Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Letusan Gunung Berapi Bisa Perlambat Pemanasan Global
Oleh : Redaksi
Rabu | 19-11-2014 | 14:13 WIB

BATAMTODAY.COM - ILMUWAN memperkirakan, letusan gunung berapi kecil berpotensi memperlambat pemanasan global. Letusan itu akan mengeluarkan gas pendingin ke atas atmosfer bumi lebih dari perkiraan sebelumnya yang berkontribusi menurunkan suhu bumi.

Dikutip dari laman phys.org, Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa gunung berapi dapat mendinginkan suhu, terutama dengan cara gas sulfur dioksida yang dikeluarkan saat letusan. Semburan asam sulfat yang terbentuk dari gas tercampur dengan oksigen di atmosfer dapat bertahan selama berbulan-bulan, memantulkan sinar matahari dari bumi sehingga menurunkan suhu. 

Namun pada penelitian sebelumnya, telah menunjukkan bahwa letusan-orang yang relatif kecil -di bawah skala eksplosivitas- tidak memberikan kontribusi banyak untuk mendinginkan suhu global.

Menurut studi baru yang diterima Geophysical Research Letters, sebuah jurnal dari American Geophysical Union, pengukuran baru pada tanah, udara dan satelit menunjukkan bahwa letusan gunung berapi kecil yang terjadi antara tahun 2000 dan 2013 telah membelokkan radiasi sinar matahari hampir dua kali lipat dari yang diperkirakan sebelumnya. Dengan mengembalikan matahari yang terpantul ke angkasa, partikel asam sulfat dari letusan tersebut bisa mengurangi suhu global 0,05-0,12 derajat Celsius (0,09-0,22 derajat Fahrenheit) sejak 2000.

Data baru ini bisa membantu menjelaskan mengapa kenaikan suhu global telah melambat selama 15 tahun terakhir, sebagai periode yang dijuluki 'pemanasan hiatus global, menurut penulis studi tersebut.

Tahun terpanas adalah 1998. Setelah itu, mengalami penurunan. 

Para ilmuwan sebelumnya menyarankan bahwa aktivitas matahari yang lemah atau serapan panas oleh lautan bisa bertanggung jawab untuk menghambat peningkatan suhu. Tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa letusan gunung berapi kecil juga turut mempengaruhi.

Proyeksi iklim biasanya tidak termasuk efek letusan gunung berapi, karena peristiwa ini hampir tidak mungkin untuk diprediksi, kata Alan Robock, ahli iklim di Rutgers University di New Brunswick, New Jersey, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. 

Menurutnya, hanya letusan besar pada skala yang dahsyat 1991 letusan Gunung Pinatubo di Filipina, yang mengeluarkan sekitar 20 juta metrik ton sulfur, yang dianggap berdampak pada iklim global. Namun menurut David Ridley, seorang ilmuwan atmosfer di Massachusetts Institute of Technology di Cambridge dan penulis utama studi baru ini, model iklim klasik tidak ditambahkan.

"Prediksi temperatur global dari model (terbaru) menunjukkan kelanjutan pemanasan pasca-2000, walaupun pada kenyataannya laju pemanasan telah melambat," kata Ridley. 

Secara tradisional, para ilmuwan telah menggunakan satelit untuk mengukur semburan asam sulfat, partikel, atau aerosol, yang dimuntahkan gunung berapi ke stratosfer. Tapi uap air di awan di troposfer biasanya dapat menggagalkan pengumpulan data di bawah 15 km, kata Ridley. 

Untuk menyiasati hal ini, penelitian gabungan melakukan pengamatan baru dari tanah, udara dan instrumen berbasis ruang untuk lebih mengamati aerosol di bagian bawah stratosfer. (*)

Editor: Roelan