Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kaum Urban yang Stres Dongkrak Angka Penderita Diabetes di Negara Berkembang
Oleh : Redaksi
Sabtu | 20-12-2014 | 09:25 WIB

BATAMTODAY.COM - URBANISASI sudah menjadi fenomena klasik di negara berkembang. Padahal, tingkat stres orang udik saat tinggal di kota jauh lebih tinggi dibanding tinggal di desa. Dan, stres kaum urban ini bisa mendorong peningkatan angka penderita diabetes di negara berkembang.

Manusia pada saat kondisi stres, akan mempengaruhi kadar hormon mereka. Buntutnya, orang-orang yang sering stres ini rentan terhadap diabetes dan gangguan metabolisma lainnya. Begitulah menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Endocrine Society Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism (JCEM).

Sekitar 387 juta orang di seluruh dunia mengidap diabetes, dan 77 persen dari mereka tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, menurut Federasi Diabetes Internasional (IDF). Di Timur Tengah dan Afrika Utara, satu dari 10 orang dewasa terkena diabetes.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena diabetes dan masalah metabolik lainnya adalah paparan kronis hormon stres kortisol. Kortisol dapat menangkal insulin, hormon yang mengatur gula darah, dan memperlambat produksi oleh tubuh.

"Temuan kami menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan gaya hidup pedesaan ke lingkungan perkotaan akan mengalami tingkat stres yang tinggi dan cenderung memiliki kadar hormon kortisol yang lebih tinggi," kata Peter Herbert Kann MD PhD MA dari Universitas Philipp di Marburg, Jerman.

"Stres ini akan berkontribusi pada peningkatan jumlah penderita diabetes yang kita lihat di negara-negara berkembang," katanya.

Untuk menguji teori ini, peneliti memeriksa orang-orang dari satu kelompok etnis -orang Ovahimba dari Namibia di barat daya Afrika. Namibia adalah negara berpenduduk paling padat kedua di dunia, dengan 38,6 persen penduduk tinggal di lingkungan perkotaan.

Dalam studi diagnostik prospektif cross-sectional, para peneliti mengukur kadar kortisol, gula darah dan kolesterol pada 60 orang Ovahimba yang tinggal di ibu kota regional, Opuwo. Opuwo sendiri berpenduduk sekitar 21.000 jiwa.

Para peneliti kemudian melakukan tes yang sama pada 63 orang Ovahimba yang tinggal, setidaknya 50 kilometer dari kota terdekat atau desa. Di antara penduduk perkotaan itu, 28 persen orang menderita diabetes atau gangguan metabolisme glukosa lainnya.

Kadar risikonya justru kurang dari setengah pada penduduk pedesaan. Para penduduk kota juga memiliki kadar kortisol yang secara signifikan lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka di pedesaan.

Ketika warga kota melaporkan bahwa mereka kurang berolahraga dan lebih banyak mengonsumsi makanan cepat saji dan makanan penutup dari penduduk pedesaan, ternyata perubahan gaya hidup bukan satu-satunya faktor di tempat kerja, kata Kann. Perbedaan kadar kortisol menunjukkan bahwa hormon adalah bagian penting dari persamaan itu.

"Hasilnya menunjukkan ketidakstabilan sosial budaya yang disebabkan oleh urbanisasi memberikan kontribusi untuk peningkatan risiko meningkatnya diabetes atau gangguan metabolisme lain," kata Kann.

"Ini adalah studi prospektif pertama yang secara sistematis menunjukkan regulasi tubuh hormon kortisol berperan dalam perubahan metabolik yang disebabkan oleh pergeseran ke gaya hidup urban," terangnya. (*)

Editor: Roelan