Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pakar Nilai Penerapan Hukuman Mati Konstitusional
Oleh : Surya
Senin | 15-12-2014 | 19:00 WIB
ilustrasi_hukuman_mati.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Achyar Salmi, menegaskan, penerapan hukuman mati bagi pidana narkoba, koruptor, teroris, pemerkosa dan pembunuh terencana dan terbukti di pengadilan, tidak akan mengundang pro dan kontra di masyarakat. Ia menilai, hukuman mati tersebut akan mendapat dukungan penuh masyarakat sehingga pemerintah tidak perlu ragu menerapkannya.

"Masalah pro dan kontra terhadap suatu kebijakan terutama hukuman mati itu sunnatullah atau natural of law. Sejak tahun 2000-an, pakar hukum kondang, Adnan Buyung Nasution, sudah mendukung penerapan hukuman mati pidana narkoba dan sudah dalam KUHP. Jadi, hukuman mati itu konstitusional," tegas Achyar Salmi dalam dialog empat konsensus dasar kebangsaan "Hukuman mati dan penegakan HAM" bersama pengamat hukum dari Indoensia Rountable, Firmasyah Arifin, dan anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu, di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (15/12/2014).
 
Menurut Achyar, induk hukum pidana itu memang KUHP. Tapi, dalam perkembangannya ada UU Nomor 77 Tahun 1955 tentang pidana ekonomi, UU Nomor 11 Tahun 1963 ada UU Subversif juga terancam hukuman mati, terorisme, korupsi UU 24/1960, pasal 2 (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 dalam keadaan tertentu terancam hukuman mati bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dan UU Nomor 31 Tahun 1999.
 
Karena itu, kata Achhyar, secara hukum sudah tidak ada lagi perdebatan hukuman mati tersebut, tinggal hakim melaksanakan. "Hanya ada dua langkah bagi terpidana mati untuk meminta keringanan; yaitu banding dengan pengajuan kembali (PK) dan kalau putusannya tetap mati, maka tinggal dieksekusi. Dan kedua upaya grasi ke Presiden RI sesuai UU Nomor 5 Tahun 2010," tambahnya.
 
Dengan demikian, jika Presiden Jokowi menolak grasi 64 terpidana narkoba itu tidak ada masalah. Sebab, ketika Jimly Asshiddiqie yang memimpin Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah menegaskan jika tidak bertentangan dengan konstitusi.

"Tapi, dengan grasi itu kalau Presiden memaafkan seperti dilakukan oleh SBY juga tidak apa-apa, dan sebaliknya kalau ditolak juga sah-sah saja. Tinggal alasan menerima atau menolak grasi itu yang mesti dijelskan oleh MA dan Presiden," ujarnya.
 
Apalagi dalam kasus pembunuhan dan pemerkosaan terencana terbukti keluarganya selalu meminta agar pelaku dihukum mati. "Jadi, saya melihat ada yang salah kaprah dengan alasan pelanggaran HAM selama ini. Padahal, hukuman mati yang diterapkan di Tiongkok, Arab Saudi, Amerika dan Iran justru memberi efek jera. Ekonomi China bangkit di tengah terpuruknya dunia," pungkas Achyar.

Sedangkan anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu, menegaskan dukungannya terhadap hukuman mati bagi 64 pidana narkoba dan kasus pelanggaran hukum berat lainnya. Sebab, kejahatan yang mereka lakukan berdampak luar biasa dan harus pula ditangani dengan kebijakan yang luar biasa atau lex specialis.
 
"Pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai 24 juta orang dan dampaknya pasti luar biasa luas bagi generasi bangsa ini bahkan termasuk darurat nasional. Apalagi pendudukan Indonesia yang besar ini pasti akan menjadi potensi pasar empuk barang haram itu, sehingga hukum harus ditegakkan," tegas Masinton.
 
Karena itu kata Masinton, langkah Jokowi itu sangat tepat dalam situasi sekarang ini, di mana narkoba sudah sangat mengkhawatirkan bagi bangsa Indoensia saat ini. "Negara berkewajiban melindungi seluruh tumpah darah khususnya warga negara, yang jiwa dan masa depannya terancam akibat narkoba," katanya. (*)

Editor: Roelan