Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wah, Hasil Observasi Guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Banyak yang 'Error'
Oleh : Habibi
Rabu | 26-11-2014 | 21:38 WIB
guru observasi.jpg Honda-Batam
Kelompok guru saat mengobservasi salah seorang anak berkebutuhan khusus pada saat pelatihan. (Foto: Roelan/BATAMTODAY.COM)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Hasil observasi yang dilakukan ratusan guru pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (PK-PLK) peserta pelatihan sensori integrasi, ternyata banyak yang salah. Penanganan anak-anak berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusi pun dipertanyakan.

"Ini bagaimana kok hasil observasi banyak yang 'error'? Jadi, selama ini anak dibiarkan dalam penanganan yang salah?" ujar dr Tri Gunadi Amd OT SPsi, instruktur pelatihan sensori integrasi yang diikuti ratusan guru PK-PLK se-Provinsi Kepulauan Riau, di Plaza Hotel Tanjungpinang, Rabu (26/11/2015).

Beberapa observasi yang keliru disimpulkan sejumlah kelompok guru di antaranya ada siswa kelas IV SLB Negeri Tanjungpinang bernama Fathur dinyatakan sebagai penyandang autistik. Padahal, kata Tri Gunadi, Fathur menyandang ADHD (attention defisit and hyperactivity disorder, gangguan pemusatan perhartian dan hiperaktif) dan retardasi mental (RM) plus obesitas.

Kemudian Pansa Nababan Gabriel, siswa kelas VII SLB Tanjungpinang, yang menyandang autistik, disebut sudah mampu berkomunikasi dengan baik. "Padahal, komunikasi dua arahnya masih belum baik. Dia (Pansa) bisa berbicara untuk berkomunikasi, tapi dia tak mengerti apa yang dibicarakannya itu," terang Gunadi.

Ada lagi Divan, siswa kelas I. Menurut guru, Divan dikatakan sudah mampu menulis. Padahal, "Itu hanya obsesi menulis. Yang ditulis pun hanya mereka dari produk-produk iklan. Ini kebanyakan nonton televisi, bukan karena dia sudah bisa menulis," terang Gunadi.

Parahnya lagi, Wawan, juga siswa SLB Negeri Tanjungpinang yang berusia 13 tahun, disebut Gunadi telah memasuki sekolah yang keliru. "Anak ini seharusnya masuk ke sekolah reguler. Tapi kenapa masuk ke SLB (kelas tunarungu)?" tanyanya.

Gunadi menjelaskan, Wawan hanya menyandang gangguan malinformasi pada telinga akibat salah satu cuping pada telinganya tertutup. Sementara pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

"Kalau bahasanya masih belum bagus, itu karena sejak awal sudah salah masuk sekolah, dan kurang mendapatkan stimulus. Akibatnya anak jadi minder karena kurang percaya diri," jelas Gunadi.

Ada lagi Solikhin, yang berusia 15 tahun, yang belum mampu membaca gerak bibir. Selain itu, Solikhin yang fungsi auditorinya lemah ini juga tak mengenakan alat bantu pendengaran.

"Pertama kali yang diajarkan kepada anak tunarungu adalah lipreading (membaca gerakan bibir, red). Setelah menggunakan alat bantu dengar, kemudian dites dengan auditory trainning (guru berbicara tapi dengan mulut yang ditutup agar gerakan bibir tak kelihatan, red)," kata Gunadi.

Melihat banyaknya kesalahan-kesalahan dalam observasi ini, Gunadi pun gerah. "Ternyata, selama ini anak-anak ini mendapat penanganan yang salah," tukasnya.

Seperti diberitakan, sebanyak 150-an guru PK-PLK se-Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengikuti pelatihan sensori integrasi selama lima hari sejak Sabtu (22/11/2014). Mereka dibagi dalam 19 kelompok. Masing-masing kelompok yang rata-rata terdiri dari tujuh orang itu diminta untuk menangani satu anak berkebutuhan khusus.

Pelatihan ini menghadirkan dr Tri Gunadi Amd OT SPsi, pakar anak dari Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet Jakarta. Sayangnya, masih banyak guru SLB yang keliru menangani anak berkebutuhan khusus. (*)

Editor: Roelan