Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sambut 2015 dengan Kerja, Kerja, Kerja!
Oleh : Redaksi
Senin | 05-01-2015 | 10:33 WIB

Oleh: Ugi Prasetyo Wicaksono*
 
BANGSA yang besar tidak pernah terlahir tanpa rintangan. Bangsa-bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjalani hidup dengan sepenuh jiwa raganya. Mereka mungkin memiliki masa lalu yang kelam. Namun mereka mengambil pelajaran dari sana dan memperbaiki diri. Sebagai contoh adalah Jepang. Meski telah hancur oleh bom atom, namun mampu bangkit untuk merubah nasibnya sendiri. Semua itu mampu dilalui karena dilandasi dengan keyakinan pada diri sendiri dan percaya akan adanya Zat Yang Maha Mengelola.
 

Oleh karena itu bangsa Indonesia harus berusaha bersungguh-sungguh pada apa yang ada di miliki saat ini, yaitu Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber daya Manusia (SDM). Kemampuan yang kita punya, keahlian yang kita kuasai, semuanya menjadi jalan untuk berkarya membentuk masa depan nanti. Indonesia tentu mampu mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini jika seluruh elemen bangsa bersatu, berjuang bersama mewujudkannya.
 
Harapan Masih Ada 
Kiranya kata itu lah yang pantas terucap saat ini. Di tahun baru, telah lahir pemimpin baru dengan segudang kebijakan atau program baru untuk mewujudkan harapan-harapan masyarakat. Harapan itu menjadi konsekuensi logis atas gagasan yang terlanjur terucap oleh nahkoda baru bangsa Indonesia,Jokowi-JK. Gagasan tersebut yaitu, Revolusi Mental.
 
Gagasan ‘revolusi mental’ memang menjadi perbincangan masyarakat, pasca dimunculkan oleh Jokowi-JK pada debat kandidat Capres-Cawapres yang silam. Revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah mendarah-daging sejak jaman Orde Baru hingga sekarang.
 
Gagasan revolusi mental, sebagai usaha memperbaharui corak berpikir dan bertindak suatu masyarakat, bisa ditemukan di ideologi dan agama manapun. Dalam Islam pun ada gagasan revolusi mental, yakni konsep 'kembali ke fitrah': kembali suci atau tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk komunis atau ideologi-ideologi yang berafiliasi dengan marxisme.
 
Sebenarnya, gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang 'mandek'. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
 
Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti "hollands denken" (gaya berpikir meniru penjajah Belanda).  Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional. Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.
 
Ketiga, terjadinya 'penyelewengan-penyelewengan' di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berpikir liberal, statis, dan textbook-thinkers (berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).
 
Di lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikuidasi.
 
Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.
 
Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. "Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala," kata Bung Karno.
 
Perombakan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup ini punya dua tujuan besar: pertama, menamankan rasa percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.
 
Kiranya gagasan ini lah yang juga digulirkan oleh Presiden Jokowi-JK. Semangat dalam bekerja untuk memperbaiki diri dan berdikari di tanah sendiri. Tahun 2015 adalah waktu yang tepat untuk menuntaskan Pekerjaan Rumah Bangsa Indonesia yang telah sekian lama belum tertuntaskan dengan baik. Mari kita kerja, kerja dan kerja, demi Indonesia baru.
 
Terkait dengan hal itu, tentu kiranya seluruh elemen bangsa berkewajiban masih terus menanti gebrakan dan kebijakan-kebijakan baru yang produktif dari pemerintahan Jokowi-JK. Tahun 2015 merupakan momentum untuk memperbaiki diri, meningkatan dan mengembangkan potensi SDA dan SDM Indonesia, mengurangi impor, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan daya saing dan kreatifitas masyarakat guna menuju Indonesia baru, Indonesia yang berdaulat di tanah sendiri dan di segani bangsa asing. Dimana hal itu akan bermuara pada satu titik, yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat adil makmur yang di Ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
 
Untuk itu, tentu diperlukan adanya upaya sistematis dan terstruktur guna peningkatan aspek spiritualitas, moralitas, dan mentalitas dalam menghadapi realitas kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan, menuju ke arah kesejatian hidup.
 
Masyarakat Indonesia kiranya sudah lelah dengan janji-janji manis para pemimpin bangsa ini. Bahkan anak kecil (SD) pun telah mengerti bahwa pemimpin bangsa terlalu banyak memberi kepalsuan, "jika banyak berbohong akan menjadi Presiden" kira-kira begitu intinya. Untuk itu, tahun 2015 adalah tahun kerja. Bekerja sekuat tenaga untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Selamat Tahun baru dan selamat bekerja bapak presiden, Semoga engkau mampu mewujudkan cita-cita dan harapan masyarakat Indonesia. Biarlah anak cucu yang akan menikmati< bapak cukup menjadi Pahlawan baru bagi bagi kami untuk lepas dari penjajahan gaya baru yang terjadi saat ini. *
 
*) Penulis adalah Relawan Indonesia Sejahtera, aktif pada Arus Diskusi Rakyat Nusantara untuk Kesejahteraan.