Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPD RI Kutuk Israel Atas Aksi Penembakan di Masjidil Aqsa
Oleh : Surya
Kamis | 06-11-2014 | 19:08 WIB
Farouk Muhammad.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad menegaskan DPD RI mengutuk penembakan yang terjadi terhadap warga Palestina yang sedang beribadah di Masjidil Aqsha, pada Selasa (4/11) lalu, sehingga mengakibatkan puluhan rakyat yang tidak berdosa menderita luka-luka. Apalagi sampai melakukan penutupan masjid oleh pemerintahan Benjamin Netanyahu.
 


Karena itu, Presiden Jokowi  harus melakukan diplomasi politik ke PBB, Amerika Serikat, maupun organisasi konferensi Islam (OKI) untuk mengakhiri pembantaian terhadap warga Palestina tersebut.

"DPD RI berharap pemerintahan Jokowi bisa menggerakkan seluruh kekuatan diplomatiknya di seluruh dunia guna menghentikan kebiadaban Israel itu demi kemerdekaan Palestina,"  tegas Farouk Muhammad pada wartawan di Gedung DPD RI Jakarta, Kamis (6/11/2014).
 
DPD RI akan menyampaikan keputusan DPD RI tersebut secara tertulis langsung ke Presiden Jokowi.

"Mengingat krisis Palestina ini sudah puluhan tahun dan meluas yang bukan saja menyangkut persoalan politik dan diplomasi internasional melainkan juga telah berkembang menjadi isu sensitif bagi perdamaian antar umat beragama di dunia,"  ujarnya.
 
Termasuk menutup Masjidil Aqsha itu kata Farouk, bisa dimaknai sebagai diskriminasi terhadap umat Islam untuk menjalankan ibadahnya di Masjidil Aqsha.

"Tindakan itu juga sebagai provokasi terbuka dari Israel yang tidak pernah serius menyikapi ajakan diplomasi internasional untuk penyelesaian damai Israel-Palestina,"  tambahnya.
 
Menurut anggota DPD RI dari daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, perjuangan bangsa Palestina semakin tergantung pada diplomasi internasional. Seperti Amerika Latin dan Uni Eropa, telah mengakui Palestina sebagai sebuah negara, dan terakhir Swedia.

Pada tingkat itulah DPD RI mendorong DK PBB untuk mengambil tindakan terhadap Israel sebagai sanksi kewenang-wenangan pelanggaran HAM terhadap Palestina.
 
"Ambruknya peta jalan damai Oslo pada 1994 yang semula diharapkan menjadi dasar menuju solusi dua negara makin meneguhkan eksistensi Palestina sebagai suatu wilayah politik dalam negara yang digregasi berdasarkan ras, etnis, atau agama. Palestina dihuni oleh komunitas dengan identitas nasional yang jelas, tapi tanpa pengakuan masyarakat internasional," ungkapnya.
 
Dengan demikian solusi yang adil bagi Palestina kata Farouk, hanya mungkin dicapai melalui negosiasi, perundingan damai dan dalam posisi yang setara, sehingga isu pokok yang menjadi sumber kebuntuan negosiasi, yaitu ketidakseriusan Israel menyikapi tuntutan tentang status Jerussalem di bawah Palsetina bisa diselesaikan.

Editor: Surya