Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kerja Sama Perdagangan Karbon Jepang-Indonesia Potensial Turunkan 200.000 Ton Karbon Per Tahun
Oleh : Redaksi
Rabu | 18-02-2015 | 11:45 WIB
ilustrasi_emisi_karbon.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM - SEJAK 2013, pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat melakukan kerja sama di bidang perdagangan karbon dengan skema joint crediting mechanism (JCM) atau mekanisme kredit bersama (MKB). Melalui skema kerja sama itu, institusi Jepang dan Indonesia berinvestasi dalam kegiatan pembangunan rendah karbon di Indonesia melalui insentif dari pemerintah Jepang.

Selama dua tahun berlangsungnya kerja sama, telah ada 96 proyek kegiatan yang telah dilakukan studi kelayakan (feasibility study/FS) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 12 proyek yang telah disetujui untuk dilaksanakan, yaitu tiga proyek uji coba, delapan proyek model dan satu proyek yang telah didaftarkan ke sekretariat JCM internasional.

"Ada 75 studi kelayakan yang telah kami lakukan. Dalam pertemuan ini akan dilaporkan 21 FS yang nantinya akan diseleksi untuk diimplementasikan. Sehingga total per Februari 2015, Indonesia sudah melakukan 96 FS. Sebanyak 75 FS sudah diseleksi mana yang layak untuk diimplementasikan," kata Dicky Edwin Hindarto, dari Sekretariat JCM Indonesia dalam acara pertemuan pelaporan studi kelayakan proyek JCM Indonesia – Jepang, di Jakarta, pekan kemarin.

Dari 75 FS pada kurun 2013-2014, telah diseleksi 13 proyek yang dilaksanakan. Dari 13 proyek tersebut, diproyeksikan ada lebih dari 200.000 ton ton CO2 per tahun atau tepatnya 188.932 ton CO2 per tahun, yang terdiri dari tiga proyek demonstrasi sebesar 62.833 ton CO2 per tahun, 125.992 ton CO2 per tahun dari delapan proyek model, dan 107 ton ton CO2 per tahun dari satu proyek yang telah diregistrasi.

Dari delapan proyek model, masih ada dua proyek yang dilakukan penghitungan ulang ekspektasi penurunan emisi karena mengalami desain ulang. "Ada 13 proyek yang sudah diimplementasikan sampai dengan Februari 2015. Ada tiga dari 13 proyek yang sudah selesai dan beroperasi dengan bagus. Proyek tersebut mulai dari efisiensi energi, energi terbarukan REDD+, transportasi," jelas Dicky.

Selain itu, telah dilakukan ground breaking proyek pembangkitan listrik dari panas buang industri (waste heat recovery utilization) yang dilakukan di PT Semen Indonesia Tuban. Proyek ini merupakan proyek terbesar di JCM saat ini dengan nilai investasi mencapai 52 juta USD dan akan menghasilkan listrik sebesar 30,4 MW dengan penurunan emisi diperkirakan sebesar 122.000 ton CO2 per tahun.

"Ada dua subsektor proyek yang telah diimplementasikan yaitu efisiensi energi dan energi terbarukan. Satu yang paling besar adalah kerjasama PT Semen Indonesia dengan GFE Engineering Jepang, berlokasi di Tuban. Total nilai investasi 51juta USD, dimana 17 persennya atau setara 11 juta USD dibiayai dari proyek JCM. Proyek akan diselesaikan 2017," katanya.

Sedangkan proyek energy saving for air-conditioning and process cooling at textile factory dari Konsorsium Ebara Refrigeration Equipment & Systems, Nippon Koei, dan PT Primatexco menjadi proyek JCM pertama yang didaftarkan di dunia. Dan bakal menjadi proyek pertama mendapatkan kredit pengurangan emisi (issued emission reduction credit).

Penurunan emisi yang dihasilkan oleh proyek rendah karbon dari proyek JCM akan diukur menggunakan metode pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (measurement, reporting, and verification atau MRV) berstandar internasional yang disetujui kedua negara. Besar penurunan emisi (kredit karbon) akan dicatat dan dapat digunakan untuk memenuhi target penurunan emisi Indonesia dan Jepang sesuai pembagian yang disepakati.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman, mengatakan, kerja sama JCM Indonesia – Jepang merupakan bagian dari komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK.

"Program JCM masih relevan bagi pemerintah saat ini. Dengan kerjasama ini, Indonesia akan diuntungkan dengan lingkungan yang bersih, teknologi pabrik yang diperkenalkan dari Jepang dengan emisi yang lebih kecil," kata Rizal.

Dia menjelaskan meskipun tidak dijelaskan secara gamblang tentang perubahan iklim dan perdagangan karbon dalam Nawacita, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) saat ini, disebutkan dalam rangka untuk menuju pertumbuhan ekonomi perlu keberlanjutan, perlu ditunjang dengan proteksi lingkungan hidup, untuk menjaga ketahanan pangan dan ketahanan energi dan kualitas lingkungan hidup.

"Dalam program JCM ini, tidak membebankan biaya kepada pemerintah Indonesia, misalnya untuk peremajaan teknologi dari Jepang di pabrik yang lebih ramah lingkungan dan emisi karbon yang lebih rendah," katanya.

Keuntungan bagi Jepang dalam skema JCM ini, upaya yang mereka lakukan dengan memberikan bantuan keuangan bagi pihak swasta (melalui skema JCM) dengan terlibat penggantian penerapan teknologi, akan dicatat Jepang sebagai upaya menurukan emisi GRK mereka.

Sedangkan Takaaki Ito dari Kementerian Lingkungan Hidup Jepang mengatakan, Indonesia merupakan satu dari 12 negara yang telah menandatangani perjanjian kerja sama skema JCM dengan Jepang. Sebelah negara lainnya yaitu Vietnam, Mongolia, Palau, Meksiko, Maladewa, Ethiopia, Kosta Rika, Laos, Kamboja, Kenya, dan Bangladesh.

Ito mengatakan sudah ada sembilan proyek di 12 negara yang disetujui untuk dilaksanakan, dan empat di antaranya berada di Indonesia. (*)

Sumber: Mongabay