Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengkritisi Polemik Revisi UU MD3
Oleh : Redaksi
Rabu | 03-12-2014 | 12:44 WIB

Oleh : B.R Rajo Nagari*

TARIK menarik kepentingan di parlemen sampai sekarang belum berkesudahan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), walaupun sudah mengarah kepada penyelesaian. Salah satu masalah yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan adalah masalah pembahasan revisi Undang-Undang MD3 ( MPR, DPR, DPD, dan DPRD).

Perlu diketahui, UU MD3 yang baru saja disahkan pada 8 Juli lalu adalah revisi dari UU MD3 Nomor 27 tahun 2009, menjadi Undang-undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Namun, dalam proses pengesahan itu, terjadi pro kontra antar-fraksi di DPR, dimana saat itu, tiga fraksi walk out dari sidang paripurna yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 

Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa merevisi Undang-undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) hanya untuk kepentingan politik. Revisi UU MD3, harus dilakukan secara komprehensif. Apalagi hanya untuk kepentingan penambahan jabatan pada alat kelengkapan di DPR RI. UU MD3 itu mengakomodasi kepentingan, MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga revisi tersebut harus dilakukan secara konprehensif. DPR berkeinginan merevisi UU MD3 dengan menghapus beberapa ayat dalam pasal 74 dan pasal 98, serta penambahan beberapa ayat mengenai pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD). Revisi ini dilakukan menyusul adanya kesepakatan yang dicapai oleh dua kekuatan politik yang ada di DPR, yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.Dari wacana yang berkembang, DPR akan segera merevisi UU MD3 tersebut melalui Badan Legislasi di DPR RI sesuai dengan kesepakatan KIH-KMP. Namun menurut revisi UU tersebut seharusnya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni sesuai amanah UU No 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembuatan Aturan Perundangan.

Dalam merevisi sebuah peraturan Undang-Undang harus melibatkan tiga pihak, yakni DPR, DPD, dan Pemerintah, oleh sebab itu jika DPR ingin merevisi UU MD3, maka harus melibatkan DPD RI dan Pemerintah, karena hal ini tidak bisa berjalan sendiri. Masalah ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada 27 Maret 2013 yang isinya antara lain DPD memiliki kewenangan untuk membahas RUU terkait otonomi daerah bersama dengan DPR dan Pemerintah. Kalau masalah ini hanya semata untuk kepentingan DPR dalam mengisi 21 jabatan pimpinan komisi dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) untuk fraksi-fraksi dari KIH, akan lebih baik jika mengurangi jabatan pimpinan komisi dan AKD yang sudah diisi oleh KMP dan memberikannya kepada KIH.Kalau DPR masih ingin menempuh jalur untuk merevisi UU MD3 tersebut, maka jalannya harus mengikuti semua peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga akan memakan waktu yang cukup lama.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad menilai revisi UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 tidak mempunyai alasan yang cukup kuat, karena hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Dengan adanya revisi UU MD3 tersebut DPD mendukung dan sepakat terhadap revisi UU tersebut, namun harus sesuai dengan syaratnya, yaitu sesuai dengan pasal 23 ayat 2 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengubahan UU harus dengan alasan mendesak. 

Sementara itu Wakil Ketua Badan Legislasi DPR (Baleg DPR) Saan Mustopa, mengatakan, Baleg DPR optimis akan disahkan revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD, dalam Sidang Paripurna DPR 2 Desember 2014 mendatang. Mengingat, bahwa rancangan revisi UU MD3 sudah selesai disusun pasal-pasal yang akan dirubah dan dihapus sudah ditentukan. Selain itu sudah ada kesepakatan dan lobi-lobi antara fraksi di parlemensudah selesai dilakukan, baik dari Koalisi merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat. Selain penerbitan amanat Presiden, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham telah berkomitmen untuk mempercepat pembahasan penyampaian Dafta Inventaris Masalah (DIM) tantang perubahan pasal-pasal yang diusulkan. Disisi lain anggota Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat mengatakan, Farksi Partai Gerindra menilai pembahasan revisi UU MD3 semestinya tidak perlu melibatkan pihak lain diluar Fraksi Partai Politik (Parpol) dalam komisi DPR. 

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga tidak perlu dimintakan pertimbangannya lagi, karena proses pembahasan revisi UU MD3 dilakukan diluar agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014. Sebelumnya, UU MD3 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mekanisme pemilihan Pimpinan DPR. PDI-P sebagai Parpol pemenang Pemilu Legislatif 2014 merasa direbut haknya. Disisi lain UU MD3 menegaskan, bahwa Pimpinan DPR dipilih oleh anggota DPR, karena tidak otomatis partai pemenang pemilu legislatif menduduki kursi pimpinan di DPR. Usulan revisi pasal-pasal dalam UU MD3 yang diajukan oleh Koalisi Indonesia Hebat dinilai bersifat kepentingan politis, karena hanya mempermasalahkan hak interpelasi DPR.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, hak interpelasi DPR yang diatur dalam UU MD3 dinilai bermuatan kepentingan politik, karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaaan parlemen. Dalam pasal-pasal UU MD3 yang direvisi, menyebutkan kekuasaan DPR yang dapat memberikan sanksi kepada Menteri, bahkan lembaga negara non eksekutif, hingga masyarakat biasa. 
Hal ini dinilai sangat berlebihan, karena kewenangan memberikan sanksi kepada Menteri adalah otoritas dan hak Presiden. Sehingga jika DPR menilai suatu Kementerian tidak bekerja dengan benar, semestinya DPR cukup memberikan laporan kepada Presiden. Maka, hasil revisi UU MD3 tersebut dinilai tidak mengimplementasikan sistem parlemen sesuai konstitusi. Sehingga kebijakan pemerintah akan berdasarkan sistem otoritarianisme parlemen yang merugikan rakyat.

Berangkat dari permasalahan diatas untuk merevisi UU MD3 penulis menilai DPR terlalu reaksioner, karena revisi UU tersebut tidak diorientasikan untuk melakukan reformasi dalam parleman secara menyeluruh, melainkan revisi UU tersebut hanya reaksi fraksi-fraksi yang ada di DPR baik dari Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat untuk polarisasi politiknya di parleman. Sehingga DPR memaksakan hak interpelasinya untuk menggunakan Pasal 23 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Perundang-undangan untuk merivisi UU MD3. Sementara itu masih banyak pasal-pasal lain dalam UU MD3 yang masih bermasalah. Dalam pasal 245 revisi UU MD3 merupakan bentuk hak imunitas bagi anggota DPR. Keputusan pasal 245 tersebut dinilai bersifat disriminatif yang melanggar asas kesetaraan dihadapan hukum, karena DPR akan mempunyai kekuasaan memberikan saksi kepada Menteri, lembaga negara non eksekutif, termasuk masyarakat, sehingga ketentuan Pasal 245 dalam UU MD3 dinilai mengandung kepentingan politik, serta berpedoman kepada argumen yuridis.

Polemik yang terjadi dalam rangka merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) antar fraksi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih dalam sidang parlemen DPR, menurut penulis telah memunculkan asumsi publik tentang konflik kepentingan politik melalui isu hak interpelasi DPR untuk merubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini dinilai berpotensi memunculkan konflik parlemen yang akan berdampak pada rah kebijakan pemerintah, integritas DPR sebagai lembaga parleman, serta stabilitas komunikasi politik nasional. Isu tentang polemik UU MD3 juga berpotensi dimanfaatkan kelompok kepentingan untuk pembentukan opini publik tentang kelemahan pemerintah dalam memediasi konflik yang terjadi dalam internal parlemen DPR.

Oleh sebab itu kepada kelompok parleman yang masih bertikai agar secepatnya untuk menyelesaikan masalahnya, agar pemerintahan berjalan baik dan tidak ada lagi saling menyalahkan kedua lembaga tersebut. Revisi terhadap UU MD3 boleh saja asal bertujuan untuk mewujudkan efisiensi kerja dari parlemen. Kita menginginkan lembaga DPR itu tidak gemuk, agar cepat kinerjanya.DPR harus lebih fokus terhadap kinerja agar tidak terlena dengan wacana-wacana.*

*) Penulis adalah pengamat politik, tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat.