Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pengusaha dan Buruh Harus Patuh pada Ketentuan DPN

Apindo Minta Pemerintah Tidak Tunduk pada Tekanan Buruh
Oleh : Surya/Romi Chandra
Sabtu | 15-11-2014 | 08:14 WIB
Sofjan-Wanandi.jpg Honda-Batam
Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah tidak tunduk kepada tekanan buruh atau pekerja dalam menetapkan besarnya Upah Minimum Regional (UMR)/Upah Minimum Provinsi (UMP).


Pengusaha dan buruh harus tunduk kepada ketentuan Dewan Pengupahan Nasional (DPN) soal besaran UMR/UMP.

"Pemerintah jangan tunduk kepada buruh yang demo," kata Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi di Jakarta, Sabtu (15/11/2014)

Menurut Sofjan, buruh atau pekerja berunjuk rasa meminta menaikkan UMR/UMP yang sangat besar adalah buruh atau pekerja yang tidak memperhatikan masalah ekonomi saat ini.

"Mereka tidak pikir kalau mereka memaksakan kehendak maka banyak perusahaan gulung tikar. Kalau ini yang terjadi maka tentu akan terjadi pemutusan hubungan kerja dan yang belum bekerja tak akan mungkin mendapatkan pekerjaan," tegas Sofjan.

Apindo, kata Sofyan, tidak menghalang-halangi buruh melakukan unjuk rasa, tetapi yang terpenting  pemerintah tidak tunduk kepada tekanan mereka. "Saya minta pemerintah dan Dewan Pengupahan Nasional tidak tunduk kepada kemauan buruh seperti itu," kata dia
.
Sementara Apindo Kepri, juga mempertanyakan cara Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengambil keputusan besaran UMK Batam 2015 yang diusulkan ke Gubernur Kepri untuk ditetapkan, yakni Rp2.664.302.


Apindo Kepri menilai, kenaikan UMK yang diusulkan Wali Kota Ahmad Dahlan Rp2.664.302 mengabaikan beberapa hal yang bisa merugikan lebih banyak pekerja, dan bahkan Batam sendiri.

Begitu juga jika dibandingkan dengan Jakarta, antara KHL dengan UMK di Batam naik sangat tidak signifikan. Menyikapi hal itu, Apindo Kepri pun dengan tegas meminta agar Gubernur Kepri menolak besaran UMK tersebut.

Ketua Apindo Kepri, Cahya, saat dihubungi BATAMTODAY.COM, Jumat (14/11/2014), mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan Wali Kota Batam dan Gubernur Kepri sebelum menetapkan dan menyetujui angka UMK tersebut. Diantaranya bisa dilihat dari kenaikan UMK dari KHL di Jakarta yang tidak jauh.

"Jika dilihat di DKI Jakarta, KHL Rp 2.538.000 dan UMP Rp 2.700.000. Artinya, UMP hanya mengalami kenaikan sekitar 6,4 persen. Sedangkan Batam, KHL Rp 2.148.000 dan UMK 2.664.302 hingga Rp 2.851.600. Kenaikannya sangat tinggi, karena mencapai 24 persen hingga 33 persen. Yang patut dipertanyakan, bagaimana cara pak wali mengambil keputusan ini?" tukasnya.

"DKI saja hanya 6,4 persen di atas KHL, kenapa Batam harus sampai 24 hingga 33 persen di atas KHL?" ujar Cahya lagi.

Dengan kondisi tersebut, dia menilai wali kota tidak saja mengorbankan pengusaha, tapi bisa mengorbankan Batam. "Jangan sampai demi menyelamatkan 60.000 orang di sektor tertentu, wali kota mengorbankan 800.000 angkatan kerja lainnya, baik formal maupun informal. Ini tentu akan terjadi," ujar Cahya.

Ditambahkan, Apindo juga menilai bahwa wali kota telah mengabaikan Inpres No. 9 dan Permenaker No. 7, dengan membentuk tim ekonomi dan menentukan upah kelompok dengan mengabaikan hasil dari dewan pengupahan kota. Dan hasil dari tim ekonomi tersebut, dinilainya akan membuat Kota Batam jadi tidak kondusif.

"Wali kota juga tidak menghormati hasil survei bersama yang dilakukan oleh Disnaker, Apindo dan seluruh unsur serikat pekerja. UMK kita jelas-jelas sudah jauh di atas KHL, maka sesuai Inpres dan Permennaker, harusnya wali kota tidak lagi menentukan angka, tetapi menyerahkan kepada Bipartit," tandasnya.

Jika penetepan UMK itu sebagai pertimbangan demi keamanan, lanjut Cahya, ia mengatakan sangat tidak setuju, karena Indonesia negara hukum dan semua ada aturannya. "Sekarang aturan tidak mau diikuti hanya dengan alasan keamanan. Kalau itu pendapat pak wali, saya angkat tangan, biar masyarakat yang menilai," imbuhnya.

Dikatakan Cahya, sebagai pertimbangan, dengan menaikkan angka UMK pengangguran bakal banyak bertambah. Saat ini saja, angka pengangguran itu makin bertambah dan makin beringas mendirikan rumah-rumah liar di atas lahan milik siapa saja.

"Begitu juga kriminalitas meningkat tajam, ini bakal menimbulkan masalah sosial baru. Wali kota seharusnya tidak tutup mata, karena semua itu terjadi salah satu akibat dari kebijakan pak wali yang mendorong pertumbuhan pengagguran," tegasnya.

Menurutnya, kesepahaman awal yang harus dibangun dalam kondisi sekarang ini, bagaimana agar masyarakat banyak mendapat pekerjaan terlebih dahulu dan ada pendapatan yang memadai. Jangan sampai jadi pengangguran.

"Ini bahaya. Kalau karena gaji terlalu tinggi pengusaha mengurangi karyawan, apakah pak wali bisa cegah? Apakah pemerintah daerah siap memberi makan para pengangguran?" tanya Cahya.

Untuk itu, ia mewakili pengusaha lainnya, memohon agar Guubernur Kepri menolak dan mengembalikan usulan Wali Kota Ahmad Dahlan agar ditelaah kembali.

"Kami sangat berharap gubernur mengembalikan usulan wali kota itu untuk ditelaah kembali. Setelah itu, mari ambil keputusan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan kenyataan ekonomi di lapangan," pungkasnya.

Editor: Surya