendapat peringkat 16 daro 20 kota paling polusi di dunia ini, sepertiga penduduk di daratan Tiongkok, menerima hujan asam hujan, salah satu efek samping dari pencemaran lingkungan yang parah.

"Pengasaman sekarang mempengaruhi sekitar 30 persen dari lahan pertanian Tiongkok, dan diperkirakan biaya kerusakan pertanian, hutan, dan kesehatan manusia adalah US $13 miliar," menurut Worldwatch Institute dalam laporannya "State of the World 2006".

Selain lingkungan, kadar polusi yang parah juga menimbulkan risiko ekstrem untuk kesehatan manusia. Sebagaimana dicatat oleh Worldwatch Institute, sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa hampir setengah juta kematian prematur disebabkan oleh penyakit yang ada kaitannya dengan polusi udara.

Sekitar 50.000 bayi yang baru lahir meninggal setiap tahun oleh polusi udara, menurut Kementerian Sains dan Teknologi Tiongkok. Memburuknya kualitas udara di wilayah ini memberikan kontribusi kepada peningkatan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma dan penyakit paru obstruktif kronik.

Masalah pencemaran di Tiongkok sudah menjadi rahasia umum. Bahkan, sebuah laporan baru-baru ini oleh perusahaan riset pasar, Euromonitor International, mengumumkan temuannya di pasar pariwisata global pada tahun 2013, yang melaporkan bahwa industri pawisata di Beijing mengalami penurunan 10 persen dibanding tahun sebelumnya akibat polusi dan penurunan secara keseluruhan dalam perekonomian mereka.

Beijing juga dilaporkan berada di peringkat 34 dari 100 daftar kota yang paling populer untuk pariwisata perusahaan.

Karena itu, Wali Kota Beijing, Wang Anshun, menyerukan reformasi ketika ia menuntut agar pabrik-pabrik mencemari Beijing ditutup total daripada secara "tidak bertanggung jawab" pindah ke daerah tetangga seperti Hebei dan Tianjin, lapor The Guardian.

Tahun lalu, Beijing telah menutup hampir 400 pabrik yang menyebabkan polusi dan memindahkan sekitar setengah juta mobil dari jalanan. Menurut Wang, pengendalian populasi adalah masalah terbesar mereka.

Populasi juga meningkat 350.000 penduduk per tahun. Menurut Wang, masuknya tenaga kerja migran telah menambahkan suatu kerusakan untuk Beijing.

Sebuah program penyapu antipolusu telah diperkenalkan pada 2013 oleh para pejabat Tiongkok, yang mencegah pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara baru di tiga kota penting: Beijing, Shanghai dan Guangzhou.

Namun, 18 bulan kemudian program itu bergerak perlahan. Sebagian karena lemahnya penegakan peraturan lingkungan. Beijing masih diselimuti awan asap putih setiap hari.

Namun, pihak berwenang mengatakan materi partikulat --polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia-- telah menurun sebesar 4 persen, masih lebih rendah dari target peemrintah 5 persen. (*)

Editor: Roelan